“Kunjungilah nenekmu sekali-kali. Dia sangat merindukanmu.”
Gong Jun masih ingat, ucapan ibunya yang berulang-ulang mengganggunya selama seminggu terakhir. Ibunya tak akan mau diam sebelum Gong Jun melakukan apa yang ia inginkan. Dan itulah, yang pada akhirnya membawa Gong Jun ke tempat terpencil yang belum sepenuhnya terjamah modernisasi kota besar seperti tempatnya dibesarkan. Dengan gerutuan tanpa henti, Gong Jun akhirnya mendapati dirinya berada di tengah-tengah sebuah desa yang namanya tak bisa ia ingat.
Nenek Gong Jun, ibu dari ibunya, sudah tinggal di desa itu selama masa hidupnya. Tekad kuat wanita renta itu kukuh menginginkan seumur hidup menghabiskan waktunya di desa tempat ia dilahirkan, sama sekali tak terbersit keinginan untuk ikut anaknya pindah ke kota. Sekeras apapun ibu Gong Jun membujuk, nenek Gong Jun tetap pada pendiriannya.
“Aku lahir di desa ini. Dan akupun juga akan mati di desa ini.”
Rumah kecil berlantai kayu yang menghadap hutan bambu itu masih sama seperti yang Gong Jun ingat. Meski sudah lama sekali ia tak datang berkunjung. Urusan pekerjaan yang menyita waktu menjadi salah satu alasan klasik yang selalu ia gunakan setiap kali sang nenek memintanya untuk berkunjung. Gong Jun tak sepenuhnya berbohong, dia memang sibuk.
Alasan lain yang tak pernah ia utarakan ialah, ia amatlah malas. Malas untuk menempuh perjalanan di medan yang tak kondusif, serta malas menghabiskan waktu liburnya yang berharga di tempat yang miskin jaringan seperti ini.
Gerutuan Gong Jun berhenti saat ia melihat senyum lebar penuh kebahagian di wajah keriput sang nenek di ambang pintu. Lengan-lengan ringkih itu meraih tubuh Gong Jun, dan menariknya dalam dekapan hangat. Jemari jemari kisut itu mengusap-usap punggung Gong Jun yang basah oleh keringat.
“Akhirnya kau datang juga.” suara parau sang nenek berujar ceria.
Gong Jun membalas pelukan neneknya. Ia mencium aroma angin sore dan bau kayu jati basah dari tubuh wanita itu. Ia lantas terbawa kembali ke masa kecilnya, saat ayah dan ibunya membawanya datang berkunjung di masa-masa liburan sekolah. Ia teringat hewan-hewan kecil yang ia kejar, suara kecipak air sungai kala kaki kecilnya melompat-lompat girang, bunga-bunga liar cantik yang ia petik untuk dihadiahkan kepada sang nenek. Dan senyum terharu neneknya kala menerima bunga-bunga yang sudah patah di tangkainya dan berguguran kelopaknya karena genggaman Gong Jun yang terlalu erat itu.
Gong Jun tersenyum.
Mungkin berkunjung ke sini bukanlah ide yang buruk.
*
Hutan bambu di depan rumah neneknya bagi Gong Jun terlihat seperti dunia lain yang tertutup tirai-tirai hijau yang tinggi. Dari pelataran rumah, pandangannya tak dapat menembus bambu-bambu ramping yang berjajar rapat menutup pemandangan di dalam hutan. Ada jalan setapak yang dapat membimbing menuju ke dalam, namun jalan itu tertutup oleh batang sillinder berwarna hijau yang beruas-ruas itu.
Gong Jun tak pernah pergi ke sana. Selama ia berkunjung ke desa neneknya, tak pernah sekalipun ia berkeinginan untuk mengetahui pemandangan macam apa yang ada di baliknya, makhluk-makhluk macam apa yang akan menantinya. Di usianya yang bukan anak-anak lagi, Gong Jun tak malu meski banyak yang tahu tentang ketakutannya pada hal-hal mistis.
“Hutan bambu itu ada penunggunya.” neneknya pernah berkata. Semakin menambah alasan bagi Gong Jun untuk tidak menapakkan kaki di sana.
“Tapi penunggunya sangat baik. Dan orang-orang bilang, dia sangat cantik.” Bibi Luo menambahkan, yang tak digubris oleh Gong Jun. Penunggu tetaplah penunggu. Makhluk astral yang berbeda jenis dengan manusia, bagi Gong Jun semuanya sama saja. Menyeramkan dan menakutkan. Apapun bentuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Ku Mengejar Cahayamu 【END】
RomanceHutan bambu di desa tempat neneknya tinggal menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah disangka-sangka Gong Jun sebelumnya.