Dua

57 22 1
                                    

Lima belas menit lagi pelajaran Bu Mala berakhir. Terdengar pengumuman dari digital switch selector yang menyuarakan bahwa pelajaran selanjutnya harus dikosongkan sebab akan dipakai untuk rapat dadakan guru. Tidak dijelaskan apa yang hendak diperbincangkan para guru dalam rapat tersebut. Namun yang pasti, pengumuman ini menimbulkan pro dan kontra. Pro karena banyak siswa merasa terselamatkan. Selamat dari hukuman sebab tidak mengerjakan tugas. Dan kontra karena ada satu dua siswa merasa dirugikan. Sebab dengan dikosongkannya les selanjutnya, otomatis mereka kehilangan pengetahuan baru hari ini.

Begitu bel pergantian les berbunyi, sorak-sorai para siswa pecah memenuhi setiap kelas. Tidak sedikit dari mereka yang memekik kegirangan. Bahkan saking senangnya ada yang sampai bertepuk tangan. Tidak ingin ketinggalan, Ogip langsung menyambar gitar yang setiap hari sengaja dibawanya ke sekolah untuk dipakai latihan band atau dimainkan saat les kosong seperti sekarang. Biasanya, jika Ogip sudah mulai bermain gitar, Uci, Mia, Lula, dan siswa perempuan yang lain akan segera datang bergabung. Selanjutnya mereka bernyanyi mengikuti alunan gitar Ogip.

Saat semua penghuni kelas sibuk dengan hobi mereka, pemandangan berbeda tampak dari Tere dan Olin. Sudah bukan rahasia lagi, kedua siswa ini adalah si gila ilmu. Mereka hanya akan menghabiskan les kosong dengan belajar, bertukar pendapat satu sama lain dan mencari cara penyelesaian terhadap suatu soal.

Pemandangan berbeda yang lain juga terlihat di sudut kelas. Di ruangan ini pemandangan seperti ini baru terjadi hari ini. Fokus siswa perempuan tak lagi mengerumuni Ogip dengan alunan gitarnya. Kebanyakan mereka malah berpindah haluan menjadi wartawan dadakan untuk Ryan.

"Ryan, udah punya pacar belum?"

"Ryan, mimpi apa, sih, gue semalam kedatangan teman sekelas sekeren elo."

"Ryan, cewek idaman kamu seperti apa?"

"Ryan, aku ada nggak di tipe cewek idaman kamu?"

"Ryan, kamu, kok, ganteng banget."

"Ryan, sebenarnya dulu gimana cara Tuhan waktu ciptain kamu makanya sampai manglingin gini."

"Ryan, lo semeja sama gue aja. Jangan sama Agnes. Soalnya Agnes orangnya pendiam, nggak asyik. Mending sama gue, asyik dan pastinya cantik." Ini sudah pasti kalimat dari Uci.

"Lha, si Uci nggak asyik. Mentang-mentang cantik, langsung bawa-bawa rupa," sewot Bila.

"Si Uci emang cantik, Bil. Tapi, otaknya udang," imbuh Saras.

"Apaan, sih, lo berdua. Iri bilang. Nggak usah bawa-bawa otak," sergah Uci tidak terima.

Sementara siswa perempuan sibuk meneror Ryan dengan berbagai macam pertanyaan, Ryan diam saja menyimak pertanyaan temannya sambil tidak lupa memasang tampang sok cuek.

Tere dan Olin yang merasa terganggu akibat kebisingan teman-temannya, sontak menoleh ke sudut kelas. Mungkin kalau hanya gitar dan suara orang bernyanyi yang berkumandang, mereka masih bisa terima. Toh, musik dan seni suara adalah paket lengkap sebagai teman belajar. Namun, tidak dengan suara gaduh. Apalagi kegaduhan itu terjadi karena memperdebatkan laki-laki yang menurut mereka sama sekali tidak menarik.

"Sorry, Re, Lin, kita berisik. Habis gimana. Seumur-umur gue sekolah di sini, belum pernah kelas kita kedatangan cowok sekeren Ryan," ucap Uci cengengesan merasa tidak enakan dengan tatapan kedua teman jeniusnya itu. Bagaimanapun Tere dan Olin sering memberinya contekan tugas. Kecuali saat ujian, kedua temannya itu pasti seketika berubah menjadi manusia paling tuli di dunia.

"Emang dibolehin pindah tempat duduk?" Sama sekali tidak peduli dengan tatapan Tere dan Olin, Ryan justru membuka topik baru.

"Boleh, dong, Ryan. Kenapa, lo udah berubah pikiran mau semeja sama gue?" tanya Uci percaya diri.

Tere-RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang