Cordile menghentikkan langkahnya tepat di sebuah pintu yang tinggi dan lebarnya berkali-kali lipat dari ukuran badan miliknya. Ukiran bunga lotus dengan beberapa aksen hewan-hewan yang tak asing di mata Emerlda hanya membuatnya menatap dengan tatapan melongo sesaat kemudian ber-oh ria dengan hal yang ia lihat.
Sejenak ia pikir tempat ini hanyalah sebuah mimpi, apalagi di saat ia melihat bagaimana banyak makhluk-makhluk yang tak masuk di akal. Membuatnya memilih tak menghiraukan atau memikirkannya secara berlebihan.
Toh, pada sadarnya ia sudah mati. Jadi, suatu hal yang lumrah di dunia kematian mendapati hal-hal aneh, tapi terasa nyata.
Emerlda yang awalnya bergumam tentang ketidakmungkinannya ia mati secepat itu, karena ia pikir gerbang kematian adalah awal di mana sebuah manusia diberikan dua pintu, surga dan neraka.
Namun, melihat kenyataan yang ia alami sekarang membuatnya berpikir bahwa kematian tak seburuk itu. Hanya saja ia sedikit tak suka dengan konsep tempat ini yang hanya di isi anak-anak culun dan mengesalkan, serta tentunya hanya terlihat satu wanita dewasa yang menjadi monitor segala ujung tempat ini.
"Apa nama tempat ini?" tanya Emerlda sambil matanya yang tak henti menelisik sekitar bangunan yang mendominasi pilar putih dengan bagian ujung tembok berwarna hitam.
Cordile melirik sejenak kemudian menghela napas, ternyata satu jiwa ini memanglah sangat susah untuk diberi arahan. Itu sudah terlihat di saat Emerlda enggan membuka amplop pemberiannya di saat Emerlda terbangun.
"Serlian, tempat di mana jiwa anak-anak akan dikumpulkan dan dididik sebelum dilahirkan kembali." Zenith yang mendengar penjelasan dari Cordile sama sekali tak penasaran kembali, karena pada dasarnya ia sudah lebih tahu dari pada Emerlda sendiri.
"Berarti ada waktunya aku akan lahir kembali?" Ada tatapan antusias yang ditunjukkan Emerlda. Apalagi di saat ia memiliki ambisi kembali ke tempat asalnya kembali, dan menghukum orang yang mengacaukan keluarga kecilnya.
"Tentu, semua anak di sini akan lahir kembali. Baik aku, Selena, atau pun kau." Sahut Zenith yang bersuara tanpa mau menatap wajah Emerlda. Meski, ada rasa kesalnya yang masih berbekas. Entah, kenapa ia tiba-tiba ingin mengeluarkan penjelasan itu.
"Terlihat bahwa Zenith lebih pintar daripada dirimu, Emerlda," cibir Cordile yang kemudian mendorong pintu besar itu dengan perlahan.
Hanya dengusan malas dari Emerlda dan membuang muka dengan cibiran yang sedikit ada benarnya. Karena pada dasarnya Emerlda hidup menjadi anak egois, hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tentunya tak ingin serupa layaknya anak seumurannya.
Itu semua karena ia berpikir, bahwa jadi sama terlihat membosankan dan pada akhirnya ia memilih menjadi berbeda, serta tentunya menunjukkan siapa dirinya.
"Aku harap aku lahir kembali dengan cara lebih baik nanti," gerutunya dengan memutar bola mata dengan muak.
"Hanya jika Roa mengijinkanmu. Kita tak pernah tahu, jadi apa kau nanti setelah lahir kembali. Melihat hal yang kau buat sekarang, itu sudah terlihat bahwa kelahiranmu tak akan lancar kalau kau tak ingin membenahi dirimu dulu."
Emerlda yang mendengarkan itu yang keluar dari bibir Cordile mendadak menelan salivanya dengan tatapan tajam ke arah punggung wanita yang sama sekali tak akan pernah ia sukai sampai kapanpun.
Suara derit pintu putih besar terdengar jelas di telinga mereka. Sebuah cahaya berkilau yang terlihat menyilaukan mata Emerlda membuatnya sedikit menyerngit. Ia benar-benar tak tahu, dan tentunya berpikir ada apa di dalam ruangan yang ditutupi pintu sebesar ini.
Cordile melangkahkan kakinya perlahan dan memberikan kode anggukan kepala bahwa Zenith dan Emerlda boleh mengikuti langkah kakinya dengan perlahan.
Ada rasa hangat yang menyelimuti tubuh Emerlda dan Zenith. Rasa nyaman yang serupa pelukan dari orang tersayang membuat Emerlda melangkah kaki dengan meneteskan air mata kerinduan. Sejenak ia teringat bagaimana ibunya memeluknya dengan sehangat ini. Benar-benar serupa.
Pintu yang awalnya terbuka dengan lebar, perlahan tertutup kembali dengan rapat dan manik Emerlda terfokus pada singgasana yang terbuat dari keramik putih cantik. Hanya kekaguman tiada henti.
Apalagi di saat telapak kakinya menginjak sebuah karpet bulu yang sangat lembut dan tentunya dingin, nyaman untuk jari-jari kakinya. Ia benar-benar merasa halu dengan segala yang ia lihat dan rasakan kali ini.
Zenith pun juga ikut melongo dan mendadak melemparkan tubuhnya ke karpet panjang itu untuk membaringkan tubuh sejenak.
"Ah! Kenapa ada tempat senyaman ini? Kenapa kau tak memberitahuku tempat ini Cordile?" Eluhan bahagia yang keluar dari bibir mungil dan tentunya sikapnya yang tak sopan hanya membuat Emerlda bergidik sambil menatap datar sosok gadis yang sejak awal tidak ia sukai.
"Memang tempat indah, tapi dibalik keindahannya ada hal yang akan membuatmu bungkam nanti, Zenith," ucapnya dengan menaikkan sudut bibirnya dan membuat bentuk layaknya curik.
Zenith yang mendengar perkataan dari Cordile sejenak berpikir kemudian membelalakkan manik keabuannya dan bergegas bangkit dari posisi rebahannya.
"Astaga! Roa?!" pekiknya dan kemudian dengan sigap membenahi setiap sisi bajunya yang terlihat sangat berantakan.
Meski, sesekali ia juga merasa nyeri dengan punggungnya akibat sabetan yang diberikan Cordile. Namun, melihatnya yang antusias membuat Emerlda hanya menatapnya heran dan tentunya malas.
"Siapa Roa?" tanya Emerlda penasaran.
"Kau akan tahu sebentar lagi. Dia yang akan memberikan hukuman apa yang pantas kalian dapatkan nanti." Zenith meneguk salivanya dengan susah payah dan mengeratkan genggamannya dengan penuh ketakutan.
Sebuah hal fatal jika Roa yang akan memutuskan sebuah hukuman. Apalagi, ia tahu bahwa Serlian sangat fatal untuk dibuat sebuah keributan. Zenith benar-benar berharap dan penuh doa agar hukuman itu benar-benar tak membuatnya menjalani hukuman berat.
Karena Zenith ingin berlama-lama di Serlian serta menikmati dan membenahi reinkarnasi yang sudah ia damba-dambakan. Hal celaka jika ia bereinkarnasi menjadi sosok yang jauh di luar ekspetasinya.
"Aku harap Roa tak menghukumku dengan sangat berat," cicitnya dengan bisikan yang sama sekali tak terdengar oleh telinga Emerlda. Hanya sebuah gumaman tak jelas dan tentunya menatap sosok Zenith hanya sedang melebih-lebihkan sesuatu.
"Zenith terlihat ketakutan, sepertinya kau santai dengan hal ini," Cordile melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum licik. Emerlda hanya menatap dengan tatapan tanda tanya serta tentunya tatapan datar.
"Aku tak terlalu ambil pusing, karena pada dasarnya bukan aku yang memulai pertikaian itu."
"Berbangga diri, ya?" tanyanya dengan tatapan yang tak henti-hentinya mencoba membuat sosok Emerlda menciut. Namun, pada dasarnya Emerlda sama sekali tak terpancing dengan hal itu.
"Sepertinya kau memiliki keberanian lebih, baiklah ..., kita lihat apa yang akan kau dapatkan nanti. Hukuman apa yang pantas kalian dapatkan dan termasuk kau Emerlda!" tunjuknya dengan nada penuh penekanan dan berakhir melengos berjalan ke arah singgasana yang terlihat kosong dari kejauhan.
Tak ada rasa takut, tak ada kekhawatiran, hanya hal serupa yang dilontarkan orang dewasa kepadanya dan semua itu hanya bentuk menakut-nakuti. Emerlda terlalu paham, dan tentunya tak akan terpancing dengan hal itu.
Karena pada dasarnya, ia mahir dengan segala hal tipu muslihat yang dilakukan orang dewasa kepadanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The World and Three Lonely Little Girls
FantasyEmerlda Alpeka mendadak bangun di tempat asing yang serba hitam dan putih dengan beberapa pilar tinggi berukir bunga lotus. Ia bertemu dengan sosok wanita berkacamata dengan manik cokelat yang terlihat tak ramah untuknya. Ia hanya ingat bahwa terak...