22. Suatu janji

23 5 9
                                    

Kini Aruna sedang asyik di kamarnya meraba bunga-bunga yang baru saja dibelikan oleh Raka. Andai saja. 'Andai?' selalu kata itu yang dapat Aruna ucapkan. Andai saja matanya bisa melihat keindahan dan cantiknya bunga-bunga ini serta warnanya. Bahkan sekarang dirinya tak bisa melihat Tajuk Mahkota lagi, haha. Miris.

Lupakan hal itu. Ia tengah sibuk menata sebagian bunga-bunga tadi di Tajuk Mahkotanya agar lebih indah? Indah? Apa arti kata indah? Penglihatannya aja tak bisa memandangnya.

Sampai kapan dirinya tidak bisa melihat?

Sebelum turun dari ranjang, Aruna memakaikan Tajuk Mahkotanya di atas kepala. Terserah apa kata orang jika bunga-bunganya berantakan. Ia menuju meja belajar, duduk disana. Mencari ponselnya karena lumayan lama tak mengeceknya.

Aruna tidak tahu apakah ada pesan masuk dan ada orang yang menelepon kalau telinganya tak mendengar suara dering hp. "Pasya, Alya, Fadil ... aku merindukan mereka," lirih Aruna. Untuk meredam rasa rindunya ia memegang gelang pemberian dari mereka.

...

Pagi di jam yang menjadi waktu keharusan Aruna berangkat ke sekolah. Aruna sudah menyiapkan diri. Pakaiannya rapi dan wajahnya terlihat cerah dipandang.

Setelah berpamitan, dirinya lalu masuk ke dalam mobil yang sudah ditunggu oleh seseorang. Tak lain, tak bukan adalah Bima.

Sebenarnya Bima kesal dengan Aruna yang tidak menjawab teleponnya kemarin. Tapi tetap saja, Bima tak bisa memarahi orang yang dia sayang.

"Kenapa teleponku gak dijawab kemarin?" tanya Bima sesaat dirinya dan Aruna tengah menempatkan perjalanan ke sekolah Aruna.

Gadis yang ditanya tersedak ludah. Begitu jelas pendengarannya mendengar tanya-an yang Bima lontarkan. "Itu .... aku jarang buka hp. Kamu tau kan mataku buta?"

"Eh? I-iya, Lupain aja. Yang penting kamu gak boleh telat berangkat sekolah." Bima tersenyum simpul. Barusan, bukan bermaksud ingin menyinggung kebutaan sahabat kecilnya itu.

Aruna kembali bicara, "Bim, kamu selalu nganter aku ke sekolah, memangnya kamu berangkat sekolah jam berapa?"

Bima lantas terkekeh. "Siang. Santai aja."

Aruna yang mendengarnya cuma ber-oh ria. Tepat setelahnya, gedung sekolah tampak tak jauh di depan mobil yang mereka tumpangi.

"Sekolah yang benar!" ledek Bima sebelum pergi.

Aruna tertawa kecil. "Kamu juga!" Seusainya ia perlahan melangkah dengan tongkatnya ke dalam area sekolah. "Ayok belajar yang rajin," gumam Aruna menyemangati dirinya seraya terus melangkah.

"ARUNA!"

Momen seperti ini nih Aruna tidak menyukainya. Dita, dia memanggilnya. Aruna berusaha mempercepat langkahnya untuk menghindar dari geng Dita yang kelihatannya mereka hendak mendekati Aruna. Beberapa saat kemudian, ia kalah dengan kecepatan orang normal yang matanya bisa melihat.

"Mau kemana? Bagi duit dong," cetus Dita. Suaranya terdengar di depan muka Aruna.

Aruna sedikit menunduk. "Uangku sedikit," cicitnya berusaha kembali melangkah, tapi lagi-lagi Dita serta temannya menahan Aruna membuat dirinya tak bisa kemana-mana, bahkan berbuat sesuatu juga tidak bisa. Aruna memejamkan mata berharap ada siswa baik yang mau menolongnya.

Tajuk Mahkota (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang