Empat

47 9 0
                                    

Lima menit yang lalu, Pak Arga yang merupakan guru pengajar di les kedua, tepatnya mata pelajaran Ekonomi, baru saja menyudahi sesi mengajarnya. Artinya, jam istirahat telah tiba. Meski hanya berlangsung kurang dari satu jam, istirahat adalah saat emas yang teramat dinanti-nantikan oleh setiap siswa.

Seakan tak ingin membuang waktu, Uci dan Bila segera berhamburan ke meja Tere. Jika biasanya mereka cepat-cepat mengemasi buku, kemudian seribu langkah menuju kelas sebelah, kali ini tidak. Sudah tidak heran lagi dengan keduanya. Mereka si siswi centil suka tebar pesona. Pantang melihat lawan jenis mulus sedikit. Pasti langsung diekori, lalu seketika berubah menjadi wartawan dadakan. Tidak lupa pula menyelipkan kalimat-kalimat berisi kekaguman dan pujian.

Omong-omong kelas sebelah, di situ ada Hiksam yang kata siswi pengagumnya keren dan punya sejuta daya tarik. Di sekolah ini siapa tidak mengenal Hiksam. Personil band bagian vokal juga merangkap pemain gitar, atau kadang bermain drum, atau pianis. Kehebatan Hiksam dalam seni musik dan tarik suara tidak diragukan lagi. Berangkat dari itu pula, dia memiliki banyak penggemar. Tidak sebatas dari sekolah tempat dia menuntut ilmu, tetapi juga dari sekolah tetangga yang bahkan berada di luar pulau. Hiksam dan teman-temannya memang sering manggung di luar daerah. Kadang diundang oleh pihak-pihak tertentu, kadang karena mengikuti lomba, kadang juga sengaja meet and great dengan para penggemar mereka.

"Sekarang pindah haluan, Ci. Nggak ke sebelah lagi?" celetuk Saras sengaja membuka kartu Uci.

Refleks, Uci menaruh telunjuk di bibir. Didekatkannya tubuh ke Saras. "Bosen, Ras. Yang ini lebih bening," balasnya berbisik supaya tidak didengar Ryan.

"Kapan lo tobat?" Saras terkikik sebelum akhirnya melongos pergi keluar kelas.

Uci mengikuti pandang punggung Saras hingga hilang ditelan pintu, selanjutnya beralih pada Ryan. "Ryan, lo kenapa mau-mau aja disuruh pindah sama Bu Mala? Harusnya lo ngebantah dikit. Pasti kita yang jadi teman semeja," tukas Uci masih mempermasalahkan tempat duduk.

"Ya, kalau enggak sama Uci. Siapa tahu gue yang beruntung," imbuh Bila.

"Uci, Bila, nggak baik ngebantah perintah guru, apalagi Bu Mala wali kelas kita. Beliau orang tua kita di sini," balas Ryan berlagak bijak.

Tere yang diam-diam menguping pembicaraan mereka, spontan mendengus sinis. Betapa cepatnya Ryan lupa, bagaimana tadi dia merecoki Tere sepanjang Bu Mala mengajar. Apa begitu yang dinamakan hormat?

"Re, perpus, yuk! Mau bahas buku yang baru gue beli di Gramed kemarin." Basa-basi Olin supaya punya alasan mengajak Tere pergi.

"Lo berdua nggak bosen apa bahas buku mulu. Ayolah, sekali-sekali bahas hidup, cinta, dan lika-likunya," imbuh Ryan sigap mendahului Tere. "Bener-bener nggak ada warna hidup lo pada. Dikit-dikit buku, dikit-dikit belajar."

"Suka-suka kitalah. Emang elo yang bisanya tebar pesona," sinis Tere.

Tere bangkit dari duduknya hendak beranjak dari kelas. Tanpa perlu diajak Olin pun, dia memang berencana ke perpustakaan. Sudah menjadi rutinitas, setiap jam istirahat dihabiskannya di tempat senyap dan penuh buku tersebut.

Nahas, belum sempat Tere beranjak, tangannya ditahan oleh Ryan. "Jangan pergi, Re. Lo, kan, udah janji sama Bu Mala bakal ngajarin gue."

Kemarin di perbincangannya dengan Bu Mala, selain menjadi teman semeja Ryan, Tere juga berjanji akan mengajarinya segala subjek pelajaran. Tetapi belajar yang disetujui tidak ada di saat jam bersekolah. "Iya, gue pasti ngajarin lo. Cuma nggak sekarang. Ini jam istirahat bukan ngajar privat," tolak Tere melepas paksa tangannya.

"Gue nggak sebatas pengin diajarin Matematika, Bahasa Indonesia, atau pelajaran lain yang ada di sekolah. Gue juga pengin diajarin hidup."

"Lo udah hidup. Jadi nggak perlu diajarin."

Tere-RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang