Bab 1 : Playboy Jerapah

34.9K 4.1K 63
                                    

Satu pemandangan yang menyita fokusku yaitu ada anak kecil yang berlari ke arah seorang pria dewasa. Pria dewasa tersebut merentangkan tangannya dengan kedua tangannya yang dibuka lebar. Menyambut pelukan kecil yang aku pikir itu adalah putri kecilnya yang mungkin lama tidak bertemu.

Pemandangan yang membuat siapapun bisa tersentuh hatinya. Jadi ingat pada diri sendiri ketika ayahku lama tidak pulang dan ketika bunda mengatakan kalau ayah akan pulang. Hatiku gembira dan melompat-lompat riang. 

Aku menunggu kedatangan ayah di depan pintu. Atau kalau sudah teramat rindu aku akan meminta bunda untuk menanti kedatangan ayah di bandara saja.

Aku menyaksikan momen haru itu dengan duduk di kursi sambil menanti dosenku yang sebentar lagi akan ke Jogja jadi aku menunggunya di bandara.

Pak Kamil dosen pembimbingku memintaku untuk bertemu dengannya di bandara. Karena aku hanya minta tanda tangan beliau untuk beberapa berkas yang aku siapkan sebagai syarat agar aku bisa ikut sidang bulan ini. Sidang di bulan terakhir supaya bisa ikut wisuda gelombang pertama.

Jika aku ikut gelombang kedua maka aku harus nunggu semester depan dan aku harus membayar uang semesteran lagi dan aku tidak mau melakukan itu. Aku ingin lulus tepat waktu.

Meskipun aku yakin ayahku tidak masalah jika aku telat satu semester. Hanya tidak nyaman saja rasanya.

Senyumanku merekah ketika orang yang aku nantikan datang juga. Aku melambaikan tanganku, memanggil namanya dan berlari ke arahnya.

"Wah, nunggu lama yaa Shanum. Maaf yaa. Saya mengajakmu untuk ketemuan di bandara." Kata beliau sambil menuliskan tanda tangannya di atas kertas putih itu.

"Ah tidak apa-apa pak." Kataku yang benar-benar tidak masalah  dengan permintaannya.

Ketika hubunganku dengan ayah tidak baik. Aku ke bandarapun tidak mau karena saking bencinya pada ayahku. Dan memutuskan untuk berhenti bepergian menggunakan pesawat terbang. Terlebih aku memang tidak punya saudara yang sampai harus menggunakan pesawat terbang agar bisa sampai kesana.  Menggunakan transportasi darat masih bisa digunakan.

"Ok. Kalau ada apa-apa hubungi saya saja di wattsup sampai ketemu di sidang yaa. Sukses." Ucapnya berlalu.

Aku mengamini ucapannya dan mendoakan dia agar selamat sampai tujuan.

Aku kembali memasukan berkasku ke dalam map dan segera pulang. Baru beberapa langkah ada seseorang yang memanggil namaku dengan lengkap.

Suara seorang laki-laki.

Apa aku salah dengar? Tapi aku yakin ada seseorang yang memanggil namaku. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada. Tidak tanda-tanda orang yang memanggilku.

"Shanum Shaquella Harun." Ulangnya lagi. Aku memutar tubuhku menghadap kebelakang dan akhirnya aku tahu siapa gerangan yang memanggilku dengan nama lengkapku.

Aku melihat seorang pria yang lengkap dengan seragamnya. Seragam yang sama yang di pakai oleh Ayahku. Dia seorang Pilot.

Hah..... Pilot. Tanpa alasan pasti aku sudah tidak menyukai orang di depanku ini. Kalian pasti pernah kan tidak suka sama seseorang padahal orang itu tidak ada masalah denganmu.

Membenci tanpa alasan pasti.

"Saya." Tunjukku pada diriku sendiri. Masalahnya aku tidak kenal dengan pria tersebut. Mungkin kalau dia membuka  kacamata hitamnya aku bisa mengenalinya. Siapa tahu dia teman ayahku.

"Iya. Kamu yang bernama Shanum Shaquella Harun kan?" Katanya lagi.

"Iya saya sendiri." Jawabku.

Dia menarik sudut bibirnya. "Kamu menjatuhkan ini tadi." Ujarnya dengan menunjukan kartu kecil seperti Kartu Tanda Mahasiswaku.

Aku berjalan perlahan dan menghampirinya. Mengecek apa itu benar milikkku. "Iya benar. Ini milik saya. Terima kasih pak." Kataku tersenyum padanya.

