Garis polisi membentang dari sebuah gang sempit, tepat di pinggir Kota. Sirine polisi berdenging nyaring membuat beberapa orang berkerumun berdesakan, sekedar melihat-lihat atau merekam kejadian. Bisik-bisik terdengar ketika mata beberapa orang menemukan bangunan terbengkalai yang kumuh dan tak dipedulikan itu ternyata menyimpan sejuta makna.
Beberapa lelaki dengan topi hitam nampak bersembunyi di sudut gedung. Menatap diam pergerakan sirine-sirine merah biru yang bergerak merotasi. Tiga lelaki itu tak banyak bicara. Melewati tatapan mata saling memberi sinyal. Kemudian mengangguk perlahan. Seakan menerima sebuah bentuk persetujuan.
Beberapa saat diiringi suara khas kepolisian, sampai kemudian kerumunan perlahan surut. Beberapa polisi yang terlihat menyerah mencari bukti nampak kembali ke mobil masing-masing.
Bersamaan dengan gerakan roda mobil polisi terakhir, derap langkah menggema di keheningan malam. Seakan menjadi petunjuk sebuah pergerakan yang tergesa-gesa. Ketiga lelaki yang sebelumnya menatap diam di sudut pepohonan nampak bergegas melintasi garis-garis polisi. Ketiganya berhenti dengan diam di depan pintu masuk.
Satu lelaki paling ujung kanan mengetik entah apa di ponselnya dengan serius. Wajahnya nampak beberapa kali mengernyit dan bibirnya tak henti-hentinya menggerutu.
Lelaki lain yang berada di ujung paling kiri, tersenyum dengan pongah. Sesekali menendangi pintu yang berderit, seakan menakuti makhluk-makhluk tak kasat mata yang berada disana.
Kemudian lelaki yang berada di tengah, mengeluarkan sebuah kain serut. Yang di dalamnya terdapat tiga sarung tangan latex dan dia memberikan masing-masing satu pasang pada setiap orang.
Lelaki yang berada di pojok kanan mengernyit, "Hm? Kita harus masuk ke dalam? Tempat menji-" perkataannya terhenti. Mulutnya terkunci oleh sebuah telapak tangan. Itu hasil uluran tangan lelaki yang berada di ujung kiri.
"Ular, diamlah. Kau bisa membuat makhluk-makhluk astral disana marah. Kau mau membuat misi kita gagal? Dan kita bukannya mencari, malah dicari oleh orang-orang di militer?" Lelaki pendek yang dipanggil ular nampak memutar bola matanya malas.
"Ular, Ular, Ular, berhenti bicara omong kosong! Panggil aku Cobra!" ucap lelaki bertubuh paling pendek itu.
Lelaki yang berada di ujung kiri bergumam," ... Itu adalah ular." Dan lelaki paling pendek terdiam kesal.
"Sudahlah kalian. Berhenti bertengkar. Kita harus cepat menyelesaikan misi ini dan kembali ke pangkalan." Lelaki yang paling tengah nampak benar-benar menjadi penengah keduanya. Ia dengan tepat menghentikan adu mulut yang bisa-bisa terus berlanjut hingga esok hari.
Tiga lelaki yang nampak mencurigakan dengan pakaian serba hitam itu merupakan salah satu penanggungjawab keamanan pemerintah. Tugas mereka menjaga kedaulatan, menangkap orang-orang yang membelot, penyamaran, dan sebagainya.
Nama bukanlah hal penting bagi mereka. Bahkan nyawa sekalipun. Nama samaran telah terbiasa mereka gunakan. Seakan nama pemberian orang tua hanya sebuah julukan. Lelaki yang paling ujung kanan adalah Cobra -seharusnya. Namun mereka lebih mengenalnya dengan sebutan Ular. Kemudian yang berada di ujung paling kiri adalah Rusa. Dia orang yang sangat suka membuat sang Ular marah dan geram. Sementara yang berada di tengah mereka adalah sang pemimpin, sang alpha, Serigala.
"Kenapa kita tidak langsung masuk?" Sang Rusa bertanya kepada pemimpin tugas. Mereka telah berdiri di depan pintu hampir dua puluh menit tanpa pergerakan. Sedangkan Sang Serigala menutup matanya sembari menghitung. Membuat Sang Rusa pasrah ketika tidak mendapat jawaban apapun darinya.
Tepat pada hitungan Sang Serigala ke dua ratus tiga puluh, seseorang datang menghampiri mereka dengan tergesa. kemeja putihnya bernoda kehitaman, dan rambutnya teracak tak beraturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIGILANT [BTS]
Fanfiction[BTS - Crime - BrotherShip - Military] Tugas menjelang cuti mereka hanya menyelesaikan kasus sebuah tempat yang diduga terlibat dalam kegiatan jual beli ilegal. Namun, rupanya kenyataan kelam muncul ke permukaan. Ilmu yang mengalami penyimpangan, me...