Takut Jatuh Cinta?

0 0 0
                                        

Cuma karena satu hal kecil lagi remeh, hal-hal lainnya bisa terjadi di luar dugaan. Kalimat itu bisa aja terjadi pada Virzha Roseline. Cuma karena gelang berwarna merah yang terpaksa dipakainya, dia mulai mengenal Ariel lewat secuil cerita tentang gelang itu.

Meskipun udah berdiri lima belas tahun silam, SMA Pratama Jaya bisa dibilang baru dalam hal mencetak prestasi. Di tahun-tahun lalu, masalah fasilitas jadi kendala bagi siswa-siswi yang punya kelebihan di beberapa bidang, terutama bidang seni, sains, dan olahraga. Nggak cuma fasilitas, sekolah tempat Virzha dan teman-temannya belajar ini masih terlihat ‘biasa’ dari segi fisik, beda sama sekolah-sekolah lain yang ‘wah’. Ya kali kalau lokal kelasnya udah ditingkat jadi tiga lantai, juga direalisasikannya perbaikan eternit kelas yang kerap dikeluhkan bocor pas musim hujan. Disamping kelas, properti laboratorium dan olahraga – terutama basket dan badminton, juga jadi realisasi perbaikan berikutnya. Itupun selesai tiga tahun silam.

Ekskul basket dibuka di SMA ini saat memasuki usia kedelapan. Regenerasi pemain, pemilihan ketua ekskul, serta pelepasan pemain dari kelas XII di awal semester genap untuk persiapan Ujian Nasional, adalah menu tahunan ekskul yang mewadahi olahraga favorit anak muda ini. Gesekan-gesekan memang ada, tapi untungnya ada beberapa pengurus yang cerdas dan tanggap menghadapinya. Nggak heran jika ekskul basket banyak mendapat apresiasi dari semua warga sekolah. Mulai dari kepala sekolah, guru, pegawai, hingga siswa-siswi.

Sambil nulis resensi buku tentang Bung Tomo, Virzha kembali kepikiran momen gelang merah beberapa waktu silam. Momen yang sempat bikin cewek itu canggung sekaligus terpana dengan seorang Ariel.

Awalnya sih, pas klub mading lagi diskusi di perpustakaan sekolah sehari sebelumnya, Virzha ngusulin bikin resensi buku Namaku Mata Hari karya Remy Sylado. Salah satu temennya yang tampaknya kritis nggak setuju sama usul Virzha itu.

"Mata Hari punya track record yang nggak bagus, Virzha. Dia memang cerdas karena dia suka membaca. Minatnya sama seni jangan ditanya lagi. Tapi secara behavioral, dia perempuan yang dianggap brutal. Kalau kamu keukeuh review buku Mata Hari, sama saja kamu kasih pengaruh buruk ke pembaca, sekalipun kamu bakal bilang 'ada pesan moral dari buku ini' blablabla..."

Penolakan itu disambung sama saran dari Cintami. "Saran aku, coba deh, cari buku tentang tokoh yang nggak banyak ditulis sejarah, tapi punya pengaruh dan track record yang bagus. Minimal punya kontribusi apa gitu. Lebih bagus lagi kalau tokoh-tokohnya dari Indonesia. Mata Hari kan tokoh luar, Zha. Ya kali kalau dianya pernah ke Indonesia, ikut suaminya sebelum cerai."

Walaupun Virzha sang reporter mading dengerin saran temen-temennya sambil mengangguk-angguk, cewek itu mulai bingung sendiri. Tokoh berpengaruh? Punya track record bagus? Punya kontribusi? Dari Indonesia? Maksudnya Cinta apa sih?

Tapi daripada marah balik ke Cintami, Virzha yang mulai mencerna ucapan temennya itu minta saran lebih lanjut. "Contohnya?"
Cintami langsung tanggap. "Nih ya. Kayak Muhammad Yamin. Soedirman. Bung Tomo. Tjokroaminoto. Hamengkubuwono. Daud Beureueh. Chairil Anwar. Banyak lagi deh! Kalau buku 'AKU'-nya Sjuman Djaya, yang kayak di film itu sih nggak apa-apa..."

Murid cowok kritis itu tampaknya setuju sama saran Cintami. "Pokoknya jangan review Mata Hari. Kamu boleh review satu aja dari tokoh-tokoh yang tadi disaranin Cinta. Biar lebih kerasa nasionalismenya!"

Virzha mulai menimbang-nimbang ucapan temen-temennya, meskipun diliatin juga sama mereka. Sampai kemudian...

"Oke. Kalau review tentang Bung Tomo, gimana pendapat kalian?"

"Ya pendapat kamu dulu, Zha." Murid cowok lainnya yang satu klub sama Virzha malah 'buka pintu' buat cewek itu.

"Eeeeennnggg... Karena.. Bung Tomo kan pemuda pejuang. Dia..."

PLAYMATE [Preview]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang