[6] KAHLEA

49 6 4
                                    

Jakarta, 2017.

Untuk pertama kalinya, aku merasa lega karena rumah sebelah akhirnya dihuni. Karena itu berarti aku tidak akan mendapati pemandangan horor berupa balkon gelap atau bayanganku yang terpantul di pintu kaca kamar seberang saat malam hari.

Aku masih ingat saat hari pertama Genta memperkenalkan dirinya padaku. Dia tersenyum lebar yang malah terlihat seperti seringaian dan menyapa dengan semangat.

Besoknya setelah Genta tahu jika aku menderita buta warna, guru seni budaya langsung memberikan kami tugas untuk melukis benda tiga dimensi diatas kanvas menggunakan cat air.

Aku sudah melakukan ini sebelumnya dan mengatasinya dengan cara menempelkan label-label bertuliskan keterangan warna tersebut diatas tube cat air. Awalnya aku memang kesulitan tapi akhirnya aku terbiasa sehingga jarang ada yang menyadarinya walaupun terkadang beberapa situasi juga tidak bisa dihindari.

Tuk.

Suatu benda menghantam pintu balkon sehingga terdengar debuman kecil. Aku menuju kesana dan mendapati Genta bersandar dipembatas balkonnya dengan kanvas serta peralatan melukis yang sudah lengkap. Ia melambai padaku dan berkata,

" Kahlea, ayo kita ngelukis bareng-bareng!"

Awalnya aku ragu, tapi toh, mau bagaimana lagi. Sehingga akhirnya aku mengiyakan permintaannya.

" Di balkon gue atau balkon lo? eh jangan deh. Gue aja yang nyebrang. ntar lo jatoh lagi." dan  tanpa diminta dia langsung melewati pagar pembatas. Meletakkan semua peralatan melukisnya.

" Lo serius cuman bisa ngeliat dua warna?" tanyanya penasaran dengan raut wajah yang lucu. Dia tidak bekerja dan menumpukan dagunya di lutut.

" ini warna apa?" dia mengangkat satu tube.

" Hijau."

" Tuh tau! "

" Aku ngga bisa liat warna tapi masih bisa baca.  Di tube ada tulisannya kalo itu warna hijau. " Jawabku dengan santai sedangkan Genta menertawai kebodohannya sendiri. Sebenarnya itu sudah jadi pertanyaan yang paling pertama ditanyakan orang saat mereka tahu aku menderita buta warna. Walaupun pertanyaan itu bisa jadi sangat menjengkelkan karena kesannya kurang kerjaan menanyai orang yang sudah jelas tidak tahu jawabannya.

" Rasanya cuman bisa liat dua warna itu gimana sih?

" Nggak tau.. kamu sendiri? gimana rasanya bisa ngeliat banyak warna? "

Genta menelengkan kepalanya dan terlihat berpikir, " i have never think of that.. tapi aku pikir hidup pasti lebih simple kalo cuman ada dua warna." lalu dia mengambil dua tube cat warna dan mencampurnya.

" Tau gak sih kalo warna kuning dicampur biru jadinya warna ijo? Eh apa salah? Nanti kita campur warnanya satu-satu deh biar tau," dia tidak menghiraukanku dan sibuk pada kanvas didepan kami. Dia bilang aku bisa menggambar di kanvasku dulu dan akan membantuku untuk mewarnainya. Jadi kupikir, aku akan menggambar sebuah vas bunga sedangkan Genta sendiri menggambar piring yang diatasnya terdapat berbagai jenis buah.

Saat aku berada ditaman kanak-kanak, aku merasa tidak ada yang salah pada diriku.

Namun tatapan bingung pertama kali kudapatkan oleh anak perempuan disebelahku saat kami menggambar pemandangan bebas. Dia melihatku seperti aku ini punya empat mata dan berteriak pada guru, 

" Bu! punya Kahlea kok lautnya warna merah?! terus langitnya juga kenapa warna abu-abu?!"

Aku langsung menangis saat itu dan menjelaskan kalau lautku itu sudah berwarna biru gelap sedangkan langitnya berwarna biru muda. Disaat itulah aku mendapatkan tatapan kebingungan yang kedua dari wali kelasku.

ANTARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang