'Jangan mudah terpancing sama sekitar, dan jangan buang tenaga hanya untuk meladeni sekitar, cukup abaikan saja meski sulit'
_Daniel Bagaskara_⚫⚫⚫
Kini, rumah pohon yang berada di halaman belakang rumah Rista tempat biasa mereka berkumpul dan selalu dihiasi dengan canda tawa kini keadaannya berbanding terbalik, rumah pohon tersebut hanya ada keheningan juga aura dingin dari satu sama lain.
Sedari tadi, memang mereka kebanyakan diam dan selalu saja Rista yang duluan membuka suara untuk memecahkan keheningan namun tidak lama keadaan kembali hening. Rista menghela napas, ia memandang satu-persatu sahabatnya.
"Udah, jangan murung kaya gini terus. Gue yakin Cesi pasti bakalan sedih liatnya."
"Atau mungkin sekarang dia lagi ngomel sendiri, 'Ih muka kalian kusut banget, Cesi gak suka!'" Rista meniru gaya bicara Cesi dan itu sukses membuat yang lainnya terkekeh.
Jarang-jarang loh, Rista seperti ini dan semua ini ia lakukan untuk sahabatnya karena bosan juga lihat muka mereka yang kusut jadi tambah kusut lagi. Rista tersenyum tipis, saat dirinya berhasil membuat mereka terkekeh.
"Terus, selanjutnya kita mau gimana?" tanya Melati yang mulai membuka suara.
Rista terlihat semangat, begitu juga dengan yang lainnya yang terlihat sudah siap untuk sama-sama berdiskusi ataupun menyusun rencana. Ini memanglah tidak mudah karena usia mereka juga masih remaja untuk melakukan sesuatu yang mungkin akan sangat berbahaya karena mereka tidak tau siapa dan bagaimana orang yang menabrak Cesi.
Kalau penabraknya adalah orang biasa, mungkin mereka akan mudah-mudah saja karena di antara mereka berlima ada Rista dengan kemampuan bela diri yang tidak diragukan lagi juga Farel yang tidak bisa diremehkan. Tapi mereka tidak tau mungkin saja penabraknya bukan orany biasa mungkin dia memanglah preman atau orang-orang jahat, bahkan mungkin psikopat atau gengster. Semua itu memang masih menjadi mungkin tapi mereka tetap harus waspada karena tidak tau menahu tentang si penabrak.
"Kalau penabraknya psikopat kaya yang gue baca gimana? Kita bakal ditikam, dimutilasi atau mungkin ki...."
"Udah, Melati!" potong Vano membuat Melati terdiam.
"Mungkin aja 'kan Ris?" Melati berbisik pada Rista untuk meminta pendapat gadis itu.
"Meski pemikiran Melati terlalu jauh, tapi ada bener nya juga karena kita tidak tau menahu tentang si penabrak, jadi tidak ada salahnya jika kita harus extra berhati-hati." kata Rista.
"Meski begitu, kita harus tetap mengungkapnya. Gue gak peduli kalaupun dia psikopat atau bukan." Dito berkata dengan serius.
Farel berdehem kemudian membuka suara. "Terus? Rencananya?" tanya Farel yang langsung menanyakan bagaimana rencana mereka sekarang.
Rista menarik napasnya, kemudian ia mulai mengutarakan ide-ide yang sudah ia pikirkan matang-matang. Namun, ia tidak langsung memutuskannya sendiri, ia meminta masukan yang lainnya lalu meminta persetujuan mereka.
"Mata-matain mereka?" tanya Melati.
"Sepertinya ini tindakan awal yang bagus untuk kita, dengan memata-matai orang yang menurut kita mencurigakan." ujar Vano yang terlihat langsung menyetujui rencana awal mereka yang baru saja disampaikan oleh Rista.
"Kalau ada yang mencurigakan, jangan langsung bertindak sendiri dan jangan gegabah. Ingat, di sini kita bekerja sama untuk membantu satu sama lain." ujar Rista.
Rista melirik Dito sekilas, dan ia tersenyum tipis saat melihat Dito menganggukkan kepala menyetujui ucapannya barusan. Bukan tanpa alasan ia berucap demikian, ia hanya takut Dito bertindak gegabah karena terlanjur gelap mata oleh kehilangan Cesi, yang ada nanti cowok itu membahayakan dirinya sendiri.
⚫⚫⚫
Pagi hari di sekolah, mata pelajaran pertama sudah dimulai dan di kelas XI IPS 2 seorang guru dengan jas hitam memasuki kelas. Dito sedang memantul-mantul 'kan bolanya di tembok dekat pintu dan bola tersebut hampir saja mengenai guru tapi guru tersebut terlihat santai bahkan ia tetap melanjutkan langkahnya.
"Dito!" tegur Melati memberi isyarat agar Dito segera menyimpan kembali bolanya.
"Guru baru, ya." gumam Vano yang menatap ke arah guru tersebut.
Tidak seperti guru-guru biasanya yang memberi sapaan selamat pagi atau semisalnya, guru tersebut hanya diam dan langsung duduk di kursinya ia bahkan langsung mengabsen satu-persatu nama siswa.
"Bima Anggara."
"Hadir, pak!" sahut Bima, seorang siswa berkacamata yang duduk di depan Dito.
"Cesi Aprillya."
Tidak ada yang menjawab, kelas menjadi hening. Bahkan guru tersebut hanya diam tanpa berniat untuk mengulang kembali ucapannya.
"Gak ada, pak." sahut Melati akhirnya.
Guru yang disapa Daniel itu akhirnya mengangkat kepala, dan sorot mata tajam dengan aura dingin itu pun menyapu pandangannya keseluruh kelas.
"Kemana? Kenapa gak hadir?" tanya guru tersebut.
Tidak ada yang menjawab, Rista langsung memakai hedsetnya karena tau kemana arah pembicaraan selanjutnya.
"Dia pemalas, yah? Apa sering gak hadir? Kalau gak niat sekolah mending gak u...."
"Dia meninggal." ujar Dito yang sedari tadi berusaha untuk tidak lepas kendali.
"Kapan? Apa kamu temannya? Kamu tau kenapa dia meninggal? Memangnya kenap...."
"Itu bukan urusan anda! Lebih baik sekarang anda menjalankan tugas anda sebagai guru untuk mengajari kami, jangan malah menanyakan tentang kematian murid sampai detail!" Dito mulai terpancing.
"Saya sedang menjalankan tugas saya, saya menanyakan penyebab kematian murid, itu saja. Apa salah?" tanya Daniel menaikkan sebelah alisnya.
Rista melepas hedsetnya, ia mendengar semuanya dan entah kenapa ia juga merasa jengkel dengan guru di depan. Awalnya ia terkesan dingin dan bodoh amat sama keadaan, sekarang saat membahas kematian murid kenapa tiba-tiba ia menjadi cerewet dan banyak nanya?
"Permisi pak." Rista mengangkat tangan.
"Waktu pembelajaran bisa langsung habis kalau bapak ingin mendengar cerita kematian murid, sedangkan kami juga ingin diajari bukannya meladeni pertanyaan bapak yang gak habis-habis." ucap Rista tanpa melihat guru tersebut, ia sibuk memainkan bolpoint di tangannya.
"Baiklah." jawab guru tersebut yang akhirnya menyerah dan mulai memberikan materi.
Sampai saat bel pergantian jam berbunyi, Daniel langsung membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk keluar kelas namun beberapa detik ia saling melempar tatapan dingin dentan Dito.
"Jangan mudah terpancing sama sekitar, dan jangan buang tenaga hanya untuk meladeni sekitar, cukup abaikan saja meski sulit."
Setelah berucap demikian, Daniel berjalan keluar kelas dengan Rista yang memandanginya sampai ia hilang di balik pintu. Perkataan Daniel barusan menyita pikiran Rista, entah kenapa ia merasa aneh dengan guru tersebut.
Sedangkan Dito, cowok itu juga memikirkan perkataan guru tadi. Entah kenapa ia merasa tertampar oleh kalimat singkat yang guru tadi ucapkan sebelum ia keluar kelas.
'Jangan mudah terpancing sama sekitar, dan jangan buang tenaga hanya untuk meladeni sekitar, cukup abaikan saja meski sulit'
Ucapannya terngiang, seolah ia memberitahu agar lebih bisa mengendalikan diri lagi, dan untuk bisa mengabaikan perkataan orang-orang sekitar yang membuatnya sakit, meski itu sulit.
Dito melihat ke arah Rista dan Rista juga melihat ke arahnya, detik selanjutnya mereka sama-sama melihat ke arah pintu berlalunya sang guru tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCOVER
Teen FictionPersahabatan yang sudah terikat begitu erat, dengan canda dan tawa yang selalu menghiasi. Namun, semua itu berubah semenjak salah satu dari mereka meninggal. Ke lima sahabatnya yaitu, Rista, Farel, Melati, Vano dan Dito siap bertarung untuk mengungk...