Seiring waktu berjalan, hidup selalu memberikan makna. Melalui berbagai bentuk dengan masing-masing bentuk memiliki rasa yang berbeda.
Meski seringkali kudengar nama mu, aku bahkan tak pernah mengenalmu hingga aneh rasanya ketika kita duduk di atas motor menunggu berubahnya lampu merah menjadi lampu hijau yang menandakan kita bisa melanjutkan perjalanan.
"Sa, jangan sering-sering makan seblak ya ga baik buat tubuh kamu." ucapmu memiringkan wajah agar suaranya tak kalah kencang dengan suara jalan raya.
"Iya, cuma kemarin aja kok." balasku seraya memperkuat cengkraman tangan kepada saku jaket mu.
Rasanya tenaga yang aku salurkan itu tidak bisa mengubah harapku kepadamu. Energi yang ku pendam berusaha untuk memutus jalur energi mu yang kau tawarkan kepadaku.
Lampu yang aku lihat di persimpangan kala itu menyadarkan aku bahwa perjalanan ini tidak sama dengan kisah kita. Aku bisa melihat dengan baik lampu merah yang berubah menjadi lampu hijau agar kita bisa melaju bersama namun dalam perjalanan kita aku bahkan tak melihat ada sinyal-sinyal lampu; haruskah aku berhenti atau tidak. Yang aku lihat hanyalah warna abu pekat tak berbentuk.
Kala itu, selasa sore pukul tujuh belas lebih empat puluh tujuh menit. Kita masih melalui jalan-jalan yang menjadi saksi bisu atas rasa bersalahku terhadapnya. Apakah kamu merasa bersalah sepertiku? Ah, sepertinya tidak. Hanya aku. Ya, hanya aku yang merasakannya.
Aku bahkan tak pernah mengenalmu saat kita duduk bersampingan dengan ekspresi yang ambigu. Bolehkah aku mendefinisikan bahwa ekspresi mu adalah ekspresi senang saat kau melihat ke arahku? Namun, sepertinya permintaan aku terlalu berat ketika sesaat setelahnya kau menceritakan gadismu saat itu.
Aku bahkan tak pernah mengenalmu, tatkala orang-orang seringkali membicarakan mu. Tentang keberanian mu, tentang idealisme mu, dan tentunya tentang kisah mu yang memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Dan aku bahkan tak pernah mengenalmu, tatkala kau ulurkan tanganmu kepadaku sambil menatap mataku. Keningku berkerut seraya mengangkat tangan ku di depan mu.
"Take my hand and never let go."
Keningku makin berkerut sambil menggelengkan kepala dan berusaha menjauh darimu. Dia sungguh aneh, ucapku dalam hati.
Apa kau tau itu membuatku ambigu? Saat kau memberiku seluruh perhatianmu namun setelahnya kau memamerkan kisah mu kepadaku?
Apa kau tau itu membuatku ambigu? Saat kau menempatkan ku berada diantara hati dan logika? Keduanya tidak bisa kusatukan bahkan dengan menggunakan lem terkuat di dunia. Hati dan logika ku berjalan namun mereka tak beriringan dan itu sangat membuatku frustasi.
Aku bahkan tak pernah mengenalmu hingga suatu waktu aku tersadar bahwa aku hanya tau kamu, bukan mengenal kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiada Ujung
Short StoryAkan kubiarkan kisah ini menggantung saja, kamu tau alasannya? Karena aku tau akhir kisahnya akan meninggalkan bekas yang sulit ku hapus Pada akhirnya cerita yang menggantung ini pun perlahan akan berakhir, entah bagus atau tidak yang pasti untuk...