"Princess, bisa kita ngomong sebentar?" Alana kaget karena Gerald menemuinya di rumah, beberapa hari ini ia menghindari Gerald, ia tak mau mengangkat telepon atau membalas pesan darinya."Aku mau pergi, Kak." Alana melirik ke arah Edgar yang sedang menunggunya di teras.
"Sebentar aja, Princess." Gerald memaksa.
"Kalian bicara aja dulu, gue mau nyapa bunda dulu." Edgar tau diri, ia masuk ke dalam rumah. Ia ingin memberi kesempatan kepada kedua orang itu untuk bicara.
"Princess, soal kejadian waktu itu ...."
"Aku nggak mau bahas itu, Kak." Alana memotong perkataan Gerald. Ia merasa canggung jika membahas masalah itu.
"Aku cuma mau jelasin ke kamu, kalau yang kamu lihat saat itu benar. Aku memang gay. Itulah mengapa aku nggak bisa menyukai kamu."
Alana tertarik mendengar perkataan Gerald yang jujur. Ia juga ingin tau lebih dalam tentang kehidupan Gerald.
"Sejak kapan?"
Alana bertanya hati-hati, walau begitu tetap saja ia takut menyinggung perasaan Gerald, masalah orientasi seks ’kan hak orang masing-masing.
"Sejak aku di Swedia. Aku terjebak dalam pergaulan komunitas gay, dan aku nggak bisa lepas."
Gerlad menjelaskan awal mula dirinya menjadi seorang gay, dahulu ia normal bahkan sempat mempunyai pacar. Kehidupannya berubah karena masuk dalam pergaulan yang salah.
"Aku ngerti, Kak. Itu pilihan hidup kamu. Aku nggak berhak ikut campur. Aku janji nggak akan bilang ke siapa-siapa."
Alana memutuskan untuk memahami pilihan hidup Gerald, ia tak bisa memaksa Gerlad untuk menerima cintanya. Ia juga merasa bersalah karena sempat menjauhi Gerald.
"Makasih, Princess. Satu hal yang perlu kamu tau, kasih sayang aku ke kamu itu tulus, aku menyayangi kamu seperti adikku sendiri." Gerlad bersungguh-sungguh mengucapkan kata-katanya.
"Makasih, Kak. Mulai sekarang aku akan menganggap Kak Gerald seperti kakakku sendiri." Alana tersenyum membalas perkataan Gerlad. Dalam hati ia berharap suatu saat Gerlad akan kembali ke jalan yang benar.
"Makasih, Princess."
***
"Lan, lo nggak papa?" Edgar keluar saat Gerald sudah pamit pergi.
"Nggak papa." Alana menghela nafas lega.
"Lo udah baikan sama si Gerald?"
"Iya, sekarang gue anggap dia sebagai abang-abangan gue."
"Baguslah. Akhirnya hepi ending juga." Edgar juga menghela nafas lega. Ia harap setelah ini Alana tidak akan murung lagi. Melihat Alana murung membuatnya ikut sedih.
"Tapi gue khawatir sama abang gue, dia 'kan temenan sama kak Gerald, jangan-jangan dia ...." Alana tiba-tiba teringat akan Paul yang bersahabat karib dengan Gerald.
"Hush, jangan ngomong sembarangan. Lagian abang lo 'kan udah punya cewek." Edgar memotong perkataan Alana.
***
Sabtu siang di sekolah SMA Tunas Bangsa sedang diadakan pelatihan OSIS. Edgar selaku ketua OSIS lama terlihat sangat santai duduk di ruangannya.
Alana menghampirinya bersama Cahyo dan Juki. Mereka geleng-geleng kepala melihat ketua OSIS mereka. Pantas saja sekolah mereka tak maju-maju. Ketua OSIS nya saja model mager begini.
"Kambing macam apa lo? Anak buah udah pada sibuk, lo malah asyik ngisi TTS di sini."
Alana mencibir kelakuan Edgar, ia heran bagaimana bisa manusia ini terpilih menjadi ketua OSIS, seperti di sekolah ini kekurangan murid yang kompeten saja.
"Ralat, dia bukan lagi ngisi TTS, tapi lagi pantengin gambar cewek yang ada di covernya." Juki nyeletuk bebas. Biasalah cover TTS biasanya gambar cewek seksi. Entah apa tujuannya.
"Sialan ngatain gue kambing." Edgar memasukkan buku TTS miliknya ke dalam laci.
"Lah lo 'kan emang kambing, kakak pembimbing?" ralat Alana.
"Tuh anak cewek pada protes sama kebijakan lo yang menghilangkan tradisi tanding basket dengan sekolah seberang," lapor Alana.
"Lagian ngapain tiap tahun kita tanding sama sekolah seberang? Mana selalu kalah lagi. Nggak malu apa, kalah di kandang sendiri?" cibir Edgar.
"Tuh ciwi-ciwi nggak peduli mau kalah atau menang, yang penting mereka bisa melihat cowok sekolah seberang yang terkenal cakep dan six pack. Mereka pingin liat 'tuh cowok-cowok lari-larian sambil keringetan."
Alana mewakili suara cewek-cewek di sekolahnya yang kecewa dengan keputusan Edgar yang semena-mena.
"Dasar pada gatel cewek sekolah kita, termasuk lo, Lan." Edgar mengerti jika Alana bagian dari para cewek yang mengajukan protes padanya.
"Kok gue?"
"Setiap ada pertandingan gue liat lo duduk paling depan."
"Wajarlah, gue 'kan seksi dokumentasi." Alana mengungkapkan alibinya.
"Alesan, seksi enggak, lurus iya. Tipis kek tipi LCD di rumah gue." Seperti biasa, Edgar dengan santainya melakukan body shaming pada Alana.
"Edgar, awas lo, ya!" Alana meraih tangan Edgar, bukan untuk salim, tapi untuk digigit.
"Jangan gigitin gue lagi. Keseringan digigitin lo, gue bisa rabies." Edgar buru-buru menarik tangannya.
"Kalau mau lihat cowok lari-larian ntar gue bikin pertandingan antar kelas," imbuh Edgar.
"Ih, gak mau! Cowok sini burik semua." Alana merengut mendengar ide Edgar.
"Wah, parah lo! Nggak suka produk lokal." Cahyo tersinggung dibilang burik, dia 'kan salah satu cowok penghuni sekolah ini.
"Besok ada anak mahasiswa yang bakal ngelatih eskul PALA." Edgar berkata sambil menyodorkan edaran dari kepala sekolah.
"Oh, ya?" Alana berteriak antusias sambil merebut surat edaran itu. Kalau mahasiswa artinya mereka cowok 'kan? Semoga mereka pada ganteng, pikir Alana.
"Lo siapin kamera, buat dokumentasi." Perintah Edgar pada Alana. Gadis itu memang salah satu anggota OSIS merangkap pengurus mading.
"Oke, kepala suku."
Edgar mencibir sikap Alana yang begitu antusias kalau berurusan dengan masalah cowok.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/268337106-288-k670152.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Mupeng (Complete)
فكاهةNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.