Papa {Rashaka Abiputra}

475 41 1
                                    

Siang itu ruang tengah di sebuah rumah minimalis tampak berantakan oleh mainan-mainan yang berserakan di lantai. Dua laki-laki berbeda usia saling mengobrol, bermain lebih tepatnya. Lelaki dewasa menjawil pipi gembul sang anak, "Kamu nggak mau maen yang lain, Daf?"

Pasalnya dari seminggu yang lalu anaknya ini terus memainkan mainan yang sama, sebuah lego. Mainan yang didapatnya dari sang Papa, walau itu sebuah kebohongan.

"Nggak. Ini kan Papa beli buat Adek," sahutnya, masih fokus dengan mainan di tangannya.

Lelaki dewasa itu menghela nafas, lalu melirik kalender yang tergantung di tembok.

Sebentar lagi putranya akan meniup lilin yang ke tujuh tahun.

"Nanti kalau ulang tahun, Daffa mau apa?"

Sang anak berhenti bermain sejenak, terlihat berpikir sebelum menjawab, "Adek mau niup lilin bareng Papa."

Permintaan sederhana yang sayangnya sangat sulit dipenuhi.

"Nggak bisa, Daffa."

Daffa tau. Sangat tau. Karna setiap dia meminta sesuatu yang berhubungan dengan Papanya, Ayah selalu menjawab demikian. Makanya dia tidak terlalu terkejut, walau ada sedikit kecewa karna hal tersebut.

"Ya udah."

Aksa cuma bisa menghela nafas, salah satu sifat kekasihnya yang menurun ke sang anak. Keras kepala. Single parents itu memutar otak, mencari solusi agar sang anak tidak bersedih di ulang tahunnya nanti.

"Daffa 'kan selama ini belum pernah liat Papa. Daffa mau liat fotonya nggak?"

Mendadak wajah Daffa cerah. Dia memandang sang Ayah dengan binar bahagia, "Boleh??"

"Boleh."

"Yeay!"

*****

"Ayah! Ayah!"

Rumah minimalis itu ramai oleh pekikan anak kecil. Daffa yang terus mencari keberadaan Ayahnya yang ternyata sedang membuat makan siang di dapur.

"Ayah!"

Spontan Aksa menolehkan kepalanya ke arah sang anak. Dia membuka tangannya lebar-lebar, siap menyambut pelukan Daffa.

Tubuh mungil berbalut seragam khas taman kanak-kanak itu dibawa Aksa ke dalam dekapannya.

"Gimana sekolahnya?" tanya Aksa sambil mengaduk sup yang dimasaknya di panci.

"Seru banget~"

Salah satu aktivitas favorit Aksa; mendengarkan cerita Daffa mengenai kegiatannya di sekolah.

"Terus tadi ada orang baik gitu, Yah."

"Orang baik?"

"Iya. 'Kan kata Ayah, orang yang suka berbagi itu orang baik. Dia berbagi buat sekolah Daffa!"

"Donatur maksudnya?"

"Donatur??"

Sebelah tangan Aksa mematikan kompor, lalu mengambil mangkok di rak piring. Sambil menuangkan sup tadi ke mangkok, dia berujar, "Donatur itu orang yang suka berbagi kepada lembaga masyarakat, contohnya orang baik di sekolah Daffa tadi."

"Oh~"

Merasa masakannya sudah siap, Aksa menyusunnya di meja makan, masih dengan Daffa di dalam gendongannya.

"Daffa mau makan sekarang atau nanti?"

"Sekarang!"

"Ayah suapin?"

"Adek mau makan sendiri aja."

"Pinternya~"

Malamnya, Aksa dan Daffa duduk di atas kasur. Aksa sedang mendongeng, sedangkan Daffa duduk di pangkuan Aksa sambil mendengarkan.

"Ayah! Ayah!"

"Ya?"

"Ulang tahun Adek 'kan masih seminggu lagi," Ada jeda sejenak, "Tapi boleh nggak Adek liat foto Papa sekarang?" tanyanya ragu.

"Boleh kok."

Aksa beranjak dari kasur, membuka lemari, lalu mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam. Dia membawa kotak yang agak usang itu ke kasur, menunjukkannya pada Daffa.

"Apa itu, Yah?"

Aksa membuka kotak. Isinya ada sebuah bingkai yang berisi delapan orang remaja dengan seragam SMA.

Ini pasti foto Ayah dengan teman-temannya, pikir Daffa.

Lalu, Aksa mengambil album foto kecil dari dalam kotak. Lembar pertama berisi foto bayi Aksa yang memakai kostum seperti pelaut. Lembar berikutnya berisi pertumbuhan Aksa dari kecil hingga dewasa, mengenakan seragam TK, SD, SMP hingga SMA. Lagi, ada foto Aksa dengan teman-temannya, baru tiga orang. Semakin jauh, jumlah orang dalam foto itu bertambah. Lima.... Enam.... Delapan.... Dan berhenti di akhir.

Foto Aksa dengan seorang laki-laki. Mereka hanya berdua.

Aksa menunjuk lelaki dengan pakaian rapi itu, "Namanya Rashaka Abiputra. Ini dia Papamu."

Daffa memandang lekat foto tersebut. Dia tersenyum kecil, "Papa ganteng."

"Iya. Papamu ganteng."

"Terus sekarang Papa di mana, Yah?"

"Papa pergi."

"Papa ninggalin kita? Berarti Papa orang jahat dong??"

Aksa mengelus surai Daffa dengan sayang, "Papa nggak jahat. Papa malah orang baik, dia juga pemenang."

"Pemenang?"

Aksa tidak bisa membendung air matanya kala mengingat setiap kenangan bersama sang kekasih. Setiap afeksi yang mereka berikan tanpa sadar, yang membuat keduanya terjatuh dalam lembah dosa yang indah.

Kalau diingat-ingat lagi, hampir tujuh puluh persen masa sekolah Aksa diisi oleh kenangan dengan Shaka.

Aksa menghapus air matanya sebelum menjelaskan, "Ya. Papa pemenang."

Daffa dengan otak anak enam tahun hanya bisa mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan ucapan sang Ayah.

"Papamu itu pemenang. Dia lebih memilih Tuhan-nya dari pada kita."

"Tapi, Yah."

Aksa menatap Daffa dengan lembut, menunggu ucapan sang anak.

"Donatur tadi mirip sama Papa."

Dan Aksa tidak bisa menahan tangisnya.

Sejak saat itu, Daffa tidak mau menyinggung soal Papanya lagi. Dia tidak ingin melihat sang Ayah menangis dan berakhir demam. Tidak apa-apa. Setidaknya, Daffa tau dia punya orang tua yang lengkap.

Itu sudah lebih dari cukup bagi Daffa.

[✓]AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang