15. Malu-malu

831 90 43
                                    

Sesampainya di rumah, Linggar tak henti-hentinya tersenyum jika mengingat momen bersama dengan Ayana, sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan bagi Linggar bertemu dengan Ayana tadi. Linggar berdecak kala sebuah gulungan tisu yang terlempar dengan sengaja mengenai pipinya. Linggar menoleh. "Sialan." Umpat Linggar kepada Kafka.

Kafka tertawa. "Maaf. Lagian ngapain a sendirian di sini? Udah mau Maghrib. Di suruh masuk sama bunda. Dari tadi di teriakin gak ada sahutan makannya gu samperin." Sahut Kafka.

"Ayo masuk! Di luar sendirian mau Maghrib ntar kesurupan!" Seru Kafka kepada Linggar sembari berjalan memasuki rumah dan menutup pintu halaman belakang rumah mereka lalu sengaja menguncinya dari dalam agar Linggar tidak bisa masuk.

Linggar yang berniat ingin masuk ke dalam rumahnya, namun ternyata di kunci hanya bisa menghela napas kesal. Karena hatinya sedang merasa senang jadi dia tidak bisa marah. Linggar mengetuk pintu halaman belakang rumahnya.

Linggar tersenyum. "Tahan Linggar, gak boleh marah." Ucapnya kepada diri sendiri sembari mengelus-elus dadanya.

"GIMANA MAU MASUK, PINTUNYA DI KUNCI PEA!"

- LINGGAR -

Di dalam rumah setelah dia berhasil masuk. Linggar terduduk di sofa ruang tamu rumahnya sembari memakan kue bolu buatan sang bunda sembari menonton televisi bersama dengan keluarganya. Di tengah-tengah asyiknya memakan kue bolu, tiba-tiba saja Linggar di kejutkan dengan kedatangan Haekal.

"ASSALAMUALAIKUM, LINGGAR, JINGGAR. MAIN YUK!" Teriak Haekal dari luar rumah.

"Mau main ke mana kalian?" Ryan melemparkan tatapan sinis ke arah Linggar dan Jinggar yang sama-sama kebingungan, karena Haekal tidak mengirimi pesan apapun kepada mereka dan datang begitu saja.

"Gak tau, dia tiba-tiba nyamper gak ada prefer." Jawab Jinggar.

"Main depan rumah aja kalau gak depan gang tuh pos ronda!" Seru Ryan.

"Mau ke Warbo ah," ucap Linggar.

"Udah malam a, pokoknya gak bunda izinin." Tekan Sasya kepada Linggar.

Melihat reaksi Sasya yang langsung melarangnya membuat Linggar tersenyum. "Enggak Bun, bercanda. Main di depan gang palingan ge."

"LINGGAR, JINGGAR, TOLONGIN GUA WOI!" teriak Haekal dari luar rumah yang tampak gaduh membuat semua mata langsung tertuju kepada pintu depan rumah.

Penasaran, Linggar dan Jinggar langsung berlari keluar dari rumah sedangkan keluarga mereka tampak hanya tertawa saja melihat tingkah konyol Haekal yang tidak beda jauh dengan sang ayah, Haikal.

Di luar rumah, Linggar dan Jinggar membulatkan matanya terkejut melihat Haekal yang sedang di kejar-kejar oleh Akila yang tampak berusaha untuk memukuli Haekal yang terus berlari memutari depan rumah Linggar dan Jinggar.

"SINI GAK HAEKAL!" teriak Akila.

"AMPUN TEH, AMPUN TEH! JANGAN PUKUL HAEKAL!" sahut Haekal yang juga berteriak, memohon kepada Akila jika Haekal berhenti berlari, Akila tidak akan memukulinya.

Akila menghentikan langkahnya cepatnya, mengatur napasnya yang memburu akibat mengejar Haekal yang tidak dapat-dapat untuk di pukulnya begitu juga Haekal yang berhenti sampai-sampai terduduk di atas aspal, mengatur napasnya yang terasa sesak itu karena berlari-lari.

LINGGAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang