"Kurang ajar...!"
Bruak!
Sebuah meja bundar hancur dengan sekali gebrak, dihantam tangan kekar milik seorang laki-laki yang berusia sekitar enam puluh lima tahun. Dia lantas berjalan mondar-mandir menelusuri ruangan besar ini dengan kedua tangan masih terkepal. Sepasang matanya lebar, mukanya berkerut menahan amarah.
Sementara enam orang lain yang juga ada di ruangan ini hanya bisa menundukkan kepala tanpa ada yang berani mengangkatnya.
"Santang Praja! Benar apa yang dikatakan Surokatil?! Hm... kalau benar agaknya mereka sengaja mencari permusuhan dengan kita!" desis laki-laki tua berjubah hitam, dengan rambut putih yang panjangnya sebahu.
"Benar, Ayah! Mereka memang cari gara-gara!" sahut pemuda yang dipanggil Santang Praja.
Memang, orang tua berambut panjang sebahu adalah Ketua Perguruan Pedang Langit yang dikenal dengan nama Ki Mugeni. Sedang pemuda yang dipanggil Santang Praja adalah putranya. Rupanya, Santang Praja bersama lima muridnya segera melapor kepada Ki Mugeni, tentang kejadian pagi tadi.
"Apa maunya tua keparat itu?"
"Kenapa Ayah masih bertanya-tanya lagi? Sudah jelas mereka hendak menunjukkan pada kita, bahwa perguruan merekalah yang lebih hebat!" sahut Santang Praja memanasi.
"Keparat!" maki Ki Mugeni kembali.
"Ayah tidak bermaksud menuntut balas terhadap kekurangajaran mereka? Coba lihat! Surokatil dan kawan-kawannya terluka. Ini akibat perbuatan anak perempuannya yang tidak tahu adat itu!" jelas Santang Praja, berusaha meyakinkan.
"Akan kuhabiskan mereka di arena pertarungan nanti!"
"Hm, terlalu lama. Perbuatan mereka hari ini tidak mendapat balasan apa-apa dari kita. Jangan-jangan mereka akan besar kepala. Bahkan menganggap kita sekumpulan orang penakut!" lanjut pemuda itu terus memanas-manasi orangtuanya.
"Tua bangka itu tidak akan berani berkata demikian, Santang!"
"Kenapa tidak? Bahkan tadi kata-katanya menjurus ke arah itu...."
"Apa katamu, Santang? Benar dia berkata seperti itu?"
"Kenapa aku mesti berdusta...?" sahut Santang Praja enteng.
"Keparat! Tua bangka itu memang tidak bisa diberi hati!" geram Ki Mugeni dengan sepasang mata semakin melotot.
"Nah! Sekarang, Ayah baru bisa merasakan apa yang kurasa saat ini. Mereka memang tidak bisa diberi hati."
"Huh! Sekarang juga siapkan murid-murid lainnya! Kita hajar mereka!" dengus Ki Mugeni, kalap.
"Sebentar, Ayah! Aku ada rencana yang lebih matang."
"Apa? Lekas katakan!" desak Ki Mugeni.
"Bukankah hari ini Kakang Brajadenta akan kembali bersama gurunya?"
"Hm, ya! Lalu?"
"Kami akan menjemputnya beramai-ramai."
"Apa hubungannya dengan rencanamu itu?"
"Aku dengar, si Baladewa hari ini pulang dari bepergian. Kami akan menyergapnya. Dan pasti Ketua Perguruan Rebung Koneng akan melihat anaknya pulang dengan tubuh babak belur! Kemudian, setelah itu kami pergi menjemput Kakang Brajadenta. Sehingga mereka tidak bisa menyalahkan kita. Sebab, Ayah bisa memberi alasan bahwa kami pergi ke tempat lain," jelas Santang Praja.
"Memalukan! Kau hendak mengeroyok anak itu?!"
"Aku pun sanggup menghajarnya seorang diri, bila Ayah menginginkan begitu!"
Ki Mugeni terdiam, seperti tengah berpikir.
"Kami akan mengenakan topeng, sehingga dia tidak mengenali. Sehingga pekerjaan menjadi cepat tanpa diketahui orang lain. Bisa saja aku menghadapinya seorang diri. Tapi kalau tiba-tiba ada yang melihat dan membantunya atau memisahkan kami, maka rencana untuk mempermalukan orang tuanya tidak tercapai. Lagi pula, belum tentu dia pulang seorang diri...," jelas pemuda itu, membujuk ayahnya.
"Anak itu tidak bodoh. Dia pasti akan mengenali jurus-jurus yang kalian mainkan...," sahut Ki Mugeni.
Suara orang tua berjubah hitam itu terdengar sumbang. Satu sisi rencana Santang Praja disetujuinya. Namun di sisi lain, Ki Mugeni bukanlah tokoh sesat. Dan dia tahu betul kalau pengeroyokan bukanlah tindakan seorang ksatria. Tapi lebih tepat disebut sebagai perbuatan pengecut.
"Tidak! Ayah terlalu memandang tinggi pada mereka. Kalau jurus-jurus kita bisa dikenali sudah tentu sejak dulu tua bangka itu akan mengajarkan murid-muridnya untuk mengatasi jurus-jurus kita. Tapi nyatanya, toh mereka tetap saja bisa kita kalahkan!" kilah Santang Praja.
Ki Mugeni kembali terdiam. Meski putranya berusaha membujuk, tapi hatinya lebih berat untuk menyatakan tidak setuju.
"Ayah rasa tidak perlu! Pergilah kau menjemput Brajadenta. Dan bawa beberapa orang murid. Tidak perlu kalian mencegat Baladewa. Ayah akan datang sendiri menemui Sanjaya untuk menanyakan persoalan ini!" ujar orang tua itu menegaskan.
"Tapi, Ayah...."
"Tidak perlu membantah, Santang! Kerjakan saja tugasmu!" sentak Ki Mugeni.
"Baiklah," desah pemuda itu.
Santang Praja kesal bukan main, karena orang-tuanya tidak mendukung rencananya. Meski begitu di hadapan Ketua Perguruan Pedang Langit ini dia sama sekali tidak bisa membantah!
KAMU SEDANG MEMBACA
163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar Maut
AcciónSerial ke 163. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.