Chapter 16 - Menyerah atau Maju

4 1 0
                                    

Indonesia, Mei 2018

Rumah Profesor Frik


Suatu hal yang sangat jarang, aku sepagi ini sudah bangun dan bertengger setia di depan gerbang setinggi tiga meter. Jam sepuluh pagi, lu bayangin dah, kelelawar juga kayaknya bakalan tepuk tangan gue udah bangun jam sepuluh.

Mataku memang masih berat, tetapi aku teringat perkataan Vina kemarin. Mau tak mau aku harus menyelesaikannya. Jujur saja, batinku merasa aku telah gagal melaksanakan tugas dari Profesor Frik. Aku harap Profesor bisa memaklumi kekalahanku, karena aku yang memang masih kurang berpengalaman dalam dunia laga, dan lagi aku sangat kelelahan tadi malam.

Matahari sudah mulai mendekati puncak, dan aku masih berdiri mematung menunggu pagar tiga meter ini untuk dibukakan. Panas bre, sampe kapan gue harus nunggu. Apa Profesor masih tidur ya?

Tiba-tiba sebuah suara deru motor yang berat mulai mendekat membuat perhatianku teralihkan olehnya. Dari sisi kananku Vina yang mengendarai moge-nya berhenti dan menatapku heran. "Kak Alvi? Ngapain berdiri disitu?"

Aku memperhatikan Vina dari atas sampai bawah terus keatas lagi. Kepala yang masih terlindungi helm tanpa kaca, seragam sekolah anak SMA menempel pas pada badannya, dan sebuah moge hitam besar yang mesinnya masih menyala. Dengan heran aku bertanya, " Vin, kamu abis dari mana?"

"Baru pulang sekolah, ini aku masih pake seragam."

Otakku akhirnya dapat merespon sebuah keganjilan yang terjadi.

Sianjir, dia sekolah naik moge? Anjir lah, pokoknya anjir se-anjir-anjir nya anjir. Gue aja dulu naik angkot, dia udah naik motor, moge lagi. Aargh, gue pengen teriak, kenapa dunia ini sangat gak adil.

Masih dengan fikiranku tentang ketidak-adilan dunia ini Vina kembali berbicara, "Kak, sekalian dong bukain pintunya."

"Bukain gimana? Bukannya gerbang ini cuma bisa dibuka dari dalem?" tanyaku balik.

"Pintu kak, bukan gerbang!" jelas Vina. "Itu pintunya di samping kanan gerbang," lanjutnya.

Samping kanan? Mana? Tembok? Gue disuruh manjat tembok gitu? Dikira gue turunan Spiderman apa ya?

Aku berjalan menghampiri tembok dengan tinggi yang sama dengan gerbang besi di sebelahnya. Aku mendongak ke ujung tembok itu, sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Gimana cara naiknya?"

Aku menoleh kembali pada Vina yang masih bertengger diatas motornya dengan pandangan bingung.

Sepertinya Vina mulai kesal karena terlalu lama menunggu, apalagi hari semakin panas. Vina turun dari motor dan menghampiriku, tepatnya menghampiri tembok -yang katanya pintu- itu. Aku menyingkir, memberikan akses jalan pada yang punya rumah. Vina mengulurkan kedua tangannya pada tembok, dan menekannya dengan sedikit hentakan. Secara ajaib, atau mungkin memang sudah prosedurnya tembok itu bergerak ke belakang beberapa sentimeter membentuk ceruk segi empat dengan ukuran dua kali dua meter. Diujung ceruk sebelah kiri menyembul sebuah pegangan yang warnanya sangat mirip dengan warna tembok. Vina meraih pegangan itu dan menariknya ke kanan. Tembok itupun bergeser dan terbukalah sebuah pintu yang langsung mengarah ke pekarangan rumah. Wow.

Aku hanya berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sampai kapan kejaiban keluarga ini akan berakhir.

"Ayo masuk kak," ujar Vina yang kembali menaiki mogenya.

Akhirnya kami berdua masuk dan memarkirkan motor kami masing-masing di dalam garasi yang tersedia di samping rumah. Tak lupa Vina kembali menutup pintu yang katanya tembok itu. Eh, kebalik. Bodoamat lah, pusing gue.

Caffeine Knight ALPA Ft. Profesor FrikWhere stories live. Discover now