Tapi senyumanku di balas dengan sebuah kerutan di kedua alisnya. "Pak?!" Katanya yang merasa tidak percaya dan tidak suka dengan panggilan yang aku berikan padanya.

"Iya. Bapak, bapak Pilot kan?" Kataku yang tidak mengerti.

"Saya memang Pilot tapi umur saya tidak setua itu sampai harus dipanggil bapak oleh mahasiswi semester akhir seperti kamu." Katanya sewot.

Kini aku yang mengkerutkan alisku padanya. Ini orang kenapa sih? Baru juga bertemu bahkan aku belum tahu namanya sudah protes -protes padaku.

"Maaf kalau tersinggung." Kataku yang mengalah. "Kalau begitu sekali lagi terima kasih sudah mengembalikan KTM saya." Kataku sedikit menunduk.

"Mas." Tambahnya.

Aku mendongak dengan pandangan heran padanya.

"Lain kali kalau ketemu dengan saya jangan panggil Pak atau bapak saya tidak setua itu panggil saja Mas." Ucapnya yang kini akhirnya dia tersenyum utuk pertama kalinya padaku.

"Kenapa saya harus panggil Mas kepada Anda. Anda bukan Mas saya dan anda juga bukan mas-mas pelayan kafe." Kataku yang sedikit kesal dengan orang yang berdiri dengan tingginya, gagah dan begitu tegapnya di depanku. Apalagi pakaian yang dia kenakan seakan menambah kesan yang sempurna bagi dirinya.

Aku sadar ada beberapa perempuan yang memerhatikan pria di depanku ini. Karena dia mempunyai wajah di atas rata-rata.

Siapa yang tidak tersihir dengan pesona pria di depanku ini.

Kecuali aku.

Sudah kukatakan aku tidak suka pria dengan seragam yang sama pekerjaannya dengan pekerjaan ayahku. Setampan apapun itu. Se-sholeh apapun orangnya tetap saja aku tidak peduli jika dia seorang Pilot. Bahkan aku mem-blacklist nya dari calon suamiku.

"Dan saya juga bukan bapak anda kenapa anda memanggil saya dengan panggilan Pak." Katanya yang tidak mau mengalah.

Percayalah wajah tampannya akan hilang seketika jika sifatnya mengesalkan seperti ini. Aku membuang mukaku. Sekalian membuang amarahku saat ini.

Tahan Shanum, sabar Shanum, kamu lagi puasa. Tidak boleh marah-marah.

Kenapa aku harus bertemu dengan pria yang pertama kulihat sudah memberikan kesan tidak baik padaku.

Tanpa berkata apapun lagi. Aku pergi begitu saja meninggalkan pria tersebut.

"Shanum Shaquella Harun." Panggilnya. Aku tidak peduli jika dia memanggilku. Aku mengabaikannya.

"Shanum Shaquella Harun." Panggilnya untuk kedua kalinya. Aku masih tetap mengabaikannya.

"Shanum...." panggilannya terputus karena aku kembali berbalik menghadapnya dengan tatapan kesal. Menatap wajahnya marah yang hanya berjarak lima meter dariku.

Dia tersenyum padaku.

"Hanya mau bilang. Namamu indah sama seperti orangnya." Katanya tersenyum.

Aku tidak tersanjung dengan gombalannya. Karena aku bisa menilai dia pasti seorang pria yang playboy. Dia bisa mengencani semua wanita yang dia mau. Tinggal pilih. Atau Wanita yang datang sendiri kepadanya. Terlebih dia pasti terkenal di lingkungan pekerjaannya. Seperti para pramugari mungkin.

Tampan dan dengan pekerjakan yang mapan. Siapa yang tidak mau?

"Semoga saya tidak bertemu dengan anda lagi. Tuan Pilot cap Playboy Jerapah." Rutukku marah dan berlalu pergi.

Setelah merutuk pria tersebut aku beristighfar berulang lagi.

Aku tidak tahu, kenapa aku bisa menyematkan kata Jerapah padanya. Apa karena yang terlintas di otakku adalah hewan yang memiliki leher panjang dan bertubuh tinggi lantas aku menyamakan dia yang memiliki tinggi badan layaknya sama dengan Jerapah.

Ah.... semoga saja dia tidak sakit hati dengan gelar yang aku berikan padanya.

🍁🍁🍁

Uwwwuuu pertemuan mereka yang manis untuk part Awal😍

Gimana gemes gak mereka? 😆

Lafadz Cinta Di atas Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang