2 | Impian Masa Kecil

22 3 0
                                    

"Ini kontrakan, Ibu. Nggak luas tapi cukup kok buat kita berdua tidur."

Didepan pintu kontrakan sepetak dikawasan padat penduduk ini, Malka hampir saja menitikkan air matanya. Bahkan tempat tinggal mereka di rumah susun jauh lebih baik dibandingkan kontrakan ini. Dan Malka benar-benar merasa dirinya adalah sebuah beban bagi Nandini.

"Ayo masuk, Nak." Perintah Nandini, merangkul lengan Malka dan menggiringnya masuk.

Malka melangkah masuk, mengedarkan pandangannya pada ruangan ber-cat kuning yang sempit itu. Semua perabotan tertata rapih ditempatnya, tidak seperti kamar Malka yang berantakan bak habis diguncang gempa.

"Seminggu lalu, perasaan Ibu nggak enak banget. Kepikiran kamu tiap lagi kerja. Giliran Ibu mau pulang, kamu malah kesini nyusul Ibu." ucap Nandini meletakkan tas berisikan pakaian yang hendak ia bawa tadi.

"Lagian, Ibu kenapa nggak angkat telpon aku? Aku kan khawatir banget sama Ibu." balas Malka ikut melepas tas ransel dipunggungnya.

Nandini mendengus pelan. "Hp Ibu ilang," tuturnya lembut.

Terkadang Malka heran, mengapa ponsel Ibunya selalu hilang atau rusak? Enam bulan bekerja disana, enam kali juga Ibunya selalu membeli ponsel baru. Bahkan Malka yakin, gaji Ibunya harus banyak terpakai hanya untuk mengganti ponselnya yang rusak.

"Tadi pagi sebelum Malka berangkat, Ibu-ibu rusun titip salam buat Ibu."

Nandini mengulum senyum, rindu juga pada mereka. "Kamu ke Jakarta Cuma buat susul Ibu?" tanya Nandini.

Malka meremas ujung baju yang ia pakai. Gadis itu bingung harus memulainya darimana, dan ia harus menyusun kalimat sebaik mungkin supaya Nandini tidak shock. "Seminggu lalu Malka ditabrak mobil..."

"Astaga Malka! Kenapa kamu nggak bilang ke Ibu? Kamu luka parah?! Siapa yang nabrak kamu?! Orangnya nggak mau tanggung jawab? Iya? Jawab Malka!"

Dan benar saja, baru lima kata yang Malka ucapkan sudah dibalas lima kali lipat oleh Ibunya. Raut wajah Nandini benar-benar panik, wanita itu bahkan sampai memeriksa setiap inci dari tubuh Malka.

"Tenang dulu, Bu." pinta Malka. Lantas setelah merasa Nandini lebih tenang, Malka menjelaskan setiap detail dari kejadian waktu itu. Tentang bagaimana kronologinya dan bagaimana sosok Pak Surya.

Sepersekian detik kemudian Nandini bernapas lega, setidaknya Tuhan masih memberi kesempatan hidup pada Putri angkatnya itu. Nandini tidak bisa membayangkan jika hal yang lebih buruk menimpa Malka.

Malka membuka resleting tas ranselnya, merogoh bagian depan tas yang lebih kecil dari bagian lainnya. "Ini, kartu nama Pak Surya." ucap Malka menyodorkan kartu nama itu.

"Kamu yakin mau terima tawaran Pak Surya? A-arunika High School itu sekolah elite, Nak. Ibu khawatir."

"Coba jelasin ke Malka, apa yang Ibu khawatirkan?" tanyanya menggenggam lembut kedua tangan sang Ibu, menatapnya dalam.

Nandini memalingkan kedua wajahnya. "Bandung sama Jakarta itu beda jauh, Nak. Ibu takut kamu susah beradaptasi disana nantinya, ibu takut kamu dipandang sebelah mata karena kita berasal dari keluarga yang nggak mampu, ibu takut-"

"Ibu dengerin Malka. Malka udah terbiasa sama itu semua sejak kecil, Ibu nggak perlu khawatir. Malka pasti jaga diri, buat, Ibu." ucap Malka penuh penekanan diakhir kalimatnya. Lantas Nandini mengangguk walau dalam dirinya masih tersimpan rasa khawatir.

Gadis itu berdiri meninggalkan Nandini yang sibuk membenahi tas-nya. Matanya berhasil dimanjakan oleh deretan foto-foto Nandini bersamanya. Sang Ibu benar-benar merawat segala hal dengan baik, termasuk dirinya.

MALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang