Bukan saja pukulan itu cepat luar biasa. Tapi juga mengandung racun hebat luar biasa. Baunya menusuk hidung, serta hawa panas menyengat menjadi pertanda kalau pukulan itu mengandung racun ganas. Bahkan batang pohon yang terkena pukulan itu seketika ambruk. Daun-daunnya dengan cepat menjadi layu dan kering.
"Heat!"
Begitu melenting bangkit, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Saat itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat dua sinar berwarna merah bara dan berhawa panas.
Namun, sosok berpakaian serba hitam ini agaknya tidak gentar mendapat serangan dua cahaya merah yang bergerak cepat ke arahnya. Tubuhnya langsung melenting ke udara
Tapi, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyerangnya dari jarak dekat. Barulah, orang bertopeng itu benar-benar terkejut. Dalam keadaan di udara, mana mungkin bisa menghindar. Apalagi serangan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar cepat. Akibatnya....
Begkh!
"Akh...!" Orang bertopeng itu menjerit tertahan begitu dadanya terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan melayang ke belakang. Tapi dia masih sempat mematahkan lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan. Kemudian dia mendarat di tanah dengan bahu turun naik dengan cepat. Itu menandakan pernapasannya kacau akibat pukulan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Hebat juga kau! Tapi, tidak usah sombong! Sebab, aku masih memberi kesempatan padamu untuk hidup!" dengus orang bertopeng itu.
"Kisanak! Aku tidak mengerti bicaramu. Tapi yang jelas hidup matiku tidak tergantung padamu," sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.
"Keparat! Rupanya kau benar-benar sombong!" desis orang bertopeng itu langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan kilat.
"Huh!" Rangga mendengus sinis, bersiap menangkis serangan. Begitu serangan mendekat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat.
Plak! Plak!
Bet!
"Uhhh...." Pendekar Rajawali Sakti sadar, kalau kali ini orang bertopeng itu bermaksud menjatuhkannya. Maka untuk itu Rangga pun telah bersiaga. Ketika kedua tangan orang bertopeng terpentang hendak menyambar ke arahnya, dia menjatuhkan diri sambil bergulingan.
"Hup! Yeaaa...!" Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting, dan langsung berjumpalitan dua kali ke atas. Kemudian tubuhnya menukik tajam menyerang orang bertopeng laksana seekor Rajawali yang hendak menerkam mangsa. Orang itu kelihatan agak gugup. Dan sebisanya dia menangkis.
Plak!
Baru saja orang bertopeng itu menangkis, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengayunkan sebelah kaki. Masih untung dia mampu mencelat ke belakang. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti yang sudah makin gemas terus mengejar dengan satu hantaman dahsyat yang tak terelakkan lagi.
Begkh!
"Aaakh...!" Orang bertopeng itu mengeluh kesakitan ketika kepalan Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dadanya dengan cepat. Tubuhnya terus meluncur. Namun begitu mendarat ditanah, dia langsung berkelebat melarikan diri. Sebentar saja, tubuhnya lenyap dalam kegelapan malam.
"Kenapa diam saja?! Orang itu pembunuh Ayah dan adikku!" seru Nimas Pandini merasa gemas, melihat pemuda itu mendiamkan saja lawannya lolos.
"Tenang, Nimas! Tenanglah," ujar Rangga seraya menangkap pergelangan tangan Nimas Pandini yang hendak mengejar orang bertopeng itu.
"Kau membiarkan dia lepas begitu saja? Padahal, orang itu ada di depan hidungmu sendiri?!" desis gadis itu jengkel.
"Nimas, tenanglah! Dia akan datang lagi padamu. Percayalah! Dia akan datang lagi!" sentak Rangga berulang-ulang.
"Huh!" Nimas Pandini bersungut-sungut kesal seraya memalingkan wajahnya. Hatinya masih jengkel dan tidak mudah hilang begitu saja meski menyadari kalau memang tidak berhak memaksa pemuda itu.
Tetapi dia yakin, orang bertopeng tadi adalah pembunuh ayah serta adiknya. Dan bukankah untuk urusan itu pemuda ini datang ke tempatnya?
"Dia terluka dalam akibat pukulanku. Akan kita selidiki, siapa orang di balik topeng itu. Kalau dalam sehari atau dua hari tidak muncul, maka berarti memang dia pembunuh Ayah dan adikmu. Tapi kalau dia muncul pada malam berikutnya, berarti bukan dia pembunuh yang kita cari," jelas Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kudanya.
Nimas Pandini mengikuti, dan tidak banyak bicara.
"Maaf, mungkin kau sangat kecewa padaku. Tapi kita tidak boleh salah membunuh orang," lanjut Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
Nimas Pandini masih diam membisu. Dan itu membuat Rangga jadi tidak enak hati.
"Kedatanganku kali ini atas undanganmu. Kalau saja Baladewa masih ada, aku mungkin masih bisa menekan rasa sungkan. Tapi kali ini, kaulah tuan rumahnya. Biarlah kuselesaikan ini dengan caraku sendiri. Dan rasanya, tidak perlu kau menjadi tuan rumah bagiku."
Gadis itu menoleh. Dan wajahnya tampak murung. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa asing."
Nimas Pandini tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan tertunduk lesu.
"Aku tahu, kau sedih dan juga kesal melihat sikapku tadi. Tapi selain alasan yang telah kukatakan tadi, kita pun harus mempertimbangkan akibat-akibat lain. Mungkin dia menjebak, atau memancing. Dan kalau itu benar, maka sia-sialah kedatanganku ke sini...," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah.... Soal itu aku tidak marah. Maafkan sikapku kalau tidak menyenangkanmu."
"Tidak apa...."
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Sebentar lagi kita sampai," ujar gadis itu membuka pembicaraan kembali.
"Di depan itu?" tunjuk Rangga ke arah sebuah bangunan bertingkat yang seluruhnya dipagar rapat oleh kayu-kayu setinggi dua tombak.
"Ya."
Wajah Nimas Pandini berkerut heran begitu memasuki halaman perguruan. Saat ini malam sudah larut. Tapi murid-murid Perguruan Rebung Koneng kelihatan sibuk. Sementara cahaya obor dari halaman begitu banyak. Gadis itu buru-buru ke dalam. Beberapa murid terkejut, namun segera menarik napas lega begitu mengetahui siapa yang muncul.
"Ada apa? Kenapa kalian berkumpul tengah malam begini?" tanya Nimas Pandini.
Pertanyaan gadis itu sedikit terjawab, ketika melihat beberapa sosok mayat bergelimpangan yang dikumpulkan di satu tempat. Buru-buru menghampirinya. Dan wajahnya pun kembali terkejut.
"Siapa? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!" desis Nimas Pandini seraya memandang murid-murid Perguruan Rebung Koneng yang berada di dekatnya.
"Orang bertopeng itu, Den," sahut salah seorang dari mereka.
"Bangsat terkutuk itu?! Dia datang lagi? Jahanam...!" desis Nimas Pandini memaki.
Wajah gadis itu berubah kelam. Hawa amarah telah menguasai isi dadanya. Napasnya terasa sesak. Namun begitu, dia masih berusaha untuk menahan diri.
"Den Nimas...," sapa salah seorang murid.
"Hm, ya. Ada apa?"
"Banyak murid yang merasa takut. Mereka..., mereka bermaksud pergi esok hari," lapor murid itu.
"Pergi? Kalian akan meninggalkanku seorang diri, setelah peristiwa ini?!" seru gadis itu dengan suara nyaring.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng menunduk ketika Nimas Pandini memandangi satu-persatu.
"Di mana kesetiaan kalian? Apakah nyali kalian telah ciut menghadapi tantangan seperti ini?!" lanjut gadis itu.
Tidak ada seorang pun yang berani angkat kepala dan buka mulut. Semuanya tertunduk, membisu. Sementara gadis itu masih bersungut-sungut kesal.
"Biar aku bicara pada mereka," kata Rangga pelan.
"Terserah kamu saja...."
"Kisanak semua." Pendekar Rajawali Sakti mulai bicara pada mereka. "Kehadiranku di sini adalah atas kehendak Nimas Pandini. Adapun tujuannya, agar aku membantu mengatasi petaka yang menimpa orang-orang di sini. Untuk itu, aku berharap kalian mau bekerja sama. Jika kalian ketakutan, maka mungkin saja keinginan orang itu berhasil. Yaitu, memang sengaja menakut-nakuti murid Perguruan Rebung Koneng. Dan akhirnya kalian berpecah-belah. Itukah yang diinginkan Ki Sanjaya? Tentu tidak, bukan? Telah banyak yang menjadi korban. Dan kita harus membalasnya. Agar mereka yang telah mendahului tidak mati sia-sia."
Rangga mengakhiri kata-katanya, kemudian memandang mereka satu-persatu. Sepertinya, dia hendak meyakinkan bahwa kata-katanya tadi bisa menyadarkan semangat mereka yang kendor untuk berkobar kembali.
"Orang bertopeng itu memiliki ilmu tinggi. Dan kami tidak ada harapan untuk bisa meringkusnya. Apalagi membunuhnya," sahut salah seorang murid bernada lesu.
"Hanya satu orang. Sedangkan jumlah kita banyak. Lantas, apakah tidak mungkin bisa meringkusnya?"
"Itu telah dicoba. Dan hasilnya, malah Ki Sanjaya dan Baladewa tewas, ditambah beberapa murid lainnya. Lalu belum lama orang itu muncul, dan menewaskan beberapa murid lainnya. Apakah ini berarti kita akan menyediakan diri sebagai korbannya secara percuma?"
"Tidak! Kita akan melawannya. Dan aku akan membantu kalian!"
"Apa yang bisa kau bantu? Guru kami saja tewas di tangannya."
"Tidakkah kalian tahu, siapa pemuda ini?!" teriak Nimas Pandini dengan suara nyaring.
Semua murid Perguruan Rebung Koneng terdiam. Dan memang sebenarnya tak seorang pun yang tahu siapa pemuda yang bersama putri almarhum Ki Sanjaya itu.
"Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti! Pernahkah kalian mendengar nama itu?"
"Pendekar Rajawali Sakti? Benarkah...?!"
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng itu terkejut. Dan di antaranya saling bergumam dengan suara ribut seperti kawanan lebah.
"Bagaimana keputusan kalian sekarang?" tanya Nimas Pandini.
"Apakah dia yakin bisa mengalahkan orang bertopeng hitam itu?" tanya salah seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
"Ya! Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan iblis bertopeng hitam itu?" tanya yang lain mengikuti.
"Aku telah melihat sendiri. Dan dia mampu mengalahkannya! Sebelum tiba di sini, kami dihadang orang bertopeng hitam itu. Dan dia terlibat pertarungan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu kemudian kabur, setelah Pendekar Rajawali Sakti menghajarnya!" sahut Nimas Pandini, mantap.
"Oh, maaf!" tukas Rangga cepat, "Apa yang dikatakan Nimas memang benar. Tapi, itu bukan berarti aku menjanjikan mampu mengalahkannya. Aku hanya berusaha. Dan itu harus dibantu kalian semua. Karena seperti kalian juga, aku adalah manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Bila tidak ada kerja sama di antara kita, maka aku akan sulit bekerja sendiri. Tapi bila kalian membantu, segalanya akan terasa ringan dan mudah!"
"Apa yang kau katakan benar! Kami akan mendukungmu!" sahut satu suara.
"Ya! Kita akan mendukungnya! Lagi pula ini adalah persoalan kita. Kita harus mendukungnya!" sambut yang lain.
Kemudian serentak semua murid Perguruan Rebung Koneng memberi dukungan satu-persatu. Nimas Pandini tersenyum haru. Diajaknya dua orang murid Perguruan Rebung Koneng serta Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruangan utama. Sedang yang lain membereskan mayat-mayat kawannya yang tadi masih berserakan.
"Kakang Wiryaraja telah gugur secara ksatria. Maka, kalian berdua kuanggap sebagai murid utama. Oleh sebab itu yakinkan sekali lagi pada murid-murid lainnya agar mereka bersatu. Kita tidak boleh berpecah-belah. Orang-orang Pedang Langit memang menginginkan hal itu!" ujar Nimas Pandini, begitu berada di dalam ruangan utama.
"Akan kami usahakan, Den!" sahut salah seorang murid utama.
"Bagus, Setiaki dan Darmaja! Ingat! Mereka tidak boleh mati sia-sia!" Nimas Pandini kembali menegaskan.
Dan kedua murid utama itu mengangguk cepat.
"Lalu langkah apa yang akan kita lakukan sekarang, Den?" tanya murid yang dipanggil Darmaja.
Nimas Pandini menoleh kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga pun agaknya cepat tanggap. "Begini, Darmaja," kata Pendekar Rajawali Sakti. "Seperti yang tadi dikatakan Nimas, aku memang telah berhadapan dengan orang bertopeng itu. Kurasa setelah mengacau di sini, dia menghadang kami berdua. Jarak kami dengan tempat ini sedikit jauh. Mestinya dia harus kabur ke tempat utara. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Orang bertopeng itu berlari ke selatan!" tuding Rangga.
Kedua orang itu berpikir sebentar. Demikian pula halnya Nimas Pandini.
"Tahukah kalian, apa yang ada di selatan sana?"
"Itu tempat Perguruan Pedang Langit...!" seru Nimas Pandini.
"Nah! Aku pun berpikir begitu."
"Apa maksudmu?"
"Kurasa bukan hanya aku yang berpikir, bahwa semua ini ada kaitannya dengan permusuhan kalian berdua. Sebab yang menjadi sasaran hanya perguruan ini...."
"Ya! Aku tidak mendengar kehebohan penduduk di sekitar desa ini akibat ulah orang bertopeng itu!" sahut murid utama yang bernama Setiaki.
"Nah! Berarti kecurigaan pertama kita tujukan pada mereka!"
"Lalu tindakan kita?" tanya Nimas Pandini.
"Apakah pertandingan yang pernah disebutkan Baladewa padaku kini menjadi batal?"
"Tidak jelas. Tapi dengan adanya kejadian yang menimpa kami, agaknya mereka tidak pernah mempersoalkan itu lagi," sahut Setiaki.
"Kalau begitu pergilah besok pagi-pagi sekali ke tempat mereka. Katakan, pertandingan itu kita laksanakan esok hari!"
"Tapi...."
"Jangan memotong dulu, Nimas!" sahut Rangga cepat "Aku tahu, mungkin kau khawatir siapa yang akan menghadapi mereka. Aku yang akan menggantikan Ki Sanjaya melawan Ki Mugeni. Aku juga yang akan menggantikan Baladewa, serta aku juga yang akan menggantikanmu untuk menghadapi lawanmu!"
"Itu tidak bisa! Aku harus menghadapi lawanku sendiri!" tukas Nimas Pandini.
"Nimas! Jangan salah menilai. Aku tidak bermaksud merendahkan kemampuanmu. Dengan cara seperti itu, aku ingin memancing kemarahan mereka. Bukan tidak mungkin si Cakar Maut pun akan turun tangan. Saat itu akan kulihat, apakah memang dia orang bertopeng itu atau bukan!" jelas Rangga.
"Bagaimana cara mengenalinya?"
"Aku mengenali dari jurus-jurusnya. Juga pancaran matanya. Dan yang lebih penting, aku telah membuat ciri khusus padanya."
"Apa itu?"
"Goresan luka di lehernya. Itu kulakukan dengan kuku. Dan luka seperti itu tidak mudah hilang meski kecil dan kelihatan tak berarti!"
Nimas Pandini mengangguk. Dan diam-diam dia merasa bersalah, karena tadi tidak percaya terhadap rencana Rangga yang melepaskan orang bertopeng itu. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ini urusan antara kami dan mereka. Ki Mugeni tentu tidak suka orang lain ikut campur tangan," kata Nimas Pandini.
"Kenapa tidak kau katakan kalau aku pamanmu?"
"Ki Mugeni tahu semua saudara ayahku."
"Kalau begitu, katakan saja aku saudara ibumu!"
"Itu lebih tidak mungkin. Sesungguhnya, antara mendiang Ibu dan Ki Mugeni masih ada pertalian saudara meski jauh. Tapi, itu tidak membuat Ki Mugeni tak mengenal saudara-saudara mendiang ibuku. Dia mengenalnya dengan baik."
"Kalau begitu, katakan saja aku calon suamimu!" sahut Rangga enteng.
Wajah gadis itu seketika bersemu merah mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa sadar, dia jengah sendiri sambil menundukkan kepala.
"Benar! Aku setuju!" sahut Setiaki.
"Ya. Aku pun setuju. Brajadenta pasti akan geram bukan main mendengar ini!" timpal Darmaja.
"Nah! Bagaimana, Nimas?" tanya Rangga.
"Ya, terserah saja," sahut gadis itu, pelan.***
KAMU SEDANG MEMBACA
163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar Maut
ActionSerial ke 163. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.