BAGIAN 6

115 8 0
                                    

Ketika hari sebentar lagi akan gelap, Pendekar Rajawali Sakti memutuskan untuk mampir dan menginap di desa terdekat. Dan bila perjalanannya dilanjutkan, mungkin tengah malam baru akan tiba di Perguruan Rebung Koneng.
Di desa pertama yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti singgah di sebuah kedai makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Kedai itu kecil namun cukup ramai pengunjungnya. Dan Rangga mengambil tempat di sudut kanan kedai itu.
Saat pandangannya beredar ke sekeliling, Rangga melihat seorang gadis berwajah cantik dengan sebilah pedang dan buntalan kecil yang tengah duduk tak jauh di sebelah kanannya. Melihat senjata itu saja bisa ditebak kalau gadis itu tidak bisa dibuat main-main. Mungkin karena itu pula tidak ada seorang pun yang berani mengusiknya.
"Makan apa, Den?" tanya seorang laki-laki setengah baya dengan nada ramah. Rupanya, dialah pelayan kedai ini.
Rangga menyebutkan pesanannya.
"Aden kelihatan lelah. Habis melakukan perjalanan jauh?" tanya pelayan kedai itu seraya mempersiapkan pesanan pemuda itu.
"Iya," sahut Rangga, singkat.
"Jika bermaksud bermalam, kami memiliki beberapa buah kamar lagi yang bisa disewakan."
"Oh, ya? Terima kasih. Aku memang bermaksud menginap barang semalam."
"Harganya tidak mahal! Mau ke mana tujuanmu, Den?"
"Desa Ganur...."
"Desa Ganur? Apa yang akan kau cari di sana?" Wajah pelayan kedai itu sedikit kaget ketika mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga jelas dapat mengamatinya, sebab saat itu si pelayan kedai tengah menyediakan hidangan pesanannya. "Seorang kawan," sahut Rangga singkat. Bagi Pendekar Rajawali Sakti pelayan kedai ini kelewat ramah, hingga terkesan ingin tahu urusan orang.
"Kelihatannya Raden seorang ahli silat. Sebaiknya hati-hati! Di sana tengah berkecamuk perang antara dua perguruan. Yaitu, Perguruan Rebung Koneng dengan Perguruan Pedang Langit. Baru saja terdengar berita bahwa Ketua Perguruan Rebung Koneng serta putranya tewas secara aneh!"
"Apa?! Tewas? Siapa nama putra Ketua Perguruan Rebung Koneng itu?"
"Siapa, ya? Ng.... Kalau tidak salah... Baladewa. Ya, Baladewa!"
"Baladewa tewas...?" gumam Rangga tercenung mendengarnya.
"Kenapa? Apakah Aden mengenalnya?"
"Dia kawanku. Siapa yang membunuhnya?"
Belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti terjawab gadis yang tadi duduk di sebelah kanannya berpaling dan memperhatikannya dengan seksama.
"Entahlah.... Tak seorang pun yang tahu. Kabarnya mereka terbunuh oleh orang bertopeng."
Rangga kembali terdiam. Selera makannya kontan hilang mendengar berita itu. Dan laparnya seketika lenyap entah ke mana.
"Benarkah kau masih memiliki beberapa kamar? Tolong tunjukkan, karena aku bermaksud menginap," pinta Rangga pada si pelayan kedai.
"Eh, benar! Ayo...!" ajak pelayan kedai itu dengan wajah berbinar.
Yang dikatakan kamar, ternyata adalah rumah pelayan kedai itu sendiri yang berukuran cukup besar. Di sana sini terlihat kamar yang bersekat-sekat dengan pintu menuju luar. Sehingga apabila si penyewa hendak keluar, tidak mesti melewati rumah induk.
Ruangan kamar kelihatan kotor dan tempat tidurnya pun tidak kokoh. Sebagian kayunya kelihatan sudah lapuk. Banyak sarang laba-laba yang berada di sudut ruangan. Namun melihat keadaan rumah-rumah penduduk yang tadi dilewati, rasanya pondokan seperti ini memang sudah memadai. Tak satu pun rumah-rumah penduduk disini mengesankan kalau mereka tergolong orang mampu. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan merebahkan diri....
Tok! Tok!
"Siapa?" tanya Rangga dari dalam kamar.
Tak terdengar jawaban. Rangga menyangka mungkin si pelayan kedai itu yang akan membawakan sesuatu baginya. Entah bantal yang bagus, atau air minum. Buru-buru dia bangkit dan membukakan pintu. Kini tampak seraut wajah yang tidak diduga muncul, dengan kepala tertunduk.
"Nisanak siapa? Dan ada keperluan apa denganku?" tanya Rangga, setelah mengamati sosok di depannya.
Ternyata, dia adalah gadis cantik yang tadi duduk di bangku kedai sebelah kanan Rangga. Perlahan-lahan, gadis itu mengangkat wajahnya.
"Kisanak... Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu, berkesan hati-hati.
"Benar. Siapa Nisanak ini?" sahut Rangga, kemudian balik bertanya.
"Aku Nimas Pandini. Kakak Baladewa," jawab gadis yang ternyata Nimas Pandini, putri Ketua Perguruan Rebung Koneng yang telah meninggal dunia itu.
"Oh, benarkah?!"
Nimas Pandini mengangguk. Lalu dia melangkah masuk, ketika pemuda itu mengajaknya ke dalam dan menutup pintu kembali.
"Eh! Ng..., kau mendengar cerita pelayan kedai itu, bukan?"
Nimas Pandini mengangguk.
"Apakah itu benar?"
Gadis itu kembali mengangguk.
"Siapa yang membunuhnya?"
Nimas Pandini tidak langsung menjawab. Wajahnya tampak muram, dan bola matanya berkaca-kaca.
"Maaf, aku tidak bermaksud membangkitkan kedukaanmu," ucap Rangga, pelan.
"Tidak apa-apa," sahut gadis itu seraya menyeka air matanya yang mulai bergulir di pipi.
Rangga mendiamkannya beberapa saat.
"Mungkin kehadiranku tidak pantas di sini. Dan mungkin juga akan menuduhku perempuan rendah. Tapi aku sungguh-sungguh membutuhkan pertolonganmu...!" kata Nimas Pandini dengan suara serak bercampur isak tangis halus.
"Aku tidak menganggapmu begitu. Percayalah! Pertolongan apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku ingin agar kau mencari pembunuh adik dan ayahku itu. Dan membalaskan dendam kami...!" pinta gadis itu dengan suara bergetar.
Nimas Pandini menatap penuh harap pada pemuda di depannya. Bola matanya tampak berair, seperti ingin memastikan jawaban pemuda itu sekarang juga.
"Kau harus membantu kami! Aku tidak mau dengar bila kau menolaknya. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk menuntut balas atas kematian mereka berdua!" desak gadis itu dengan suara sedikit lantang.
"Tapi, Nimas! Aku...."
"Tidak! Aku tidak mau dengar penolakanmu! Apa pun yang kau inginkan, akan kupenuhi. Asal, kau memenuhi keinginanku!" tukas Nimas Pandini cepat.
"Tenanglah, Nimas...."
"Aku tidak akan tenang, sebelum kau mengabulkan permintaanku!" potong gadis ini cepat. Suara Nimas Pandini terdengar mulai keras. Sehingga, Rangga jadi tidak enak hati, khawatir bila ada yang mencurigai mereka berdua dalam satu kamar.
Dan benar saja! Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang demikian tajam mendengar suara mencurigakan di balik dinding depan kamarnya. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga beranjak disertai ilmu meringankan tubuhnya ke dinding. Lalu... Salah satu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat menampar dinding yang dicurigai.
Plak!
"Adooouw!" Tiba-tiba terdengar seseorang menjerit dari arah luar. Dan Nimas Pandini yang semula tak mengerti maksud Rangga, jadi kaget. Isak tangisnya mendadak berhenti, berganti dengan perasaan terkejut.
"Ayo kita keluar!" ajak Rangga.
"Ke mana?"
Pendekar Rajawali Sakti tidak menjawab, melainkan bergegas keluar. Sementara Nimas Pandini mengikutinya dari belakang. Mereka masih sempat melihat si pengintip tadi lari tunggang-langgang, tapi Rangga tidak mempedulikannya.
Begitu berada di luar, Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Sebentar saja, tampak kuda hitam bernama Dewa Bayu menghampiri.
"Kau berkuda?" tanya Rangga, begitu Dewa Bayu di sisinya mendengus-dengus kecil.
"Eh, ya...!" sahut Nimas Pandini.
"Ambillah. Kita akan melakukan perjalanan malam ini juga!"
"Ke mana?"
"Kenapa bertanya lagi? Tentu saja ke tempatmu."
"Oh, sungguhkah? Kau bersedia menolong kami?!" seru gadis itu dengan wajah gembira.
Rangga mengangguk.
Gadis itu setengah berlari mengambil kudanya. Sementara, Rangga kembali menemui pelayan kedai pemilik rumah sewaan itu. Setelah membayar secukupnya, dia menunggu Nimas Pandini.
"Kenapa buru-buru, Kisanak? Kamar belum lagi dipakai?" tanya si pemilik kedai, yang ternyata mengikuti Rangga dari belakang.
Rangga tidak menjawab. Tapi begitu melihat Nimas Pandini menghampiri, pemilik kedai merasa maklum.
"Kalau cuma untuk itu, ada kamar tertutup yang bisa kusediakan, Kisanak," ujar si pelayan kedai sambil mesem-mesem.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga sinis.
"Eh, bukankah kalian akan mencari tempat yang aman agar tidak terganggu...?" kata si pelayan kedai.
Sring!
Nimas Pandini langsung mencabut pedang. Dan cepat sekali ujungnya menempel ke tenggorokan pemilik kedai itu.
"Sekali lagi bicara kotor, akan kutebas lehermu!" dengus gadis itu geram.
"Eh! Ampun..., ampun, Nisanak! Aku tidak bermaksud begitu. Ampunkan kelancanganku...!" ratap si pemilik kedai, langsung mengkeret hatinya.
"Huh!" Gadis itu masih mendengus, meski pedangnya telah disarungkan kembali.
"Kisanak! Sebaiknya kau jangan sering-sering berpikir buruk begitu. Jagalah mulutmu, dan jangan asal bicara!"
"Eh, ba... baik."
"Ayo, Nimas. Kita bergegas!"
Gadis itu mengangguk. Dan segera melompat ke punggung kudanya. Dan dia segera menggebah tunggangannya, ketika Pendekar Rajawali Sakti telah berjalan cukup jauh.

163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang