d u a p u l u h d u a

104K 12.6K 520
                                    

Di ruangannya, Pak Hendar tampak gusar berhadapan dengan siswi di hadapannya, beberapa kali ia meneguk saliva, sesekali mengacak rambut frustasi.

Menghela napas lirih. "Jadi kamu yang sudah menyebarkan skandal di grup sekolah?" tanya Pak Hendar, kepada siswi yang baru saja mengakui perbuatannya.

"Saya cuma gak mau sekolah kita tercemar sama murid seperti Divney, Pak, dia itu bisa bawa pengaruh buruk bagi anak-anak yang lain."

"Tapi, mau bagaimanapun apa yang sudah kamu lakukan itu tetap salah ... kamu hampir buat nama baik sekolah kita tercemar, Nak! Alangkah baiknya sebelum melakukan tindakan gegabah, kamu memberi tahu saya terlebih dahulu, bukan seenaknya memposting di publik seperti itu."

"Apapun itu ... ini gak adil, saya mau Divney keluar dari sekolah ini, Pak."

Pak Hendar menghela napas panjang, geleng-geleng kepala. Bagaimanapun ia harus menjadi guru yang bijak dalam menyikapi masalah setiap muridnya.

"Mau sebesar apapun kesalahan dan kekurangan, semua anak wajib mendapatkan pendidikan, terlebih kalian semua murid Bapak, Bapak akan memperlakukan kalian dengan sangat adil. Bapak juga sudah tau semua kebenaran tentang berita yang sudah kamu sebarkan. Dan menurut Bapak, Divney tidak pantas untuk dikeluarkan dari sekolah."

Bella berdecak kesal, menghela napas kasar, bola matanya yang berkaca memutar malas.

"Gue gak suka dia ada di sini," monolog Bella, meremas jari-jemarinya.

"Saya tidak tau apa masalah kamu dengan Divney, namun saya harap kejadian ini tidak akan terulang kembali. Dan jika kamu berkenan, saya bisa mendengarkan semua masalah yang sedang kamu hadapi, yang tidak mampu kamu simpan sendirian ... barang kali saya bisa memberi nasehat dan motivasi untuk masalah kamu. Dan satu lagi, saya benar-benar salut dengan keberanian kamu. Terima kasih sudah mau mengakui kesalahan," ujar Pak Hendar, tersenyum simpul, mengusap lembut bahu Bella.

Tanpa di sadari, dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, berdiri Divney dan Cakra yang menguping pembicaraan Bella dan Pak Hendar.

Seketika gadis berwajah pucat itu membulatkan mata, giginya bergemelatuk, dengan hati yang amat kesal.

"Jadi gue salah orang? Ternyata yang nyebarin postingan itu bukan Devian?" gumam Divney.

"Dugaan gue bener, dari awal liat juga gue udah tau kalo tuh cewek emang berbisa," lirih Cakra ikut menyahut.

"Liat aja gue bakal kasih lo pelajaran!"

***

Dari jendela panjang, terlihat seorang lelaki berlari kegirangan, masuk ke dalam kelas, lantas naik ke atas meja guru.

"Eyoo, gaes! Gue bawa kabar gembira, kalo jam terakhir kita hari ini adalah jam kosong, karena pak Hendar mau latihan zumba!" teriak Tristan, yang langsung disambut kekehan lucu dari seisi kelas.

Pasalnya Tristan sudah asal memberi informasi, yang jelas-jelas Pak Hendar tidak bisa mengajar karena sedang ada rapat dadakan, bukan latihan zumba seperti yang dikatakan Tristan.

Divney yang sejak tadi mengobrol dengan Cakra di bangku yang tak jauh dari posisi Bella, melirik ke sekitar.

Sekejap gadis itu mengulas senyum miring, menyorot Cakra dengan tatapan aneh, membuat lelaki itu menaikan satu alisnya, merasa penasaran dengan maksud dari ekspresi yang ditunjukan oleh Divney.

"Liat, apa yang bakal gue lakuin," bisik gadis itu tepat di telinga Cakra.

Bangkit dari duduknya, Divney berjalan dengan langkah sedikit berlari menghampiri bangku tempat di mana Bella sedang mengobrol dengan beberapa gadis, teman satu geng-nya.

Bad AssociationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang