Tiga

49 9 0
                                    

Hari ini, Tere sedikit terlambat masuk ke kelas. Tadi di gerbang dia masih harus memeriksa botol air mineral yang memang diwajibkan dibawa oleh semua siswa setiap harinya. Pengharusan membawa air mineral adalah salah satu upaya antisipasi kasus kekurangan cairan atau dehidrasi seperti yang marak terjadi beberapa bulan lalu.

Hal tersebut kerap terjadi pada jam olahraga dan penambahan les ekstrakulikuler dadakan. Biasanya jika tidak membawa bekal air minum dari rumah, para siswa membasahi tenggorokan mereka dengan minuman warna-warni yang dijual di kantin yang tidak jelas kandungannya. Sebenarnya tidak ada yang salah jika mengonsumsi air kemasan dengan berbagai macam warna tersebut. Salahnya hanyalah air itu tidak boleh dikonsumsi terlalu sering. Seperti halnya makanan olahan yang lain, sekalipun home made kalau dimakan setiap hari pasti menimbulkan dampak tidak baik.

Akibat ketergesaannya, Tere sampai di kelas dengan napas tersengal-sengal. Spontan pula, Olin memandang bingung teman sebangkunya itu.

"Tumben lo telat," tukas Olin.

"Enak aja telat. Orang pelajarannya masih belum dimulai," balas Tere seraya mengipas-ngipas wajahnya menggunakan buku tulis.

"Itu gue tahu. Tapi, ini udah termasuk telat buat lo yang biasanya datang subuh hari."

Tere pura-pura menatap Olin kesal. "Hiperbola tahu nggak, Lin."

Olin menyengir. "Maaf, Re. Habis lo beda hari ini. Nggak biasanya aja datang jam segini."

"Tadi gue ngerazia dulu di gerbang."

"Ini bukan jadwal lo jagain gerbang."

"Emang sama kepsek bisa kasih alasan begitu?"

"Nggak boleh, sih." Olin terkekeh.

Tere segera mengeluarkan alat-alat tulisnya sesuai mata pelajaran di jam pertama. Dia tidak ingin ribet mengeluarkan itu semua saat guru telah tiba di kelas seperti yang biasa dilakukan oleh teman-temannya, kecuali Olin tentunya.

"Oh iya, Re. Lo nggak masalah sama yang kemarin?" tanya Olin hati-hati.

Tere paham betul masalah mana yang Olin maksud. Apalagi jika bukan Ryan si cowok sok kegantengan yang seenak jidat menilai dirinya sombong.

"Biarin ajalah. Nggak guna juga ngeladenin dia. Nggak ada faedah," jawab Tere santai.

Kemarin Tere memang sempat bertekad ingin membalas Ryan, tetapi begitu mendengar penuturan Bu Mala, dia lantas mengurungkan niatnya. Setelah dipikir-pikir, wajar Ryan bersikap begitu. Sebagai siswa berandalan sekaligus anak dari penyumbang bantuan terbesar di sekolah ini, sangat dimaklumi jika Ryan berwatak angkuh dan semena-mena.

"Emang, ya, Re. Gue nggak salah milih teman. Udah pintar, cantik, baik hati lagi," puji Olin tulus.

"Gue juga nggak salah milih elo jadi teman gue. Ya, walau harus gue akui teman baik hati, jenius, dan cantik gue ini rada sedikit ..." Tere sengaja menggantungkan omongannya.

"Sedikit apa, Re?"

"Sedikit jutek."

Tidak keberatan dengan anggapan Tere, Olin justru tertawa. Olin memang tidak boleh menyangkal bahwa dia memiliki sifat cuek dan sedikit ketus. Terlebih saat meladeni cowok-cowok yang mengutarakan perasaan padanya. Dengan sangat lantang dan tanpa berpikir panjang, Olin sigap menolak kemudian menceramahi laki-laki itu panjang lebar. "Sekolah dulu, ganteng. Karena pacaran nggak menjamin prestasi, tapi prestasi menjamin datangnya pacar yang berkelas." Begitulah kalimat yang sering dipakai Olin untuk menolak laki-laki yang mengincarnya.

Berbeda dengan Tere yang dikenal tegas oleh orang-orang seantero sekolah. Tere tidak akan segan menghukum siswa yang kedapatan melanggar aturan. Cuma, dia tidak selalu bisa merealisasikan sikap tegasnya apabila bertemu dengan Hiksam-teman band Ogip-siswa sejuta prestasi di bidang musik, tetapi tidak berprestasi dalam akhlak. Bahkan Tere sempat kepikiran kalau Ryan dan Hiksam akan jadi paket komplet siswa berandalan.

Tere-RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang