d u a p u l u h e n a m

97.9K 12.7K 732
                                    

"Ishh ... yaudah, deh, gue aja yang bawa!" sahut Divney dengan raut kesal.

Berjalan mendahului Devian, tanpa di sadari lelaki itu mengulas senyum miring. Kini Divney sudah duduk di atas sepeda, menggoesnya dan berhenti tepat di depan Devian.

"Buru! Naik," suruh gadis itu, menuruti ucapan Divney, Devian bergegas naik ke atas boncengan.

Dua insan itu mengendarai sepeda di pinggir jalanan yang ramai, sesekali orang-orang mengamati mereka dengan tatapan heran.

Meski ramai suara kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang, Divney dan Devian tetap membisu di sepanjang jalan, tak ada yang berniat untuk memulai obrolan terlebih dulu.

Asik menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus menerpa wajah, tiba-tiba sebuah lubang kecil membuat sepeda hampir oleng.

"Ah!" sentak Devian, dengan gerakan reflek langsung memeluk perut Divney.

Yang dipeluk malah mematung, sedangkan sepeda masih melaju tanpa digoes. Merasa sebuah kehangatan melingkar di bagian tubuhnya, seketika membuat jantung Divney berdegup kencang, sesuatu aneh seperti tengah berlarian di perutnya.

Tersadar dari posisi mematung, Divney buru-buru menggoyangkan tubuhnya, memberi isyarat agar Devian segera melepaskan pelukannya.

"Jalanan udah rata kali," sahut Divney sedikit berteriak, karena suara di sekitar terdengar sangat bising.

Devian tidak menjawab, lelaki itu tetap memeluk Divney semakin erat, matanya ia pejamkan rapat-rapat, gadis itupun juga merasakan jika tangan Devian sedikit gemetaran.

"Dev?" panggil Divney, namun tak ada jawaban.

"Devian?" Kini gadis itu dibuat panik, dan segera menghentikan laju sepedanya.

Divney menoleh ke belakang, menepuk-nepuk tangan Devian yang masih melingkar di perutnya.

"Lo kenapa, hei? Lo mau mati? Jangan nakutin guelah, Dev!"

Samar-samar terdengar suara Devian yang menjawab ucapan Divney. Namun tak bisa di dengar jelas oleh gadis dengan rambut di cepol ke atas itu.

Mengernyitkan dahi, lantas Divney langsung melepas paksa tangan Devian dari perutnya, berdiri dari sepeda begitu saja.

Seketika tampak Devian memergik seperti ketakutan, ambruk ke jalanan bersama dengan sepeda. Melotot panik, Divney bergegas menolong Devian. Dan kini mereka sudah menjadi pusat perhatian semua orang yang berlalu-lalang di bahu jalan.

"Devian!" pekik Divney jongkok di dekat Devian, lantas menarik hoodie lelaki yang matanya masih memejam rapat itu, Divney memeluknya dengan sangat erat.

"Lo kenapa, sih?!"

"K-kilat ... kilat!"

Mendongakan wajah ke atas langit, Divney menautkan alis, saat mendapati kilat petir menyambar-nyambar bersamaan dengan angin yang berhembus semakin kencang. Sepertinya hujan lebat akan turun sebentar lagi.

"Lo takut sama kilat?" tanya Divney memastikan.

"Kilat!" Hanya itu yang keluar dari mulut Devian, lelaki itu semakin membenamkan wajahnya ke pelukan Divney.

Menghela napas sekejap, Divney memapah tubuh Devian, gadis itu melepas cardigan yang tengah ia kenakan, lalu menutupkannya ke atas kepala lelaki di pelukannya. Dengan langkah tergopoh Divney membawa Devian ke dalam restoran terdekat.

Mendudukan Devian ke salah satu kursi, Divney menangkup rahang kokoh Devian, mata gadis itu menyorot dalam penuh kehangatan guna menenangkan lelaki di hadapannya.

"Lihat gue," suruh Divney pada Devian yang masih memejamkan mata.

"Gue bilang liat ke arah gue, Devian!" Perlahan lelaki itu mengerjapkan matanya, menatap sayu ke arah Divney, napasnya terengah.

Tersenyum simpul. "Gak apa-apa. Semua baik-baik aja. Gak ada kilat lagi di sini," ucap Divney, mengusap lembut puncuk kepala Devian.

Meneguk saliva, lelaki itu masih belum memberikan respon apapun. Tangannya terus meremas celana, tampak cemas.

"Lo tunggu sini, gue ambil sepeda dulu," pungkas Divney, hendak kembali mengambil sepeda, namun dengan gerakan kilat Devian langsung menahan tangan gadis di hadapannya.

Divney menoleh kaget, lalu kembali tersenyum manis, gadis itu sedikit membungkukan tubuhnya mengusap pipi Devian menggunakan ibu jari.

"Cuma sebentar doang, nanti ke sini lagi," ucap Divney dengan lembut, seolah sedang berbicara dengan anak kecil.

Perlahan Devian melepaskan tangan Divney, lantas gadis itu segera berlari kecil, kembali keluar dari restoran untuk mengambil sepedanya yang masih tergeletak di pinggir jalan.

Sungguh, di tengah langkahnya Divney masih tidak menyangka, jika lelaki yang baru saja ketakutan hanya karena melihat sebuah kilat cahaya petir itu adalah sosok Devian, seorang lelaki menyebalkan yang biasanya selalu tampil dengan sikap dingin dan penuh dengan kemisteriusannya.

Divney terkekeh kecil. "Kok gue jadi tertarik, ya, sama sisi lain Devian? Sebenernya dia itu cowok kaya gimana, sih? Kenapa Cakra sebenci itu sama dia? Dan sebenarnya hubungan mereka berdua itu apa?"

To Be Continued....

***

Kependekan, ya? Yaudah, sih, gapapa!🤧

Bad AssociationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang