BAGIAN 3

125 8 0
                                    

Setelah memanggil kudanya dengan satu siulan, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri pemuda berpakaian kuning yang tadi dikeroyok kawanan bertopeng itu. Tepat ketika kuda hitam bernama Dewa Bayu muncul, Rangga menyandarkan pemuda yang ditolongnya di bawah sebatang pohon. Kuda Dewa Bayu tampak mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, sambil berjongkok di depan pemuda itu.
"Eh, tidak. Aku masih kuat bertahan...," sahut pemuda berbaju kuning itu sambil meringis, menahan sakit.
"Siapa namamu?" tanya Rangga lagi.
"Baladewa...."
"Aku Rangga."
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali. Aku yakin, kau bukan tokoh sembarangan," ucap pemuda yang ternyata bernama Baladewa.
"Aku hanya pengembara biasa," sahut Rangga, sambil tersenyum.
"Dari pakaian dan penampilanmu, rasanya kau bukan pengembara biasa. Kau pasti salah seorang pendekar hebat. Kalau boleh tahu, siapa kau ini sebenarnya? Dan apa julukanmu dalam dunia persilatan."
Rangga sebenarnya enggan menyombongkan diri dengan menyebut julukannya. Tapi Baladewa terus memaksa. Sehingga dia terpaksa menyebutkannya.
"Pendekar Rajawali Sakti?! Oh! Apakah aku tidak salah dengar?!" seru Baladewa kaget dengan bola mata terbelalak.
"Kenapa, Baladewa? Tidak ada yang ajaib dari julukan itu, bukan?"
"Ah! Kau terlalu merendah, Pendekar Rajawali Sakti! Benar dugaanku. Kau memang bukan tokoh sembarangan. Julukanmu menjulang setinggi Gunung Mahameru. Dan aku hanya seperti seekor semut di depanmu!"
"Jangan berkata begitu, Baladewa. Aku sama sepertimu. Dan panggillah aku Rangga," pinta Pendekar Rajawali Sakti penuh harap.
"Tidak, Pendekar Rajawali Sakti! Kepandaianmu lebih tinggi dibandingkan denganku. Terimalah rasa hormatku!" ucap Baladewa seraya menjura hormat.
Tapi Rangga buru-buru mencekal kedua bahu Baladewa. "Apa-apaan ini? Jangan keterlaluan, Baladewa. Jangan berlebihan menghormatiku...."
"Aku sering mendengar cerita tentangmu dari orang-orang. Juga dari ayahku sendiri. Sejak itu rasanya aku ingin bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kata orang-orang kau sulit ditemui."
"Tapi nyatanya hari ini kau bertemu denganku."
"Ya. Dan aku senang sekali!"
"Tapi, aku tidak bisa berlama-lama, Baladewa."
"Sayang sekali. Padahal aku ingin minta pertolonganmu."
"Pertolongan apa?"
"Maukah kau membantu kami memerangi mereka?"
"Mereka siapa yang kau maksud?"
"Orang-orang tadi."
"Kau mengenal mereka?"
Baladewa mengangguk. "Semula aku tidak tahu, sebab mereka yang menyerangku bertopeng. Tapi setelah kau mencopot topeng salah seorang, aku jadi tahu siapa mereka...."
"Siapa mereka sebenarnya? Dan ada masalah apa kau dengan mereka hingga timbul kejadian tadi?!" desak Rangga.
"Mereka murid-murid Perguruan Pedang Langit yang dipimpin Ki Mugeni. Yang tadi kau ringkus dan kau totok adalah putra bungsunya. Namanya, Santang Praja. Antara perguruan mereka dengan perguruan yang dipimpin ayahku, telah lama terjadi permusuhan. Adapun maksud kejadian tadi, aku sama sekali tidak tahu-menahu. Aku baru pulang dari mengunjungi salah seorang kenalan ayahku. Dan tiba-tiba, mereka mencegat begitu saja," jelas Baladewa.
Rangga mengangguk mendengar penjelasan itu. "Ini persoalan antar perguruan kalian dengan mereka. Aku tidak bisa memihak salah satu perguruan sebelum tahu benar persoalannya. Dan untuk itu, aku tidak bisa menolongmu, Baladewa."
"Selama ini ayahku sudah sering mencoba berdamai. Tapi mereka menolak dan menganggap kami penakut. Sudah barang tentu penghinaan itu membuat murid-murid ayah berang. Lalu secara diam-diam, mereka menantang murid-murid Perguruan Pedang Langit. Tapi sesungguhnya mereka mengharapkan hal itu. Orang-orang Perguruan Pedang Langit sengaja memanas-manasi dan mencari-cari persoalan untuk membuat kami marah. Tolonglah, Pendekar Rajawali Sakti! Dengan adanya kau, tentu mereka tidak berani macam-macam lagi," lanjut Baladewa.
"Maaf, Baladewa. Persoalan tidak sesederhana itu. Bukan aku tidak mempercayaimu. Tetapi rasanya aku perlu bicara dengan mereka," sergah Rangga halus disertai senyum manis.
"Mereka pandai sekali bersilat lidah! Bahkan banyak di antara kawan-kawan ayahku yang telah dipengaruhi, dan tidak mau berpihak pada ayahku lagi. Mereka semua memberi dukungan pada Perguruan Pedang Langit!" tambah Baladewa berapi-api.
"Apakah demikian pintarnya orang-orang Pedang Langit itu, sehingga hampir semua kawan ayahmu berpihak pada mereka?" tanya Rangga, sedikit tidak percaya.
Baladewa mendesah kesal. "Agaknya kau tak percaya dan menganggap ceritaku bohong," keluh pemuda berbaju kuning ini.
"Tidak begitu, Baladewa. Tapi sepertinya, ini soal antara kalian berdua. Mungkin juga soalnya pribadi. Sehingga mana bisa aku ikut campur...."
Baladewa tersenyum getir. Hatinya masygul mendengar jawaban sahabat barunya. "Agaknya mungkin telah ditakdirkan, bahwa kami akan menerima semua kekalahan dan rasa malu ini...," desah Baladewa, lirih.
Rangga tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Baladewa. "Mungkin masih ada jalan bagimu, Baladewa."
"Tidak. Besok adalah pertarungan di antara kami akan berlangsung. Hal ini telah disepakati kedua belah pihak, untuk menyelesaikan pertikaian yang selama ini terjadi. Ayah menyuruhku menemui beberapa kawan-kawannya untuk mencari dukungan. Tapi mereka pura-pura tidak mau ikut campur. Padahal sesungguhnya mereka telah memberi dukungan kepada Ki Mugeni...," jelas Baladewa, dengan suara penuh tekanan.
"Hm. Jadi di antara kalian akan terjadi pertarungan?"
Baladewa mengangguk.
"Apakah kalian tidak yakin bisa mengalahkan mereka?"
"Entahlah. Mungkin, sesuai yang telah direncanakan ayahku dan Ki Mugeni, pertarungan akan dilakukan secara jujur. Beberapa murid utama akan saling berhadapan. Dan aku sendiri mungkin akan berhadapan dengan Santang Praja. Tapi, ada hal yang membuat ayahku gelisah belakangan ini."
"Tentang apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Ki Mugeni bukan saja mendapat dukungan dari beberapa tokoh persilatan. Tapi juga mendapat bantuan khusus dari salah seorang tokoh sesat bernama Ki Rampengan," jelas Baladewa lagi. Terdengar serak suaranya.
"Ki Rampengan yang bergelar si Cakar Maut?" tanya Rangga, meyakinkan pendengarannya.
"Agaknya kau pun mengenal namanya...."
"Siapa yang tidak kenal tokoh itu. Dia amat terkenal dengan kehebatan jurus-jurus 'Cakar Maut'nya."
"Ya! Itulah yang membuat ayahku masygul. Sebab, salah seorang putra Ki Mugeni yang bernama Brajadenta, adalah salah seorang muridnya."
"Apakah dia akan ikut bertarung juga?" tanya Rangga makin penasaran.
"Ya. Kabarnya, dia akan pulang hari ini bersama gurunya. Nanti, Brajadenta akan menghadapi kakakku Nimas Pandini. Aku khawatir, kakakku akan celaka di tangannya," keluh Baladewa, lirih. Untuk beberapa saat pemuda berbaju kuning itu menghentikan ceritanya. Dan dia lantas tertunduk.
Rangga bukannya tidak terhanyut oleh cerita kawan barunya ini. Bahkan kecemasan yang dibayangkan Baladewa bisa dimengertinya. Namun ikut campur tangan kemudian membantu mereka seperti yang diinginkan Baladewa, rasanya tidak mungkin. Belum jelas benar persoalan di antara mereka. Dan pihak siapa sebenarnya yang benar atau yang salah? Mungkin dua-duanya benar. Atau sebaliknya. Kalau dia coba cari keterangan, bisa jadi bukan memperjernih persoalan. Bahkan memperkeruh keadaan.
"Ayo, ikut aku!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya berdiri.
"Ke mana?" tanya Baladewa, ikut berdiri dengan sikap tak mengerti.
"Ikut saja!" desak Rangga, lantas berdiri. Segera diambilnya tali kekang Dewa Bayu, lalu menuntunnya.
Baladewa meski tidak mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti, menurut saja. Setelah menghampiri kudanya, segera diikutinya langkah Rangga.
Ternyata Rangga membawa Baladewa ke tempat yang agak terlindung, tak jauh dari tempat tadi. Kemudian di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, mereka duduk. Disuruhnya Baladewa berbalik hingga memunggunginya.
"Lepaskan semua pikiran yang ada di benakmu. Dan tahan agar kau tidak mengadakan perlawanan," lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya menempelkan telapak tangan kiri ke punggung Baladewa.
"Apa yang akan kau lakukan? Kau ingin menambah tenaga dalamku?" tanya Baladewa, seperti mengerti apa yang akan dilakukan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, seraya menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Baladewa.
Wajah Baladewa berseri-seri. Pikirannya segera dipusatkan pada satu titik. Semua beban pikiran yang selama ini berkecamuk dalam benaknya dihilangkan. Maka perlahan-lahan tapi pasti, terasa mengalir hawa hangat yang berputar-putar cepat menuju bagian bawah pusarnya. Terasa bergolak seperti air yang tertuang dari sebuah wadah. Kemudian dari situ, memancar ke segala penjuru bagian tubuhnya dengan cepat.
Baladewa semula merasakan isi tubuhnya seperti disengat kalajengking. Kalau saja dia tidak ingat pesan Pendekar Rajawali Sakti, ingin rasanya menghalau rasa sakit yang terasa dalam tubuhnya. Tapi dia tahu akibatnya, yaitu tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang lebih kuat akan mendorong tenaga dalamnya. Dan itu akan berakibat sangat berbahaya bagi dirinya.
Beberapa saat kemudian, penderitaan Baladewa berakhir. Rangga menarik napas panjang, lalu mengatur pernapasannya untuk sesaat. Sedang Baladewa merasa tubuhnya segar dan enteng. Luka dan rasa sakit yang dideritanya tadi, seperti tidak terasakan lagi.
"Sekarang perlihatkan padaku jurus-jurus yang kau miliki. Akan kulihat kekurangan-kekurangannya. Kemudian akan kutunjukkan padamu, bagaimana cara memperbaikinya" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bersungguh-sungguh, Pendekar Rajawali Sakti?!" seru Baladewa seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
"Jika kau memanggilku Rangga, aku akan bersungguh-sungguh," kata Pendekar Rajawali Sakti, mengajukan syarat, karena jengah dipanggil dengan sebutan Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Pend... eh! Rangga!"
Tak lama, Baladewa mulai memperlihatkan jurus-jurus yang dimilikinya dari awal hingga akhir. Kemudian, setelah itu Rangga memberikan saran-saran perbaikan, setelah mengamatinya. Pendekar Rajawali Sakti pun memberikan beberapa gerakan yang mampu mengecoh tanpa disadari lawan.

163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang