Part 12.

1 1 0
                                    

"Bagaimana keadaan senior Samudra sekarang? Hamba takut dia berubah seperti dulu lagi. Hamba mohon, jaga selalu dirinya agar terus berada di jalan-Mu," batin Almayra.

Lamunan Almayra terbuyarkan, oleh ponsel Almayra yang berdering—menandakan ada panggilan masuk. Lantas, Almayra mengambil ponselnya, di sana tertera nama Arsya. Dengan segera Almayra menggeser tombol hijau ke atas, dan menempelkan ponsel tersebut ke telinganya.

"Assalamualaikum, i—iya Arsya?" tanya Almayra

"Wa'alaikumsalam. Aku dalam perjalanan menuju Bandung. Bagaimana kabarmu?" tanya Arsya lewat telepon.

"Bersama orang tuamu? Dan … alhamdulillah kabarku baik-baik saja," jawab Almayra.

"Syukurlah. Enggak, mama sama papa menetap di Bandung setelah lamaran waktu itu. Tapi karena ada pekerjaan aku harus kembali ke Palembang. Tapi jangan rindukan aku ya, aku sedang dalam perjalanan. Dan lagi pula, setelah besok, kita akan bersama selamanya," tutur Arsya.

Pipi Almayra bersemu merah layaknya udang rebus. Ia tersenyum malu-malu, padahal Arsya pun tidak bisa melihatnya.

"Kalau begitu, kau fokus saja menyetir. Semoga selamat sampai rumah. Aku menunggumu, assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban dari Arsya, Almayra sudah langsung mematikan teleponnya.

Almayra sangat bersyukur, hidupnya terasa sangat bahagia. Mendapat orang tua yang sangat baik dan perhatian, segala kebutuhan yang terpenuhi, dan sekarang … mendapat pendamping hidup seperti Arsya.

"Aku berterima kasih atas semua kebahagiaan ini, Ya Allah."

***

Hari mulai sore, ditengah kesibukan yang ada, Ibrahim dan Khodijah menyempatkan diri untuk minum teh bersama Almayra di taman belakang rumah. Anggap saja itu saat terakhir meminum teh bersama gadis kesayangannya.

"Apa Arsya sudah sampai Bandung?" tanya Ibrahim.

"Belum abi. Jika sudah sampai, Arsya pasti sudah memberitahu Almayra," jawabnya.

"Almayra, siapa pria yang datang untuk melamarmu waktu itu?" tanya Khodijah.

Almayra meletakkan cangkir berisi teh hangat ke meja di hadapannya. "Dia itu senior Almayra waktu di SMA. Harus Almayra akui, umi, dia punya keteguhan yang kuat dalam berubah."

"Maksudmu?" tanya Ibrahim, yang nampaknya ikut penasaran pada sosok Samudra.

"Senior Samudra adalah pemuda yang sangat nakal, dia biang onar di sekolah. Mabuk, pergi ke diskotik, adalah hal yang biasa baginya. Karena … dia tidak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya. Sampai suatu ketika, saat Almayra dan Arsya pulang sekolah, kami menemukan senior Samudra dalam keadaan tidak sadarkan diri karena kecelakaan," tutur Almayra.

"Entah karena ucapan Almayra atau apa, esoknya senior itu mulai menanyai Almayra tentang Allah. Dia bersungguh-sungguh, ingin Almayra mengajarkannya mengaji dan bacaan sholat," ujar Almayra.

"Ya, abi tahu kalau keluarga Pradipta adalah keluarga besar yang sukses dan punya kekuasaan yang besar. Tapi … mereka seakan hanya mengejar dunia saja. Syukur, kalau cucu dari keluarga Pradipta itu, berbeda. Dia bisa menyeimbangkan antara dunia dan akhirat," ucap Ibrahim.

"Tuan! Tuan Ibrahim!" teriak Pakde—supir pribadi Ibrahim.

Wajahnya yang terlihat panik, turut membuat Ibrahim dan yang lainnya juga panik.

"Ada apa Pakde? Coba tenang sedikit," ujar Ibrahim.

"Mas Arsya, tuan! Mas Arsya!"

"A—Arsya kenapa?" pekik Khodijah.

"Mas Arsya kecelakaan! Sekarang sudah di rumah sakit dan kondisinya kritis!"

***

"Bagaimana kondisi Arsya, saat ini?" tanya Ibrahim.

"Syukurlah kalian datang. Arsya memanggil-manggil nama Almayra sejak tadi," jawab Abdul.

Almayra tidak bisa membendung air matanya lagi. Sedari tadi ia hanya bisa menangis dan berdoa di dalam hatinya. Agar Arsya selamat, agar Allah memberi Arsya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.

"Lebih baik kita temui Arsya," sahut Aisyah—ibu Arsya.

Mereka pun masuk ke dalam ruang IGD. Nampaklah Arsya yang tengah menyebut nama Almayra. Hati Almayra semakin perih, melihat begitu banyaknya alat medis yang terpasang di tubuh Arsya.

"Ya Allah apakah ini ujian, sebelum hamba menikah besok?" Batin Almayra.

"Arsya, sayang … Almayra ada di sini," ujar Aisyah seraya mengelus rambut putranya.

Perlahan mata Arsya terbuka. Rasanya, mata pria itu sudah sangat berat, dan tak sanggup lagi untuk terbuka.

"A—Almayra, jangan menangis, bidadariku," lirih Arsya terbata-bata.

"I—ini jalan terbaik dari Allah. A—aku mengikhlaskanmu," ujar Arsya.

"Kau harus kuat, Arsya. Bukankah sudah sejak lama kau menantikan hari pernikahan kita? Aku yakin, kau bisa melewati semua ini," ucap Almayra.

"Menikahlah … walau bukan denganku. Waktuku tidak banyak lagi," jawab Arsya.

Sedetik kemudian nafasnya memburu tidak teratur, matanya setia melihat ke atas, seperti tengah menanti mautnya sendiri. Dengan bimbingan bacaan syahadat dari Ibrahim, Arsya pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Semua orang menangis tanpa terkecuali. Terutama Aisyah yang memang lebih histeris dari pada yang lainnya. Almayra tidak berkata apa pun, tapi tangisannya sudah cukup mendeskripsikan bahwa ia merasa sangat terpukul.

"Ya Allah ya Tuhanku. Kenapa Engkau mengambilnya dariku? Kenapa engkau mengambilmya secepat ini, ya Robb!" Batin Almayra menjerit. Ia tak sanggup lagi melihat Arsya yang kini hanyalah sebuah raga tanpa nyawa.

Almayra berlari keluar dari ruangan itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia kehilangan dua sosok dari Arsya, cintanya, juga sahabatnya. Tubuh Almayra melemah, ia terduduk di lantai rumah sakit yang terasa sangat dingin. Ia memeluk lututnya sendiri, dan bersembunyi diantaranya.

"Kau … baik-baik saja?" Pertanyaan itu sontak membuat Almayra mendongak. Menatap iba pada Samudra yang kini tengah berdiri di hadapannya bersama omanya.

"Almayra? Kau kenapa?" tanya Samudra, ia kemudian menyetarakan tingginya dengan Almayra.

"A—Arsya. Arsya sudah meninggal." Tangis Almayra kembali pecah. Terlalu sakit baginya mengatakan hal itu.

"Innalillahi wa inna ilahi rojiun," balas Samudra.

"Semoga kamu di beri ketabahan dan keikhlasan yang tiada ujungnya."

The Holding On [Novelet] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang