Sebuah Petuah yang Abadi

3 0 0
                                    

Kala itu di tengah-tengah keramaian, aku tetap merasa sepi
Di tengah-tengah keramaian pula, aku tetap merasa kosong menjalani rotasi hidup yang selalu berputar

Aku tundukkan kepalaku di kursi dengan kedua tanganku, berusaha menenggelamkan wajah diantara pikiran-pikiran yang sangat membuatku merasa mati

Lalu tiba-tiba kau duduk di sebelahku sambil bertanya

"Sa, lo kenapa murung terus sih?"

Aku menoleh dan menggeleng, kembali menenggelamkan wajah.

"Ngantuk."

Kamu tersenyum.

"Sa, hiduplah seperti orang lain hidup."

Aku menatap kosong lantai di hadapanku.

"Udah, jangan berlarut-larut."

Aku masih diam mendengarkan.

"Kamu nangis?"

Aku masih diam tak mengindahkan.

"Gapapa nangis aja, tapi janji setelah ini kamu bangkit lagi ya. Nangis ga menunjukkan kamu lemah kok karena yang menentukan lemah atau tidaknya itu adalah langkah setelah kamu menangis."

Dan pada akhirnya air mata meluruh mendobrak kelopak mata yang terpejam, mengalir lurus menuju pipi yang mengembung karena berusaha menahannya.

"Hidup itu sulit, hidup itu penuh dengan proses. Tapi kalau kamu hanya diam dan sabar tanpa melakukan perubahan, kamu akan stuck di dalam proses itu. Terasa hilang arah untuk selamanya padahal kau hanya tersesat sementara."

"Hiduplah seperti orang hidup, tidak perlu untuk terus keras terhadap dirimu sendiri. Memberi makan ekspektasi orang lain itu melelahkan, jalani saja dengan apa adanya."

"Semangat ya..."

Aku masih diam dan tidak berani untuk mengangkat wajah. Entah kenapa di sisimu, mendengarkan petuah-petuah mu membuat hidupku jadi lebih bersinar. Cahaya-cahaya yang selama ini aku cari itu mulai aku dapatkan meskipun hanya setitik cahaya.

Rasanya aku marah kepada Tuhan, aku marah kepada semesta, dan aku marah kepadamu. Aku menginginkanmu untuk terus berada di sisiku, aku menginginkanmu untuk terus memberikan petuah-petuah hidupmu itu.

Namun, lagi-lagi aku tertampar. Aku belum memahami definisi kata ingin dan butuh. Ketika hasrat untuk memilikimu adalah sebuah keinginan lantas bagaimana bisa aku merasakan makna dari butuh?

Apa kata yang tepat untuk memaknai perasaan ini? Ingin atau butuh? Atau malah keduanya?

Rasanya sakit sekali ketika pikiranku berdebat tentang hal itu, ingin atau butuh sama saja keduanya tetap kalah dengan realitasnya. Kamu sangat sulit untuk aku gapai, seberapa keras aku berusaha semakin sulit untuk aku melangkah menuju arah mu.

Dan pada akhirnya, aku tetap tertegun tatkala melihat matamu seolah berkata 'maafkan aku.'

Tiada Ujung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang