BAGIAN 1

221 11 0
                                    

Di pagi yang masih berselimut embun, berjalan tiga orang laki-laki berpakaian serba kuning dengan langkah terburu-buru melewati pematang sawah. Salah seorang menjulurkan kepala ke sana kemari, mengawasi keadaan sekelilingnya. Tidak ada orang lain di tempat ini, kecuali dua orang petani yang mungkin terlambat menanami sawahnya. Padahal padi di sawah-sawah lainnya telah tumbuh hampir dua jengkal.
Langkah ketiga laki-laki ini terhenti, ketika di depan pematang sawah berdiri lima lelaki lain yang masing-masing membawa pedang pendek. Tidak ada jalan lain, kecuali harus melewati mereka. Atau kembali mundur!
Tapi, pilihan terakhir rasanya tidak mungkin dilakukan ketiga lelaki berpakaian serba kuning memakai ikat kepala warna kuning pula. Di dada masing-masing terlihat lambang perguruan bergambar rebung berwarna kuning. Dari sini bisa diduga kalau ketiganya berasal dari Perguruan Rebung Koneng.
"Bagaimana, Kang Banu?" tanya lelaki yang berada di tengah pada kedua kawannya yang berada di depan.
"Apa boleh buat, Dipa? Kita terpaksa melewati mereka...!" tandas laki-laki bernama Banu atau Banuwirya, mantap.
"Tapi mereka berlima!" laki-laki yang paling belakang mengingatkan.
"Lalu, apa kita harus turun ke sawah? Atau mundur dan mengambil jalan memutar? Mereka pasti mengejek. Dan guru tidak akan senang mendengarnya"
"Huh! Apa mau mereka sebenarnya? Mencari gara-gara saja!" umpat lelaki yang dipanggil Dipa. Nama sebenarnya adalah Dipayana.
"Jatmika! Dipayana! Bersiaplah! Kita harus melewati mereka!" ujar Banuwirya tegar.
Setelah membulatkan tekad, mereka segera melangkah dengan sikap waspada. Dada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng berdetak kencang, seperti menanti sesuatu dengan tegang.
Sementara kelima laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri menghadang diujung pematang pura-pura tidak peduli. Padahal mereka jelas menghalangi jalan ketiga murid Perguruan Rebung Koneng itu.
"Kisanak, tolonglah menepi. Kami hendak lewat," ucap Banuwirya berusaha sopan ketika telah berada dua setengah tombak di depan kelima laki-laki bertampang seram itu.
"Silahkan! Siapa yang melarang?" sahut salah satu penghadang yang berkepala botak.
"Bagaimana kami bisa lewat, bila kalian berdiri di situ?" kata Banuwirya mencoba tenang.
"Kau boleh lewat sesuka hatimu. Atau kalau perlu, turun ke sawah!"
Banuwirya menarik napas, dan berusaha menahan sabar. Kata-kata itu sama artinya penghinaan. Sebab ketiga murid Perguruan Rebung Koneng bukan tidak kenal dengan lima orang berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar pedang dan kilat didada masing-masing. Mereka adalah murid-murid Perguruan Pedang Langit.
"Kisanak. Kami tengah ada urusan. Harap kalian tidak mengganggu." Kali ini Dipayana mencoba berbicara.
"Siapa yang peduli urusan kalian?" lecehnya.
"Kakang, kenapa mesti mengalah segala? Jelas mereka memang ingin cari gara-gara!" dengus laki-laki yang bernama Jatmika.
"Hei, hati-hati bicaramu!" sentak salah seorang murid Perguruan Pedang Langit bertubuh gemuk, namanya Surokatil.
"Hai, Babi Busuk! Apa kau kira kami takut dengan kalian? Puih! Jangan berlagak di depan kami!" dengus Jatmika disertai semburan ludahnya.
"Bangsat!" maki Surokatil.
Wajah laki-laki bertubuh gemuk itu terlihat merah. Gerahamnya berkerotokan menahan geram. Demikian pula keempat kawannya. Seperti diberi aba-aba mereka langsung melompat menerjang tiga murid Perguruan Rebung Koneng.
Sring!
"Heaaat...!"
Melihat kelima murid Perguruan Pedang Langit mencabut pedang, maka Banuwirya, Dipayana, dan Jatmika pun tidak kalah sigap. Segera serangan itu disambut dengan mencabut senjata masing-masing yang berupa pedang.
Wuuut! Trang!
Pertarungan seketika berlangsung sengit, namun terlihat tidak seimbang. Lima lawan tiga. Namun begitu murid-murid Perguruan Rebung Koneng sama sekali tidak merasa gentar. Mereka menghadapi kelima lawannya dengan semangat menyala-nyala.
Sayang, kepandaian ketiga murid Perguruan Rebung Koneng tidak lebih tinggi dibanding lawan-lawannya. Sehingga pelan-pelan mereka terdesak hebat.
Seperti sekarang ini. Banuwirya tampak kewalahan menghadapi salah seorang yang membabatkan pedang pendeknya ke dada. Cepat dia berusaha menggeser tubuhnya ke samping, lalu menangkis senjata laki-laki botak lawannya.
Trang!
Pada saat yang sama, laki-laki botak itu sudah memutar tubuh ke kiri. Bahkan langsung mengayunkan tendangan keras ke arah perut.
Duk!
"Aaakh...!"
Dipayana yang dikeroyok tampak juga kewalahan. Setelah berhasil menghindari satu serangan, maka lawan yang seorang lagi menyabetkan pedang ke lehernya dari belakang. Karuan saja, terpaksa dia menjatuhkan diri. Padahal saat itu lawan yang berada di depan tengah melayangkan satu tendangan menggeledek. Sehingga....
Begkh!
"Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan itu menghajar dada Dipayana, membuatnya terpental ke belakang. Selang beberapa saat kemudian, nasib Jatmika tidak berbeda jauh. Ketika salah seorang membabatkan pedang ke dada, dengan cepat pedangnya dikebutkan.
Trang!
Dan baru saja Jatmika menguasai diri, seorang lawan yang lain mengayunkan tendangan ke pinggang belakang. Untung, Jatmika cepat bergeser ke kiri. Namun pada saat itu juga, pedang lawan yang berada didekatnya menyambar tanpa ampun.
Brettt!
"Aaakh...!" Murid Perguruan Rebung Koneng itu menjerit kesakitan ketika bagian perutnya tersayat pedang pendek, menimbulkan luka lebar.
"Bunuh sekalian...!" sentak Surokatil, memberi semangat.
Maka kelima murid Perguruan Pedang Langit yang tengah dibakar amarah, agaknya tidak bisa menahan diri. Mereka bermaksud menghabisi lawan-lawannya secepat mungkin. Namun....
"Berhenti! Atau kalian ingin mampus!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring melengking, membuat pertarungan berhenti sejenak. Belum juga kelima murid Perguruan Pedang Langit hilang keterkejutannya, tahu-tahu sesosok tubuh bergerak cepat mendekati dengan gerakan jungkir balik.
"Tahan dia!" perintah Surokatil, begitu tersadar dari keterpukauannya.
Trang! Trang!
"Akh...!" Keempat murid Perguruan Pedang Langit coba memapaki.
"Aaah...!" Dua orang kontan menjerit kesakitan dan terjungkal ke sawah begitu terjadi benturan senjata. Sementara dua lainnya tersentak kaget. Bahkan tahu-tahu, pedang ditangan mereka terpental entah ke mana.
"Nimas Pandini! Agaknya kau mau ikut campur dalam urusan ini!" dengus Surokatil ketika melihat siapa sosok yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
Dia adalah seorang gadis cantik berikat kepala kuning. Pedangnya yang terhunus diarahkan ke murid-murid Perguruan Pedang Langit itu. Raut wajah gadis yang dipanggil Nimas Pandini kelihatan sinis penuh amarah.
"Kalianlah yang lebih dulu memulai persoalan!" balas gadis itu dengan suara lantang.
"Huh! Orang-orangmu yang lebih dulu mencari gara-gara! Coba tanyakan pada mereka!" kilah Surokatil.
Nimas Pandini menoleh pada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng yang berusaha bangkit. Dan mereka segera mendekati gadis itu.
"Banuwirya! Apa benar yang dikatakan mereka?" tanya Nimas Pandini.
"Tidak, Nyai. Merekalah yang menghadang kami di ujung tegalan itu!" sahut Banuwirya, disertai ringisan kesakitan.
"He, Monyet! Jangan berdusta. Kawanmu yang lebih dulu memaki. Padahal, kami tidak berbuat apa-apa!" sentak Surokatil.
"Itu karena kalian yang lebih dulu mencari gara-gara! Apa namanya jika menghadang di ujung pematang, kalau bukan mencari urusan? Padahal kalian tahu, kami akan lewat!" sahut Jatmika, tidak kalah garang.
"Sudah! Aku ingin persoalan ini tidak dilanjutkan! Pergilah kalian!" sentak Nimas Pandini.
"Nimas! Kau telah mencari urusan. Dan ini tidak bisa kami diamkan begitu saja!" sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Langit.
"Tutup mulutmu! Sudah jelas kalian mencari gara-gara. Dan kini malah mau memperpanjang urusan. Apakah kalian tidak melihat bahwa aku berusaha menyelesaikan persoalan?" bentak gadis itu.
"Huh! Itu karena kalian memang pengecut!"
"Kurang ajar!" Nimas Pandini menggeram.
Namun gadis itu segera menghela napas panjang. Bukannya dia takut menghadapi mereka. Bahkan kalau menuruti amarah, ingin rasanya kepala kelima murid Perguruan Pedang Langit itu ditebasnya. Namun sekuat mungkin amarahnya ditahan karena dikhawatirkan bisa menyulut perang besar di antara dua perguruan.
Selama ini permusuhan antara kedua perguruan itu telah berlangsung lama. Bahkan perang kecil-kecilan sering terjadi. Tidak ada yang tahu pasti, apa penyebabnya.
"Kenapa? Apa dikira kami takut?!" ejek Surokatil, sinis.
"Pergilah kalian. Dan tidak usah memancing amarahku!" bentak Nimas Pandini.
Surokatil terkekeh. "Dasar orang-orang pengecut! Di mana saja tetap pengecut. Setelah menyerang dari belakang, kini berlagak hendak menyudahi urusan seperti orang tidak bersalah."
"Keparat!" dengus gadis itu menggigil menahan geram. Sepasang matanya melotot geram. Raut mukanya berkerut penuh amarah.
"Tidak perlu menakut-nakuti kami, Nimas! Kami sama sekali tidak takut padamu!" tantang Surokatil.
"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Biar kutunjukkan, bagaimana pengecut sepertiku mengurus kalian!" sahut gadis itu dengan suara ditekan sedemikian rupa.
Bet!
Nimas Pandini melintangkan pedangnya didepan dada, siap menyerang. Sementara kelima orang itu pun tidak kalah sigap menyambut serangan.
"Nyai Nimas! Lima lawan satu tidak seimbang! Biar kami bantu!" sahut Banuwirya seraya melompat ke samping gadis itu.
Tindakan laki-laki itu cepat diikuti Dipayana. Sementara Jatmika yang tengah terluka, mundur beberapa langkah ke belakang untuk memberi ruang gerak.
"Tidak perlu! Kalian bantu merawat luka Jatmika. Aku masih mampu menghadapi mereka!"
"Baiklah...," sahut Banuwirya.
Tanpa banyak kata lagi Dipayana dan Banuwirya melangkah mundur. Mereka yakin akan kemampuan gadis itu, meski menghadapi lima orang sekaligus.
Memang, keyakinan itu bukan tanpa alasan. Dengan sekali bergerak menyerang, buktinya gadis itu kini berhasil menghajar Surokatil sampai kelabakan. Pedang di tangan murid Perguruan Pedang Langit itu terpental. Bahkan dengan jungkir balik, dia harus menghindari tebasan-tebasan senjata Nimas Pandini. Padahal pada saat yang sama, keempat kawannya berusaha mendesak. Tapi ketika gadis itu berbalik tiba-tiba, maka yang terjadi malah sebaliknya.
Trang! Cras!
"Uhhh...!" Dua kawan Surokatil mengeluh tertahan. Pedang mereka terpental dihantam senjata Nimas Pandini. Bahkan ujung pedang itu terus meluncur deras, melukai dada tanpa bisa dielakkan. Masih untung gadis itu tidak bertindak kejam. Kalau mau, rasanya dada mereka akan robek hingga membuat tulang rusuk patah. Meski begitu dua murid Perguruan Pedang Langit yang lainnya kelihatan tidak gentar. Mereka malah menyerang semakin kalap.
"Kurang ajar! Kau harus membalasnya, Perempuan Busuk!" bentak seorang murid Perguruan Pedang Langit.
"Huh!" Nimas Pandini hanya mendengus pendek, dan bersiap menyambut serangan dengan menyilangkan pedang.
Sementara Surokatil tidak tinggal diam. Dia langsung ikut membantu kedua kawannya dalam menyerang Nimas Pandini.
"Heaaat...!"
Tring! Trang!
Namun meski telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja kelima murid Perguruan Pedang Langit tidak mampu mendesak. Apalagi, menjatuhkan gadis itu. Bahkan dengan cepat keadaan berubah.
Pedang di tangan Nimas Pandini bergerak cepat secara tidak terduga. Gerakan ini membuat dua murid Perguruan Pedang Langit terkejut. Mereka berusaha menghindar, namun dengan cepat senjata gadis itu menghantam pedang-pedang mereka.
Trang! Trang!
Pedang-pedang itu terlepas dari genggaman. Gerakan Nimas Pandini tidak cukup sampai di situ. Karena secepat itu pula, ujung pedangnya sudah menyambar ke tenggorokan.
"Hiiih!"
Melihat kedua kawannya terdesak, Surokatil coba membantu dengan menyerang dari belakang. Tapi mudah sekali Nimas Pandini mengelak dengan membungkuk sambil bergeser ke kiri. Saat itu juga pedangnya berkelebat menyambar Surokatil.
Cras!
"Aaakh...!" Surokatil menjerit kesakitan begitu ujung pedang Nimas Pandini merobek kulit perutnya. Pada saat yang sama, gadis itu telah melepaskan satu tendangan berputar.
Duk!
"Aaah...!" Kembali terdengar jeritan tertahan dari satu murid Perguruan Pedang Langit ketika satu tendangan keras Nimas Pandini tepat menghantam mukanya.
"Ayo, ke sini kau!" bentak Nimas Pandini pada lawan berikutnya yang belum terkena hajarannya.
Orang yang dibentak memandang ke arah gadis itu dan kawannya bergantian. Nyalinya agak ciut. Tapi dia malu menunjukkannya di depan keempat kawannya. Tapi kalau menyerang gadis ini, maka nasibnya tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya itu. Dia hanya maju mundur sambil menimang-nimang pedang.
Dan sebelum ada yang memulai, mendadak berkelebat satu sosok berpakaian serba hitam. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di depan Nimas Pandini.
"Den Santang Praja...!" Begitu melihat siapa yang datang, Surokatil dan kawan-kawannya berseru girang.
Sementara, pemuda yang memiliki dahi lebar dan memakai ikat kepala merah itu memandang sinis pada Nimas Pandini setelah melirik sekilas pada Surokatil dan keempat kawannya.
"Mereka telah menganiaya kami. Den...!" lapor Surokatil.
"Dasar bangsat! Kalianlah yang lebih dulu buat gara-gara, lalu memancing-mancing kemarahanku. Dan kini kalian hendak mengadu yang bukan-bukan! Apa kau kira aku takut dengan majikanmu itu, he?!" dengus Nimas Pandini garang.
"Tidak usah membela diri, Nimas. Bukti yang kulihat sudah jelas!" sahut pemuda bernama Santang Praja, dingin.
"Lalu, apakah kau tidak melihat bukti yang menimpa murid ayahku? Kalian memang pandai mencari gara-gara!"
"Jaga mulutmu!" sentak Santang Praja. Sepasang mata pemuda itu melotot lebar. Gerahamnya berkerotokan, menahan amarah.
"Hei, Santang Praja! Pertarungan antara perguruan kita tinggal beberapa hari lagi saja. Tapi kalau kau ingin mempercepatnya sekarang, jangan kira kami akan mundur!"
"Perempuan busuk! Kau kira aku tidak berani membunuhmu sekarang juga?!" dengus Santang Praja.
"Laki-laki bajingan! Tidak usah banyak bicara. Cabut pedangmu. Dan kita tentukan sekarang juga!" balas gadis itu dengan suara tidak kalah sengit.
Sraaang!
Santang Praja agaknya benar-benar tidak bisa menguasai amarah. Maka seketika pedangnya dicabut dan siap menyerang Nimas Pandini. Tapi saat itu juga niatnya diurungkan ketika tahu-tahu ada satu sosok berlari ke arah murid-murid Perguruan Rebung Koneng.
Begitu tiba, jelaslah siapa yang datang. Ternyata seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun lebih. Kumisnya tipis, namun sudah berwarna putih. Kepalanya berikat kuning. Tubuhnya sedang dan tidak terlalu besar. Tangan kirinya terlihat menggenggam sebatang pedang bergagang kuning emas.
"Huh...!" Melihat kedatangan laki-laki itu dengan mendengus sinis Santang Praja mengajak Surokatil dan yang lainnya berlalu dari tempat itu.
Sementara orang yang baru datang itu tidak berkata apa-apa. Dan matanya hanya memandang sekilas seraya menarik napas panjang. Kemudian didekatinya Nimas Pandini.
"Apa yang telah terjadi? Kenapa kalian terlibat bentrokan dengan mereka?" tanya laki-laki tua itu.
"Mereka yang buat gara-gara lebih dulu, Ayah! Tanyakan saja pada Banuwirya," sahut Nimas Pandini masih memendam perasaan jengkel terhadap pemuda tadi.
"Benar begitu, Banuwirya?"
"Benar, Guru! Mereka yang memulai lebih dulu," sahut Banuwirya. Kemudian pemuda itu menceritakan persoalan yang sebenarnya terjadi dari awal.
Orang tua itu mengangguk, lalu kembali menarik napas panjang. "Mugeni tentu tidak akan menerima begitu saja.... Tapi, sudahlah! Ayo kita pulang...!"
"Tidak usah khawatir, Ayah! Kalau memang mencari gara-gara, sambut saja tantangan mereka!" dengus Nimas Pandini.
"Pertarungan itu kian dekat. Dan kalau bisa, Ayah ingin agar itu tidak terjadi. Namun dengan adanya kejadian tadi, tentu semakin membuat mereka bertambah marah."
"Huh! Apa hebatnya mereka?! Ayah tidak usah terlalu lemah, sebab mereka akan menganggap kita penakut!"
"Bukan itu yang Ayah pikirkan. Tapi permusuhan ini tidak ada gunanya sama sekali...."
"Kita sudah cukup menawarkan persahabatan. Tapi, mereka malah menganggap kita kalah dan penakut! Kalau sudah begitu, sekalian saja hadapi. Apa mau mereka sebenarnya!"
Orang tua yang sebenarnya Ketua Perguruan Rebung Koneng itu terdiam. Agaknya, dia tahu kalau jiwa putrinya tengah diamuk amarah. Sehingga, tidak ada gunanya membicarakan permusuhan di antara dua perguruan itu.

***

163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang