Kakiku hentakkan berkali-kali dengan pantat yang sedari tadi duduk dan tak mau beranjak sedikit pun. Manikku mengedar keseisi ruangan yang mendominasi warna putih dan hitam yang dibatasi dengan sebuah kaca di sekelilingnya.
Seorang wanita dengan kacamata yang menggantung di sela-sela hidung yang terlihat mancung itu masuk sambil meletakkan sebuah amplop di hadapanku. Aku yang tak paham hanya memiringkan kepala sambil menatap ke arah wanita dengan surai rambut hitamnya. Aku pikir dia cantik, tapi rautnya sama sekali tak bersahabat.
Manikku menatap amplop yang disodorkannya tepat di hadapanku. Hanya sebuah pertanyaan yang terbesit saat itu. Bagaimana aku paham? Jika saat aku terbangun sudah di ruangan ini dan sekarang wanita aneh seolah mencoba menyuruhku mengingat sesuatu.
"Bukalah," pintanya lirih dengan kakinya yang melangkah menuju kursi di balik meja yang tepat di hadapanku saat ini.
"Bacalah. Aku tahu kalau kau enggan membuka satu kata pun."
Ya! Aku kagum dengan wanita di hadapanku saat ini. Ia terlihat paham dengan pola pikirku. Padahal sedari tadi aku tak mencoba mengkode atau pun memberikan isyarat dari gestur tubuhku.
Saat ini aku sedang butuh jawaban tentang, 'Bagaimana aku bisa berada di sini?'
Jemariku membuka amplop yang berwarna hitam dengan tali putih yang mengikatnya. Aku hanya berpikir bahwa ruangan dan amplopnya tak jauh berbeda---sama. Belum sempat aku membuka tiap kertas yang berada dibalik amplop mendadak aku melepaskannya dari genggamanku. Seolah ada hal yang membuatku terkejut, tapi aku tak mengerti apa? Padahal aku belum membaca secarik kertas di sana. Namun, seolah tubuhku menolak untuk melihatnya.
Pandanganku tertuju pada wanita dengan manik cokelat di balik kacamatanya itu. Ia hanya menatapku dengan gamang, seolah ia hanya butuh suaraku untuk mengatakan 'ini apa?'. Namun, aku tak akan membuka suara sedikit pun sampai ada seseorang yang memberitahu hal apa yang terjadi padaku dan untuk apa aku di sini.
Aku yang terlalu tajam ditatap terasa tak nyaman dan meraih amplop yang tergeletak di lantai marmer putih dingin dan tak jauh dari jangkauanku. Hanya melihatnya sekilas kemudian menutupnya kembali tanpa ada keinginan membacanya saat ini. Aku bangkit dari dudukku dan memberikan kode isyarat tangan bahwa aku ingin keluar, wanita itu hanya menghela napas denga segala hal yang aku lakukan saat ini. Namun aku tak peduli.
"Akan aku antar ke kamarmu," cicitnya lirih dengan jemari kanannya membenahi letak kacamatanya yang sedikit melorot. Padahal aku yakin, itu hanya bentuk gerakan gestur tubuh akan sesuatu dan aku tak memperdulikannya.
Aku hanya membuntutinya dari belakang dengan jemari yang menggenggam erat sebuah amplop yang diberikannya tadi. Di seluruh lorong mataku hanya mengedarkan ke seluruh bangunan yang menjadi tempatku saat ini. Dinding-dinding putih dengan beberapa ukiran bunga lotus yang tampak lebih dominan daripada ukiran lainnya---meski aku yakin ada beberapa ukiran hewan di sekitar sini.
Langkah wanita yang membawaku itu berhenti mendadak, hingga membuat wajahku menabrak punggungnya yang amat kaku. Aku mengeluh sambil mengusap-usap hidungku yang sedikit nyeri akibat ia yang berhenti tanpa ada aba-aba sedikit pun---aku membenci sikap itu.
"Masuklah, ini kamarmu." Jemarinya mendorong pintu kaca yang terlihat buram penuh di sana. Manikku mengedarkan pandangan seolah takut jika nanti tiba-tiba ada singa yang menerkamku, atau mungkin sosok monster seperti film-film anak konyol yang selalu tayang di jam sore. Meskipun banyak anak seumurkanku yang menyukai film konyol itu. Namun, itu tidak denganku. Rasanya diriku seolah diprogram untuk tak terlalu menyukai dunia anak seusiaku.
"Ah! Teman baru!" pekik salah satu anak berambut cokelat dengan mata keabuannya yang tiba-tiba saja menyosorku hingga membuatku terjungkal ke belakang. Sekarang tubuhku merasakan betapa sakitnya di saat tubuhku terbentur dengan hebat. Hanya eluhan kecil dari bibirku tanpa ada niatan ingin bicara. Ingin rasanya merutuki gadis kecil yang memelukku dengan tiba-tiba.
Anak sialan!
Ia tersenyum kepadaku dengan kedipan matanya. Manik mata yang amat cantik, batinku. Bahkan, mata biruku terasa kalah cantik saat ini. Ia terasa sangat asing untukku, tapi senyumannya terasa pernah kumelihatnya.
"Selamat datang di dunia baru!"
Dunia baru? Aku menelengkan kepala seolah berusaha meminta jawaban yang bahkan tak aku ketahui. Hanya keambiguitas yang telah menjajah isi kepalaku. Wanita yang mengantarku lagi-lagi menghela napas sambil mengetuk pintu kaca yang dibukanya tadi.
"Nyamanlah dengan tempat ini sebelum ke tempat berikutnya." Gadis kecil yang menindih tubuhku itu menengadah sambil mengangguk-angguk, seolah ia paham apa yang dikatakan wanita kaku yang bahkan aku sedikit tak menyukai penampilannya itu.
Melihat kepergiannya dengan wajah yang masih sama kakunya dari pertama aku membuka mata membuatku merasa lega. Akhirnya wanita itu meninggalkanku juga.
Tubuhku yang masih nyeri akibat ada beban tubuh manusia lain yang menindihku membuatku benar-benar tak nyaman. Dorongan sedikit kasar kulakukan kemudian berdiri dengan menepuk-nepuk dressku yang terlihat lusuh saat ini.
Belum sempat aku selesai membersihkan tubuhku, sebuah tangan yang tak jauh berbeda denganku menggenggam erat di pergelangan tanganku dengan sempurna. Mataku melotot dengan rasa tidak suka dengan tindakan orang asing kepadaku. Mengingat bagaimana aku paling benci digeret seperti ini.
Kedua alisku tertaut dengan langkah kaki yang mendadak aku hentikan dengan paksa. Mata keabuan itu menatapku dengan heran dengan senyum yang terukir sejak awal kehadiranku menjadi luntur.
"Kenapa? Aku akan mengenalkanmu dengan kakakku," ucapnya lirih dengan mata yang berkaca-kaca seolah ingin menangis.
Maklum dia masih gadis kecil ingusan, batinku hanya mampu berdialog seorang diri tanpa mau membuka mulut sedikit pun.
"Dia gadis cantik! Dia baik, meski sikapnya juga cuek! Ayo! Aku kenalkan dengan kakakku!"
Paksaan. Paksaan. Dan paksaan. Aku benci sikapnya yang memaksa seperti ini. Seolah aku tak diberi napas untuk sendirian sejenak. Aku bukan anak manusia yang mudah membaur dengan cepat, dan sekarang dipaksa dengan seperti ini membuatku ingin marah.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku sedikit pun? Kau bisu?" Sialan! Kali ini ia mengataiku dengan seenak jidatnya. Padahal aku hanya enggan membuka suara dan bukannya bisu.
"Astaga! Kau bisu?!" pekiknya terkejut dengan ekspresi lonjakan kedua tangan yang menutup mulutnya. Inginku bilang bahwa dia sedikit berlebihan.
Aku memutar bola mataku muak dan berjalan menerobosnya seenak hati, rasanya tak perlulah susah payah dekat dengan anak lain. Sedangkan jika sendirian aku bisa.
"Zenith!" Suara asing yang memanggil dari kejauhan membuatku menoleh ke sumber suara. Bagaimana mataku terpaku di saat melihat sosok gadis cantik dengan mata hazelnya yang menjadi impian banyak orang di dunia.
"Kau ke mana saja?! Dasar anak nakal! Aku ini lelah mencarimu, bodoh!" Aku menelan salivaku dengan tatapan yang mengawang-awang ke dinding-dinding putih berukir bunga lotus di sana. Sesekali aku melirik bagaimana gadis perempuan itu menjewer telinga adik kecilnya. Aku tebak kalau adiknya memanglah bukanlah anak yang mudah diperingatkan.
Namun, saat lirikkanku jatuh di gelang khas yang dikenakannya membuatku membeku. Gelang yang menjadi ciri khas bagi orang yang aku kenal, tapi kenapa ada di dia?
Pikiranku mulai berisik dengan segala pertanyaan yang mencoba menyerang diriku. Siluet dengan beberapa suara yang layaknya vidio rusak membuat napasku naik-turun. Dadaku kian sakit dengan vision yang baru saja menyerangku. Hingga pada akhirnya vision itu berhenti di mana aku mendengar jerit seseorang sebelum ia mati terbunuh dengan cara ditusuk.
"AHHH!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The World and Three Lonely Little Girls
FantasyEmerlda Alpeka mendadak bangun di tempat asing yang serba hitam dan putih dengan beberapa pilar tinggi berukir bunga lotus. Ia bertemu dengan sosok wanita berkacamata dengan manik cokelat yang terlihat tak ramah untuknya. Ia hanya ingat bahwa terak...