2

2.7K 393 20
                                        

Alana berdandan cantik malam ini, ia sedang menunggu kedatangan Gerald. Ia meminta tolong pada Gerald untuk menjadi guru pembimbingnya agar lolos ujian masuk universitas incarannya.

Gerald, adalah teman abang Alana. Ia dan Alana cukup dekat. Mereka juga sering jalan berdua.

Sebenarnya belajar bersama itu hanya modus Alana saja, ia ingin mencari alasan untuk bertemu lebih sering dengan Gerald.

Ia mendengar suara motor yang familiar berhenti di depan rumahnya. Ia mencebik kesal.

"Argh, si kutu kupret! Mau apa dia ke sini?"

Alana sudah hapal suara motor gengnya satu per satu. Itu karena seringnya ketiga cowok itu main ke rumahnya.

Kupingnya sudah tebal jika ada tetangga yang menggunjingkannya punya tiga cowok. Sudahlah, lagi pula dia bukan influencer, publik figur dan sejenisnya, rasanya tak perlu mengklarifikasi perihal ketiga cowok itu kepada tetangganya.

Alana dengan kesal menemui Edgar di depan rumah, wajahnya kusut bak baju yang belum disetrika.

"Mau apa?" Alana berujar galak.

"Numpang makan." Dengan santai Edgar memarkir motornya di halaman rumah Alana. Ia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menunggu dipersilahkan.

"Bunda nggak masak."

"Orang bunda yang nyuruh gue main ke sini. Katanya tadi masak orek tempe kesukaan gue."

Edgar cukup dekat dengan bunda Alana. Sebenarnya bukan cuma Edgar, tapi Juki dan Cahyo juga. Mereka menganggap bunda Alana sebagai bunda mereka sendiri. Tak jarang wanita baik hati itu memanggil mereka untuk makan di rumah.

"Oh, itu. Tadi udah gue abisin." Alana mencoba mengusir Edgar secara halus. Edgar memicingkan mata, curiga dengan perkataan Alana.

"Gue nggak percaya."

Alana melirik jam di ruang tamunya, sebentar lagi Gerald datang, ia harus segera mengusir Edgar.

"Udahlah, lo pulang aja, gue ada perlu." Alana menyeret Edgar kembali ke teras. Edgar menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan Alana. Saat ini gadis itu memakai jepit rambut dan juga lip gloss.

"Em, gue baru nyadar malam ini lo keliatan kek manusia dikit." Edgar meledek Alana, membuat gadis itu malu, wajahnya sudah seperti tomat.

"Edgar! Pulang lo." Alana mendorong badan Edgar keluar pagar.

"Hai, Princess. Sory telat."

Mata Alana membulat melihat kedatangan Gerald. Ia malu ketahuan dipanggil 'princess' oleh Gerald. Sejak kecil Gerald selalu manggilnya begitu, mungkin karena ia tidak punya adik perempuan.

"Princess? Mimi peri?" Edgar meledek Alana yang kini wajahnya sudah memerah.

"Princess, ini siapa?" Gerald bertanya pada Alana sembari melihat ke arah Edgar.

"Kang galon langganan bunda." Alana menjawab asal.

"Oh, ya udah. Kita mulai belajarnya?" Gerald tersenyum manis, sementara Edgar melotot ke arah Alana. Kang galon? Kurang ajar, maki Edgar dalam hati.

"Em, oke." Alana mengajak Gerald masuk ke dalam rumah, meninggalkan Edgar seorang diri.

"Edgar, ngapain masih di luar? Bunda tungguin dari tadi." Bunda Alana tiba-tiba keluar dan menghampiri Edgar.

"Kang galon itu lumayan akrab sama bunda kamu, ya?" tanya Gerald.

"Iya, udah langganan soalnya."

Edgar tersenyum miris mendengar jawaban Alana.

***

"Bund, yang di depan itu siapa?" tanya Edgar setelah selesai makan. Saat ini ia sedang menonton TV dengan bunda.

"Oh, itu Gerald. Temen sekolahnya Paul dulu. Dia baru aja balik dari Swedia."

"Dia bule, Bund?"

"Papanya yang bule."

Gerald memang pemuda blesteran, papanya asli Swedia sedang mamanya blesteran Garut dan Tasikmalaya.

"Oh." Edgar hanya manggut-manggut mendengar penjelasan bunda sambil makan sukro dan minum sirup Kurnia.

"Alana naksir sama dia dari kecil."

"Uhuk ...."

Perkataan bunda barusan berhasil membuat Edgar tersedak. Ia baru mengetahui fakta ini, setelah ini ia harus mengorek keterangan dari Alana.

"Yang bener, Bund?"

"Iya, sekarang dia lagi mau pedekate lagi sama Gerald." Bunda berbicara sambil berbisik, takut didengar Alana yang sedang belajar bersama Gerald di teras.

***

"Kak, yang ini maksudnya gimana, sih?" Alana melingkari soal yang tak ia pahami. Gerald memeriksanya sekilas.

"Oh yang ini, disederhanakan dulu, baru diubah satuannya." Gerald memberi contoh cara mengerjakannya, tampak mudah sekali. Maklum, selain tampan Gerald memang berotak encer.

"Kalau kakak yang nerangin beda, langsung paham aku." Alana tersenyum malu-malu.

"Modus!"

Edgar mencibir tingkah Alana yang genit, sedari tadi ia mengintip melalui jendela ruang tamu.

***

"Gitu amat lo lihatnya?" cibir Edgar saat melihat Alana selesai mengantar kepergian Gerald. Gadis itu masih saja memandangi motor Gerald yang sudah menjauh.

"Gue biasa aja." Alana mengelak seraya masuk ke dalam rumah, ia yakin setelah ini Edgar akan menginterogasinya mengenai Gerald.

"Selera lo yang mix gitu, ya?" ledek Edgar.

"Ih, rasis lo! Gue kalau suka orang nggak mandang fisik." Alana menggeplak punggung Edgar kesal.

"Bohong, buktinya lo nolak Candra, lo bilang dia kek jamet prindavan."

Candra adalah cowok yang menembak Alana beberapa waktu lalu, tampangnya standar SNI, sinkron dengan otaknya yang cuma setengah giga.

"Oh, yang itu ...." Alana tertawa canggung.

"Cewek itu emang munafik, kek bahasa Inggris. Tulisannya apa, dibacanya apa, artinya apa. Apa butterfly artinya mentega terbang, apa deadline artinya garis mati? Enggak 'kan? Jadi kalau dia bilang I love you, belum tentu artinya aku mencintaimu 'kan?" sindir Edgar.

"Sok bijak lo!"

"Jangan sama dia, perasaan gue nggak enak." Edgar berkata terus terang pada Alana.

"Lo selalu gitu setiap gue deket sama cowok. Padahal gue nggak pernah ganggu kalau lo deketin cewek manapun." Alana sebal dengan sifat Edgar yang satu ini. Tidak sekali dua kali Edgar menyuruhnya untuk menjauhi cowok tanpa ia tau alasannya.

"Karena gue nggak mau lo nangis. Lo kalau nangis jelek, udah muka lo aslinya jelek, malah lo jelekin lagi."

"Edgar, minggat lo!"

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang