Part 04♡

1 1 0
                                    


"Almayra. Pulangnya gue anterin ya?" tanya Arsya.

"Boleh. Tapi apa enggak ngerepotin?" tanya Almayra.

"Enggak sama sekali. Yuk!" jawab Arsya.

Mereka berdua pun melenggang menuju parkiran untuk menaiki motor, lalu pergi meninggalkan sekolah.

"Arsya, jalanin motornya pelan aja. Jangan ngebut," ujar Almayra.

"Iya, kamu tenang aja," jawab Arsya setengah berteriak, untuk memastikan suaranya akan terdengar oleh Almayra.

Suasana jalanan sore tidak terlalu ramai. Biasanya waktu sore seperti itu akan banyak orang-orang yang bergegas pulang dari urusannya, untuk segera merebahkan diri di rumah.

Tittt!!

Sebuah mobil elit berwarna hitam melaju dari arah berlawanan dengan cepat, lajunya pun tIdak terkendali.

"Arsya awas Arsya!" teriak Almayra.

"Innalillahi," Arsya refleks menghentikan motor yang ditumpanginya ke pinggir jalan.

Sedangkan mobil itu, dibuat lecet karena menabrak pohon yang cukup besar.

Almayra dan Arsya turun dari motor dengan hati yang teramat sangat terkejut.

"Arsya, mobilnya menabrak pohon. Kita lihat kondisi pengemudinya," ujar Almayra. Arsya hanya mengangguk lalu berlari kecil bersama Almayra menghampiri mobil tersebut.

Almayra mengintip lewat jendela mobil. Seketika matanya terbelalak kaget, mendapati bahwa pengemudi itu adalah Samudra.

"Senior Samudra!" Pekik Almayra.

"Arsya buka pintu mobilnya!" titah Almayra panik.

Dengan sekuat tenaga, Arsya berusaha membuka pintu mobilnya. Setelah terbuka, Arsya menggandeng tubuh Samudra yang tidak sadarkan diri untuk keluar dari mobil dan duduk di kursi yang ada di sisi jalan.

"Keningnya berdarah, Sya. Tolong kamu obati," ujar Almayra.

"Okey Alma," jawab Arsya.

Sementara Arsya mengobati luka di kening Samudra, Almayra mencoba menyadarkan Samudra dengan memberinya minyak kayu putih.

Tidak memakan waktu lama, perlahan Samudra mulai membuka matanya. Ia meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.

"Alhamdulillah," ujar Almayra dan Arsya.

"Lo?" tanya Samudra keheranan saat melihat Almayra duduk di sisi nya.

Almayra dan Arsya langsung mengibaskan tangan mereka tepat di depan wajahnya. Mulut Samudra bau alkohol, sepertinya pria itu habis minum-minuman keras.

"Senior nggak papa?" tanya Almayra.

Samudra terdiam, menatap Almayra cukup lama. Gadis berkerudung syar'i di hadapannya ini ternyata sangatlah cantik. Jauh lebih cantik dari wanita manapun, Almayra memiliki cahaya tersendiri yang terpancar dari wajahnya.
Merasa Samudra terus memandanginya, Almayra lantas menunduk dan memalingkan pandangannya. Ia tidak nyaman di tatap seperti itu.

"Makasih udah nolong gue," ujar Samudra.

"Berterima kasihlah kepada Allah. Jika bukan karena-Nya, senior bisa saja mati saat tadi dalam keadaan mabuk pula," jawab Almayra.

Samudra terdiam, berusaha memahami apa yang Almayra katakan. Hatinya bergetar, entah karena berada dekat dengan Almayra, entah karena dirinya tiba-tiba teringat pada kematian.

"Lo enggak masuk sekolah, Kak?" tanya Arsya.

Samudra hanya menatap sejenak pada Arsya lalu menggelengkan kepalanya. Karena semalam terlalu banyak menegak alkohol dan tidak cukup tidur, membuat Samudra lupa pulang ke rumah.

"Pantesan tadi di sekolah berasa damai," bisik Arsya.

"Almayra, kita pulang sekarang," ujar Arsya.

Almayra berdiri, lalu menatap sejenak pada Samudra yang kini tengah menunduk dan terdiam.

"Kenapa dia seperti ini? Apa faktor yang menyebabkan dia menjadi anak seliar ini?" batin Almayra.

"Apa … senior perlu bantuan? Sebelum kami pulang," tanya Almayra.

Samudra kembali menatap Almayra yang masih senantiasa menundukkan kepalanya.

"Enggak. Gue enggak perlu bantuan apa pun. Gue bisa sendiri," tutur Samudra.

"Baiklah jika itu mau senior. Kita permisi. Assalamualaikum," ucap Almayra.

Kini, Arsya dan Almayra pun pergi. Menyisakan Samudra yang masih bergulat dengan pikirannya sendiri.

"Gadis itu sempet buat gue ngerasa kesal sekesal-kesalnya. Dan hari ini … gadis itu bikin hati gue bergetar," ucap Samudra.

Samudra cukup lama memandangi langit senja yang nampak indah—begitu menenangkan hatinya. Sampai, lamunannya terbuyarkan oleh suara adzan maghrib yang membuat hatinya tersayat perih.

"Kapan terakhir gue shalat?"

Langkah Samudra membawa tubuhnya yang lunglai ke depan sebuah mesjid yang nampak begitu megah. Samudra terdiam sejenak, menatap mesjid tersebut. Sedangkan orang-orang yang berlalu-lalang terlihat menatap rendah dan membicarakan hal buruk ketika melihat penampilan Samudra yang sangat kacau.

"Gue enggak sanggup. Gue malu," batin Samudra.

***

"Bagus! Jam segini baru pulang. Kemana aja kamu?!" tegur Bayu—ayah Samudra.

Samudra mengangkat kepalanya yang tertunduk lesu. Ia menatap nanar pada ayah dan ibunya secara bergantian.

"Maaf, yah," jawab Samudra.

Sungguh sangat langka. Bahkan itu baru pertama kalinya Samudra meminta maaf kepada sang ayah. Biasanya mereka adu mulut tanpa ada keinginan untuk meminta maaf.

"Dari kemarin malam enggak pulang, enggak masuk sekolah. Mau jadi apa kamu ini?!" teriak Bayu seraya mencengkeram kerah baju Samudra.

"Sejak kapan ayah peduli sama pendidikan Sam? Ayah sama Ibu bukannya orang tua yang selalu perhatiin Sam. Biasanya kalian enggak peduli, walaupun Sam bolos satu minggu. Kenapa?" tanya Samudra.

"Jangan kurang ajar kamu jadi anak! Mana etika kamu?!" bentak Bayu.

"Etika? Bahkan ayah sama ibu enggak pernah ngajarin soal etika sama Sam. Jadi, tahu apa Sam soal etika?" jawab Samudra.

The Holding On [Novelet] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang