delapan

100 16 1
                                    

jeongin–dengan ekspresi masam–berjalan lurus menuju rumah. "heh bocil, kamu lagi kebelet?"

ia berhenti, menatap seonggok manusia yang menyapa dengan tidak sopannya. "matamu rabun setelah terkena pasir ya? aku udah besar bukan anak kecil lagi! dasar bau ketek."

chan terkekeh, teringat ketika ia mengejar jeongin. sebelumnya chan habis berolahraga, tentu saja dia berkeringat. dan dengan ketiak beserta bulu-bulu ketiaknya yang basah akan keringat, ia mengapit kepala bocah nakal itu diketiaknya.

"kamu lebih muda dari aku, pantas lah aku panggil bocil."

"nyenyenyenye dasar pak tua bau ketek." terus saja jeongin, terus katai dia bau ketek.

"banyak betul panggilan sayangmu buat aku ya?" chan kembali terkekeh. "kenapa wajahmu ditekuk begitu? jelek banget, kaya lagi nahan berak."

"sembarangan! mana ada aku nahan berak! aku lagi galau habis dikhianati calon pendamping hidupku!" ucap jeongin menggebu-gebu. sebal juga karena chan terlalu ingin tau urusan anak muda.

tawa chan menggelegar karena mendengar jawaban dari anak bau kencur dihadapannya ini. "hahaha! calon pendamping hidup? kamu masih kecil udah mikirin hal-hal seperti itu. mending belajar cil!"

jeongin semakin kesal, memang tidak ada untungnya berbicara dengan bule abal-abal didepannya ini. ia menginjak kaki chan dengan kuat.

"aw sialan! sakit bocil!" chan memegangi kakinya, ia melompat-lompat menjaga keseimbangan karena bertumpu pada satu kaki.

"rasain! wle." lelaki bermata rubah itu menjulurkan lidahnya lalu pergi meninggalkan chan yang kesakitan.

kenapa aku kalau bertemu dengan jeongin selalu disakiti begini? — bang chan bukan sadboy, 2021.

tbc.

kok gini ya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang