Satu

68 23 1
                                    

Halo, guys. Selamat datang di cerita kedua saya. Ini merupakan cerita dengan genre teenfiction pertama yang akan saya tulis nantinya. Jika sebelum-sebelumnya saya mengusung kisah marriage life, kali ini saya pengin nantangin diri buat keluar dari zona nyaman.

Cerita ini berkisah seputar kehidupan anak SMA yang punya latar belakang sama, tapi punya pandangan berbeda dalam memaknai hidup.

Saya harap kalian suka, ya. Jangan sungkan memberi kritik apabila ada hal yang dirasa rancu.

Happy reading ...

***

Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Bersamaan pula terdengar sorak-sorai para siswa. Masing-masing mereka segera mengemasi alat-alat belajar, lalu berhamburan meninggalkan ruang kelas. Tidak sedikit di antara mereka yang langsung menuju kantin. Ada pula yang menghabiskan waktu rehat di taman, membugarkan tubuh dengan bermain sepak bola atau bermain basket bagi kebanyakan siswa laki-laki, dan mendekam di perpustakaan menjadi pilihan terbaik bagi mereka si kutu buku.

Dari semua tempat istirahat itu, hanya ada satu tempat yang sedikit digemari siswa, yaitu perpustakaan. Lihatlah! Bagaimana tempat ini kosong lempang. Kursi-kursinya hanya dihuni manusia dengan dapat dihitung jari, juga suara bisik-bisik yang nyaris tidak terdengar.

Di sudut ruangan perpustakaan, tampak dua orang siswa sedang asyik bercengkrama. Memberi komentar pada buku yang baru saja habis dibaca.

“Re, sumpah, ini buku keren banget. Emang, sih, genrenya novel. Tapi, cukup banyak pelajaran yang bisa diambil. Menurut lo gimana?” tanya siswa yang satu pada temannya.

“Setuju, Lin. Gue suka banget sama ini novel. Banyak hikmahnya,” balas siswa yang lain.

Mereka adalah Tere dan Olin. Siswa yang dikenal alim dan pandai. Sejak kelas sepuluh selalu menduduki peringkat satu dan dua umum. Sampai-sampai sering mendapat julukan Duo Sahabat Penakluk Inteligensi. Ya, mungkin sebutan ini sedikit berlebihan. Namun, begitulah adanya.

Selain itu, Tere dan Olin juga aktif mengikuti organisasi sekolah. Salah satunya adalah OSIS. Tere sendiri, saat ini menjabat sebagai ketua OSIS, dan Olin sebagai sekretarisnya. Kemana pun mereka melangkah, di situ mereka disegani.

Hal itu pulalah yang memicu, tidak sedikit siswa laki-laki menaruh hati pada Tere dan Olin. Bahkan hampir setiap hari, mereka berdua jengkel karena harus menolak puluhan bahkan ratusan pernyataan cinta.

Bukan karena tidak ada rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, hanya saja Tere dan Olin beranggapan bahwa hubungan pacaran akan merusak konsentrasi mereka dalam belajar, hingga sulit meraih mimpi. Pandangan ini mereka dapatkan dari Monik, teman sekelas mereka yang di semester tahun lalu menduduki peringkat tiga umum. Tetapi di semester kemarin, peringkat Monik malah menurun. Bukan turun satu atau dua peringkat saja, tetapi keluar dari sepuluh besar. Memang sejak setahun belakangan ini, Monik mulai menjalin hubungan asmara dengan Arkan. Tere dan Olin yakin pacaranlah pemicu turunnya prestasi Monik. Itu sebabnya mereka tidak ingin menjalin hubungan asmara. Bagi mereka, ilmu dan pengetahuanlah yang paling penting di atas segalanya.

Dari luar perpustakaan terdengar sorak riuh para siswa. Mereka berjalan berbondong seperti memuja sesuatu. Kebanyakan dari mereka adalah siswa perempuan. Di sekolah ini, bukan rahasia lagi. Tatkala ada siswa laki-laki dengan tampang keren yang suka tebar pesona akan digandrungi oleh siswa perempuan.

Penasaran dengan keriuhan di luar, Olin yang tadinya duduk, segera bangkit berdiri, sedikit berjinjit ia mengintip dari jendela kaca di sampingnya. Maka, terlihat kentaralah pemandangan di luar.

Tere-RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang