8. Omong kosong

51 24 27
                                    

Seperti biasa, Aruna makan malam bersama dengan Mama dan Papa. Ia melahap pelan-pelan makanannya, sesekali tersenyum tipis. Ia tak memedulikan tatapan bingung dari kedua orang tuanya. Tajuk mahkota itu Aruna sangat menyukainya.

"Arun, Papa janji akan melakukan apapun biar Arun bisa melihat dunia lagi," ucapnya. Ia menghentikan kegiatan menyantapnya. Semoga saja anak semata wayang tidak mengambek.

Aruna menghela napas. "Pa, aku mohon jangan membicarakan hal itu saat sedang makan bersama," protesnya tak terima.

"Sayang, maafkan Papa ya. Papa hanya ingin kamu melihat dunia lagi," sambung Nana. Ia takut putrinya dan sang Papa akan ribut walaupun cuman Aruna saja yang marah karena tak suka membicarakan perihal tersebut.

"Omong kosong!" ketus Aruna membanting sendok yang ia pegang lalu pergi menuju kamar sambil mencengkeram tongkatnya.

"Duh, Papa," tekan Nana menyalahkan.

"Maaf, Ma. Papa hanya pengen Aruna memahami kalau kita sedang berusaha agar dia bisa menikmati dunia lagi," lesu Agam. Ia tidak bermaksud membuat sedih atau marah pada putrinya.

"Mama juga sama, Pa, tapi sepertinya Aruna gak suka kita membicarakan hal tadi. Mulai sekarang jangan lagi seperti barusan," usul Nana.

"Iya," sahut Agam melanjutkan kembali acara mengisi perutnya yang tertunda. Rencananya nanti ia mau ke kamar Aruna untuk minta maaf.

Aruna berdiri di balkon. Menangis dalam diam. Angin yang terhembus kencang menembus pori-pori kulitnya. Rasanya Aruna ingin menemui Rafa. Mungkin besok ia akan bertemu dengan teman barunya itu.

Namun bagaimana agar bisa berjumpa dengan Rafa? Matanya saja buta. Aruna harap besok hari keberuntungannya dapat bertemu kembali dengan Rafa. "Tajuk Mahkota," ujarnya teringat.

Ia meraba-raba mencari benda cantik itu. Seusai mendapatkannya, Aruna memakainya. Huh, sangat bahagia jika dirinya tidak buta. Bisa menatap wajah di cermin apalagi saat mengenakan Tajuk Mahkota.

Tangisnya menghilang. Ia tersenyum ketika tajuk mahkota itu telah terhinggap di atas kepalanya. Kini angin tak sekencang tadi ketika berada di balkon. Sontak Aruna sedikit terkejut lantaran mendengar suara pintu kamarnya terbuka.

"Arun," panggil Agam. Ia perlahan-lahan mendekati anaknya. "Papa minta maaf ya... tentang tadi," ungkapnya mengelus-elus rambut hitam milik Aruna. Perasaan Agam janggal dengan benda serupa mahkota yang dipakai oleh putrinya itu.

Aruna tersenyum memaklumi. "Gak apa-apa, Pa."

•'•'•'•'•

Aruna kembali ke sekolah saat jam ia berangkat tiba. Hal yang ditunggunya bukan lagi jam pulang, tapi Rafa. Ayolah, ini tidak lebai tapi... Itu sangat berharga.

"Aku harap Dita gak membully-ku. Atau nanti saja saat Rafa datang!" gumam Aruna mengharapkan.

Aruna duduk di bangkunya. Kakinya cukup letih berjalan dari pagar sekolah ke kelas. Ia menghela napas lega sambil membaca buku materi khusus dari sekolah.

'Sayang, maafkan Papa ya. Papa hanya ingin kamu melihat dunia lagi.'

Ucapan Mama tiba-tiba terlintas di benaknya. Aruna seketika mengerutkan dahi. Sebal mengingat perkataan itu lagi.

"ARUN!" suara nyaring itu. Aruna sudah menebak siapa dia. "ARUN TUMBEN GAK TELAT?!" Dia berjalan mendekat dengan mengentak-entakkan kaki.

Tajuk Mahkota (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang