Almayra menatap pantulan dirinya di cermin. Ia nampak sangat cantik dengan riasan ringan, balutan gaun berwarna putih dengan hijab berwarna senada. Harinya telah tiba, hari di mana ia akan melaksanakan ibadah paling panjang. Pernikahan.
Di tengah kebahagiaan yang tercipta, Almayra masih belum bisa menghilangkan kesedihannya akan kehilangan Arsya. Bukankah, jika memang Arsya tidak bisa menjadi pendamping hidupnya, Arsya masih bisa menjadi sahabatnya. Yang mungkin hari ini, di pernikahan ini, ia akan tersenyum paling lebar di antara yang lainnya. Tapi semua itu hanya sebatas kata 'mungkin' saja.
"Anak gadis umi cantik banget," ucap Khodijah seraya mengelus kepala Almayra yang tertutup kerudung.
"Umi ...." Almayra lagi-lagi merengek, ia memeluk ibunya dengan sangat erat, seolah mereka akan terpisah sangat jauh. Padahal, Almayra bisa mengunjungi ibunya itu kapan saja. Toh jaraknya tidak terlalu jauh juga.
"Jangan nangis ... nanti make up nya harus dibenerin lagi. Jangan nangis ya, sayang," ujar Khodijah.
"Umi ... umi sama abi sering-sering telpon Almayra ya, nanti. Almayra pasti kangen banget," ucap Almayra.
Di tengah moment sedih itu, Ibrahim pun masuk. Ia termenung sejenak, menatap Almayra dengan gaun pengantin yang ia kenakan. Ibrahim langsung membawa Almayra ke dalam pelukannya. Tak peduli sudah se besar apa Almayra sekarang, bagi Ibrahim Almayra tetaplah mutiara hatinya yang tidak akan ia biarkan terluka sedikitpun.
"Putri abi ... putri kesayangan abi. Bahagia selalu ya, Nak. Jadilah istri yang berbakti pada suami," lirih Ibrahim.
Almayra tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya air mata yang mampu menjelaskan apa yang tengah Almayra rasakan kini.
Ibrahim melepas pelukannya. Ia menghapus air mata yang membasahi pipi Almayra.
"Kau adalah permata yang abi jaga dengan sangat baik. Jadilah permata juga untuk suamimu," ujar Ibrahim.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Almayra putri Ibrahim binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah!"
Hati Almayra berdesir, kini pria yang ada di sampingnya bukan hanya sekedar seniornya saja. Dia telah sah menjadi suami untuk Almayra.
Almayra memejamkan matanya, seteta air mata kembali menuruni pipinya. Rasa sedih dan bahagia itu bercampur menjadi satu. Terlalu rumit untuk Almayra katakan.
Kini Almayra dan Samudra saling berhadapan. Dengan pelan, Almayra mencium punggung tangan Samudra. Mereka bertatapan dalam waktu yang agak lama, menikmati moment yang hanya terjadi seumur hidupnya.
***
Resepsi pernikahan telah dilangsungkan, kini tiba saatnya bagi Almayra untuk pergi dari rumahnya, menuju rumah keluarga Samudra. Beberapa koper sudah tertata rapi di dalam mobil, hanya saja ... rasanya Almayra enggan melangkah meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu.
"Nak. Jagalah Almayra selalu. Saya tidak ikhlas, apabila kamu menyakitinya sampai membuat air mata jatuh dari mata indahnya. Perlakukan dia selembut mungkin, jangan sampai kau membentaknya sedikitpun. Karena bahkan, saya tidak pernah membentaknya," ujar Ibrahim.
"Saya akan menjaga Almayra sebaik mungkin, tuan. Saya akan menjadikannya satu-satunya ratu dalam hidup saya." jawab Samudra.
Ibrahim terkekeh pelan, "Kenapa kau masih memanggilku, tuan? Bukankah aku ini mertuamu?"
"Saya lupa tu- ah maksud saya abi," jawab Samudra.
Sisca mengelus pundak Almayra yang masih setia berada dalam pelukan Khodijah.
"Ayo, sayang. Bukankah sekarang aku juga ibumu?" ujar Sisca.
"Pergilah, Nak. Jadilah istri dan menantu yang baik di sana," ujar Khodijah seraya menghapus air mata Almayra.
Almayra berjalan menuju ayahnya. Ia memeluknya sangat erat pula, dan menangis di pelukannya.
"Jangan menangis, wahai putri abi yang baik dan cantik," ujar Ibrahim.
Almayra semakin menangis, kata-kata itu biasa Ibrahim ucapkan ketika Almayra menangis sewaktu kecil.
"Pergilah, Nak. Ikuti suamimu. Abi ini tetaplah ayahmu, jangan sungkan untuk berbicara apa pun pada abi. Dan pintu rumah ini, selalu terbuka untukmu, Almayra," ujar Ibrahim.
Samudra menggenggam hangat tangan Almayra, membuat gadis itu tersentak kaget. Maklum saja, Almayra tidak biasa bersentuhan dengan pria lain selain ayah dan saudaranya.
Samudra tersenyum hangat, tangannya terulur mengusap air mata yang membasahi pipi Almayra.
"Ayo," ajak Samudra.
Perlahan Almayra berjalan mengikuti langkah Samudra menuju mobil sedan berwarna hitam.
***
Di sebuah kamar dengan cat berwarna biru, Almayra yang sudah mengenakan pakaian tidur tengah duduk di pinggir kasur milik Samudra, yang kini juga menjadi miliknya.
Almayra hanyut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana jika dirinya tidak bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Pradipta?
Lagi-lagi, Almayra dibuat tersentak kaget kala sebuah tangan kekar menyentuh tangannya. Ternyata ... Samudra tengah berjongkok di hadapan Almayra.
"Jangan terus melamun, apa yang kini membuat hatimu begitu gundah?" Tanya Samudra dengan sangat lembutnya. Almayra menatap lekat mata Samudra yang ternyata sangat meneduhkan itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha menjadi seperti abi dalam memperlakukanmu. Tidak akan aku biarkan sesuatu apa pun menyakiti dirimu," ujar Samudra.
"Sudahlah, jangan menangis. Aku akan merasa bersalah jika kau terus menangis seperti ini." Tangan Samudra terulur, menghapus air mata Almayra.
"Aku bersyukur memilikimu. Jadikanlah aku sebagai istri yang sholelah lagi taat padamu. Tegurlah aku jika memang aku salah," lirih Almayra.
"Aku mencintaimu karena Allah," bisik Samudra.
"Begitupun denganku."
-Tamat-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Holding On [Novelet] TAMAT
Teen FictionBagaimana jika kamu berada di sebuah posisi, dimana kamu harus memilih antara taat atau cinta? Terjebak dalam segitiga cinta adalah sesuatu hal yang sangat rumit. Harus memilih satu hati, dan mengabaikan hati yang lainnya.