Kirana menggerutu karena rambutnya yang terus-menerus rontok. Tujuannya menemui Aruna sudah terwujud. Pasti si buta itu harus berpikir 2 kali jika mau berhadapan dengan dirinya ini. Gara-gara gadis itu Kirana sulit sekali membujuk Raka untuk balikan. Cih! Buta? Mengingat hal itu Kirana sangat percaya diri.
Mendengar lagu menggunakan earphone memanglah tenang, apalagi tidak ada Mami. Beliau sedang di kantor. Lihat saja nanti ia akan menemui Aruna lagi buat memakinya.
Kini Kirana berniat mengucapkan terima kasih kepada Raka lantaran sudah menolongnya saat pingsan di pinggir jalan.
Me : Raka, makasih udah bawa aku ke rumah ketika aku pingsan.
Kirana mesem-mesem sendiri. Tak lama ponselnya bunyi, pasti itu Raka. Buru-buru ia mengeceknya.
WHAT THE HELL, kenapa Bima? Kirain Raka, argh.
Bima : Kamu udah berhasil belum balikkan sama Raka? Kayaknya lama banget.
Me : Iya, hampir.
Bima : Oke, semangat membujuknya! Btw, kamu kenapa menanyakan alamat rumah Aruna?
Me : Cuman mau sekadar tau aja.
Kirana mendengus. Mengapa Bima harus bertanya lagi? Nyatanya Raka menolak mulu ajakannya untuk balikan jadi terpaksa Kirana melakukan itu. Ternyata yang mengantar Aruna ke sekolah itu Bima, hm, pulangnya juga. Sedangkan Raka dimana dia? Apa dia mulai luluh karena Kirana minta balikan? Semoga aja.
Tiba-tiba kepala Kirana sakit. Namun sakitnya ini berbeda dari sebelumnya. Mata Kirana berkunang-kunang. Ia tak tahu harus meminta tolong ke siapa karena di rumah hanya seorang diri. Memandang layar gadget, ia berinisiatif menelepon Raka. Berdering, tapi tidak di angkat-angkat.
Bima?
Sama aja. Kirana harus berbuat apa? Ia menarik napas berulang kali. Semakin lama matanya mulai tertutup seraya memandang layar ponsel. "Gak... aku gak boleh mati. Merebut Raka! Dari si buta!" Kini otak Kirana dipenuhi ambisi merebut Raka.
Bukannya sakitnya mereda saat berambisi seperti itu malah sakitnya bertambah. "Argh... a-aku gak kuat," lirih Kirana. Sontak semuanya gelap.
...
"Kak Aruna benaran gak mau pinjam Barbie punyaku?" tanya Alya pada Aruna yang sedari tadi berbaring santai di kasurnya.
"Haha, iya, enggak usah." Aruna bangkit, mulutnya ternganga menguap sebentar.
"Kalau gitu pinjamin aku ya!" Fadil meraih boneka Barbie yang digenggam Alya.
"Ehh!" Alya menghindar. "Kau mau jadi banci, ha?!" Ketusnya menatap Fadil.
Sekalipun kamarnya jadi bising karena kehadiran ketiga anak kecil itu, tapi untungnya yang satu kalem. Huh, Aruna tak bisa berhenti memikirkan Kirana yang sempat datang ke sekolahnya.
Kenapa harus mantan Raka? Jujur saja itu membuatnya gelisah dan kepikiran atas ucapan Kirana begitu menyakitkan. Aruna pikir, mungkin dia marah karena Raka sering bersamanya, serta Kirana ditolak terus sama Raka alhasil Aruna korban pelampiasannya? Ah.. ini jadi beban pikiran."Mungkin aja aku cuma pelampiasan. Dia marah karena Raka menolak mulu buat balikan, maybe?" gumam Aruna.
"Baksonya enak! Pedas, tipe Mama banget ini, Run." Tiba-tiba Mama datang dari arah pintu sembari mencicipi bakso pedas yang baru saja ditemuinya di atas meja ruang tamu. "Ini sisa jajananmu, Run?" Tanya Nana masih asyik mengunyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tajuk Mahkota (SEGERA TERBIT)
Fiksi Remaja{story collaboration, ikut event 60 days marathon} (REVISI) Dunia? Bagi seorang gadis yang buta yakni Aruna sangat menyakitkan, tak bisa menikmati keindahan dan warna dunia ini yang tak ada ujungnya. Aruna yang rindu masa kecil atau mungkin yang d...