Lima

43 9 0
                                    

Udara siang ini tak ada ubahnya dengan siang-siang kemarin bahkan siang setahun lalu atau mungkin sepuluh tahun silam. Selalu sama. Terik membakar membuat siapa saja yang bersaung di bawahnya pasti merasa kepanasan. Belum lagi asap knalpot, ruah riuh jalanan, dan suara klakson kendaran yang nyaris tidak berhenti bersahutan.

Hampir setengah jam lamanya Tere nangkring di atas motor dengan bermodalkan helm bogo bermotif katak hijau yang melindungi kepala, juga sweater rajut tipis sebagai pembungkus tubuh setelah kemeja putih yang dia kenakan.

Sesekali dia merungut sebal. Terlalu jengkel dengan drama jalan raya siang ini. Tak cukup terik dan gerah di badan, kemacetan pun seakan tak mau kalah menguji kesabaran. Berulang kali Tere mengerjap, menatap tajam para pengendara yang nekat menerobos jalur pejalan kaki. Tere tidak suka itu. Sekali pun dengan alasan diburu waktu.

Di tengah kejenuhan menunggu lampu merah yang tak kunjung berpindah ke warna hijau, Tere melirik arloji yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Di sana menunjuk pukul empat belas. Tere semakin gusar. Sangat dapat dipastikan kalau orang di seberang sana sedang dirundung bosan.

Begitu lampu lalu lintas mengalihkan diri ke warna hijau, Tere lekas melajukan motornya. Tidak apa jika kali ini berkendara dengan sedikit ekstrem dan sesekali menyalip pengendara lain. Asal, tetap hati-hati.

"Maaf, ya, Nadine. Kakak telat. Jalanan macet parah," ucap Tere segera setelah sampai di tempat tujuan.

Tere mempunyai satu adik, yaitu Nadine Sekar Sanjaya. Usia mereka terpaut tiga tahun. Setiap hari Tere berangkat dan pulang sekolah dengan mengendarai motor bersama Nadine di boncengannya. Bila pagi menyapa, Tere mengantarkan dahulu Nadine, barulah kemudian ke sekolahnya. Dan bila jatah pulang tiba, Tere akan sangat tergesa menjemput Nadine. Atau jika tidak memungkinkan, Nadine pulang dengan dijemput ojek online pesanan Tere.

"Tiap hari juga begitu," balas gadis berseragam putih biru itu—Nadine—sambil memasang wajah kesal.

"Jangan marah, dong. Kakak janji, nanti di rumah bantu ngerjain tugas Matematikamu." Tere berusaha mengambil hati Nadine.

Ketika itu mimik wajah Nadine kembali berbinar. "Benaran, Kak?"

"Contohnya doang tapi. Soalnya tetap kamu yang lahap."

"Makasih, Kak." Nadine tidak masalah kalau hanya diajari sebatas contoh. Cukup dari contoh pasti mudah menyelesaikan soal selanjutnya.

Nadine merasa metode mengajar Tere lebih mudah dipahami. Bukan karena pengajaran guru di sekolah sulit, hanya Nadine sedikit kesusahan mencerna. Bagi Nadine, kakaknya adalah yang terbaik, terpintar, dan terhebat setelah mama mereka.

Tere kembali membelah jalan, menaklukkan segala lika-likunya. Semua ini seakan telah menjadi teman karibnya. Tere merasa hidupnya berputar seperti jalanan. Sudah tahu sering macet, sudah tahu membuat gerah, sesekali menjengkelkan, bahkan pernah menghilangkan nyawa. Tetapi, tetap dilalui.

Baru semenit lalu permukaan ban motor menyentuh garasi, Nadine langsung berlarian ke rumah. Sepatu yang dikenakannya barusan sudah berjejer rapi di rak. Sama halnya Tere yang juga mengekori langkah sang adik.

Dari ruang tamu, tercium aroma masakan Mama. Masakan yang turut menjadi alasan Tere ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Mama tidak pernah berubah. Sejak Tere dan Nadine kecil selalu rajin menyuguhkan makanan lezat. Tidak pernah Mama keberatan ketika dimintai memasak setiap waktu. Tak jarang Tere atau Nadine meminta Mama memasak menu sesuai keinginan mereka.

"Masak apa, Ma?" Tere menghampiri Mama. Diciumnya punggung tangan mulus Mama. Meski tak bisa ditampik tangan itu sudah mulai melahirkan jejak keriput.

"Kesukaan kamu sama Nadine. Telur balado dan sayur lodeh," jawab Mama.

Tere-RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang