Saat ini mereka sudah berada di kantin, duduk di meja yang berada di pojok meja biasa yang mereka tempati. Dengan es teh di depan masing-masing, kini mereka membahas tentang murid yang sering bermasalah dengan Cesi.
Keadaan kantin saat ini juga tidak terlalu ramai, jadi mereka bisa membicarakannya dengan tenang namun tetap hati-hati. Vano mulai membuka suara, dan menceritakan apa saja yang ia ketahui.
"Bukan rahasia lagi, kalo Sintya yang satu kelas dengan kita itu sering bermasalah dengan Cesy," ujar Vano.
"Iya, kita juga tau itu. Tapi, gue yakin bukan dia orangnya meski sering beradu mulut dengan Cesi, mustahil kalau Sintya ngelakuin itu," balas Melati.
"Gak ada yang mustahil, ingat! Saat-saat kaya gini kita gak boleh percaya sama siapapun itu, karena pelakunya bisa saja orang terdekat kita," Farel ikut berbicara yang dibalas Vano dengan anggukan setuju.
Rista terlihat diam saja dan mendengar sahabat-sahabatnya yang berbicara. Saat mengalihkan perhatian ke arah lain, ia tidak sengaja melihat Sintya yang sedang asik mengobrol dengan kedua temannya. Rista hanya memandanginya sampai saat seorang pria datang menghampiri Sintya dan ia terlihat mengajak Sintya untuk mengikutinya dan mereka pun pergi berjalan keluar dari area kantin. Dia Daniel.
"Jadi gimana menurut lo, Ris?" tanya Dito.
"Ha-hah?"
Rista tergagap karena belum siap untuk ditanya karena ia tidak terlalu mendengar percakapan mereka setelah ia sibuk memerhatikan pergerakan Sintya sampai saat ia pergi dengan seorang guru yang tidak lain, Daniel.
"Menurut, lo. Mawar atau Sintya yang pertama kita mata-matai, dan yang mana yang paling mencurigakan buat, lo?" tanya Dito lagi.
"Mawar?" Rista berusaha mengingat murid yang bernama mawar yang dimaksud oleh sahabatnya.
"Kakak kelas, tukang bully, sering banget adu mulut sama Cesi."kata Vano seolah mengerti kebingungan Rista.
"Ehm, sebelumnya.... Tolong jangan dulu terlalu yakin dan percaya kalau mereka pelakunya hanya karena mereka sering bermasalah dengan Cesi." Rista menatap satu-persatu sahabatnya.
Mereka semua hanya mengangguk pelan, kemudian Vano lanjut bercerita apa saja yang ia ketahui tentang siapa saja yang sering bermasalah dengan Cesi semasa ia hidup.
Saat serius mendengarkan cerita Vano, tiba-tiba sebuah pesawat dari kertas terbang ke arah mereka dan mendarat tepat di tengah-tengah mereka. Rista mengerutkan keningnya, ia melihat sekeliling untuk mengetahui siapa pemilik pesawat kertas tersebut namun ia tidak melihat orang yang mencurigakan atau orang yang melihat ke arah mereka. Semuanya terlihat sibuk dan asik dengan kegiatan masing-masing, tanpa memusing 'kan pesawat kertas tersebut Rista meraihnya dan hendak membuangnya. Namun, ia melihat terdalam tulisan di pesawat tersebut, ia menatap sahabatnya satu-persatu.
"Ada tulisannya?" tanya Melati saat melihat Rista yang bergerak membuka pesawat kertas tersebut.
Rista tidak menjawab pertanyaan Melati, ia membaca tulisan di kertas tersebut lantas mengerutkan keningnya bingung.
"Jangan bertindak bodoh."
Mereka semua lantas terdiam, bingung dengan kalimat yang tertulis di kertas tersebut. Mereka memilih untuk melupakannya saja karena menganggap itu mungkin perbuatan murid yang iseng saja. Namun, berbeda dengan Rista yang merasa aneh dan ia semakin penasaran dengan orang yang mengirim pesawat kertas tersebut. Sekali lagi, ia menyapu pandangannya ke seluruh kantin namun ia tetap tidak melihat hal yang aneh atau mencurigakan untuknya.
⚫⚫⚫
Melati berjalan keluar dari supermarket yang berada tidak jauh dari rumah Cesi, tempatnya supermarket yang sempat Cesi datangi sebelum ia mengalami kecelakaan. Teringat dengan tempatnya sekarang, Melati menghentikan langkahnya dan memandang ke arah di mana tubuh sahabatnya terbaring lemah beberapa waktu lalu.
Melati mengeratkan pegangan pada kantong plastik di tangannya, meski kecil kemungkinan tapi ia ingin mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu mereka. Ia berjalan mendekat ke tempat di mana kecelakaan itu terjadi ia menyapu pandangan mencari-cari mungkin saja ada bukti atau petunjuk yang bisa membantu untuk memudahkan mereka menemukan sang penabrak.
Namun, Melati tidak melihat sesuatu yang aneh. Memang sulit mencari bukti di tempat kecelakaan ini karena kejadiannya sudah beberapa hari lalu. Melati berbalik dengan lesu, ia melihat ke arah supermarket tadi dan ia melihat ada seorang wanita tua yang melihat ke arah tempat kecelakaan Cesi. Entah kenapa Melati merasa aneh dengan Nenek tersebut, cara dia memandang saja seolah mengungkapkan berbagai macam rasa bersalah dan beban yang ia pikul. Tapi kenapa? Apa hubungannya?
Melati hendak berjalan ke arah Nenek tersebut untuk sekedar bertanya-tanya dengan harapan yang sama, yaitu mendapat sedikit petunjuk soal penabral Cesi. Namun saat hendak melangkah telponnya berdering dan itu panggilan dari Vano. Langsung saja ia mengangkatnya, dan ternyata Vano menelponnya untuk memberitahu bahwa mereka sudah di rumah pohon dan ia juga meminta Melati untuk segera datang karena ada yang ingin mereka bicarakan di sana, dan saat ini.
Setelah panggilan sudah terputus, Melati kembali bergerak hendak mendekati Nenek tadi tapi saat ia melihat ke arah Nenek tadi berdiri sudah tidak ada siapa-siapa. Melati melihat sekelilingnya karena yakin kalau Nenek tersebut pasti belum jauh, tapi ia urungkan niat untuk mengejar Nenek tersebut karena mengingat tadi Vano menyuruhnya untuk segera ke rumah pohon.
Sedangkan di rumah pohon, saat ini mereka hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai saat Melati datang dan langsung menceritakan kejadian tadi.
"Menurut gue gak ada yang aneh, biasalah orang tua," ujar Vano setelah mendengar cerita Melati.
"Iya sih, tapi.... Gue ngerasa ada sesuatu." Melati sedikit menundukkan kepala.
Rista menatap Melati, sebenarnya ia juga merasa sama seperti Vano kalau itu bukan apa-apa karena hanya orang tua saja, tapi melihat raut wajah Melati ia tau kalau sahabatnya itu benar-benar merasa aneh tadi.
"Yaudah lah, lupa 'kan saja," ujar Vano yang akhirnya Melati menganggukinya.
"Dengar!" suara dingin itu tentu saja milik Farel.
"Gak tau kenapa, gue mulai keganggu sama guru baru itu."
"Maksud lo, Pak Daniel?" tanya Melati yang dibalas Farel dengan anggukan pelan.
Rista hanya diam dan mendengarkannya baik-baik karena sebenarnya ia juga menunggu saat-saat ini, saat teman-temannya mulai membahas guru tersebut karena tidak bisa dipungkiri ia juga sempat merasa keganggu, seakan merasa kalau Pak Daniel adalah orang yang tidak bisa mereka abaikan begitu saja.
Sedangkan di tempat lain saat ini, Daniel terlihat sangat serius dengan laptop di depannya lalu ketika ia sudah selesai dengan urusannya itu ia menyeringai dan menatap laptop seperti orang yang kelaparan.
"Kelinci kecil, sudah cukup. Kamu sudah main terlalu jauh," ujarnya masih dengan menyeringai.
Daniel lantas meraih pisau yang ada di atas mejanya lalu ia layangkan dan mengenai foto seorang lelaki yang bagian wajahnya sudah ia coret-coret dengan warna merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCOVER
Teen FictionPersahabatan yang sudah terikat begitu erat, dengan canda dan tawa yang selalu menghiasi. Namun, semua itu berubah semenjak salah satu dari mereka meninggal. Ke lima sahabatnya yaitu, Rista, Farel, Melati, Vano dan Dito siap bertarung untuk mengungk...