BAGIAN 5

114 8 0
                                    

Berita kematian Ki Sanjaya memang mengejutkan. Bukan hanya penduduk yang berada di sekitar perguruan itu. Tapi juga sampai ke telinga Ki Mugeni. Meski bermusuhan, tapi bukan kematian Ki Sanjaya yang diinginkannya. Dia ingin mengalahkan Ketua Perguruan Rebung Koneng dalam pertandingan yang jujur. Padahal itu akan terjadi hari ini. Tapi dengan adanya kejadian itu, membuat segalanya berantakan.
Bersama beberapa murid, tamu-tamu, serta kedua putranya, Ki Mugeni ikut berkunjung ke pekuburan. Sikapnya berusaha untuk tidak peduli mendapatkan pandangan sinis murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Bahkan dia berdiri di tempat yang tidak begitu jauh dari Nimas Pandini yang saat itu tengah menunduk dengan air mata meleleh pelan-pelan, memandangi dua buah gundukan tanah di depannya.
"Kami ikut berduka atas kematian beliau...," ucap Ki Mugeni, lirih.
Namun gadis itu seperti tidak mempedulikannya. Jangankan menyahut. Menoleh pun tidak.
"Kita memang bermusuhan. Tapi percayalah.... Bukan hal seperti ini yang kuinginkan," lanjut Ketua Perguruan Pedang Langit itu.
Nimas Pandini diam saja dengan bibir terkatup rapat. Kesedihan hatinya belum lagi larut. Dan meski kata-kata Ki Mugeni cukup menaruh perhatian, tetapi belum cukup mengusiknya.
Ki Mugeni menarik napas panjang, kemudian memberi penghormatan kepada kedua gundukan tanah yang masih baru. Perbuatannya itu diikuti tamu-tamu, kedua putranya, dan murid-muridnya.
Tidak berapa lama setelah memberi penghormatan, mereka meninggalkan tempat itu diikuti pandangan sinis beberapa orang murid utama Perguruan Rebung Koneng.
"Orang-orang licik yang berhati busuk!" dengus salah seorang murid utama yang berada di dekat Nimas Pandini.
Gadis itu masih tetap membisu seraya menaburkan lagi beberapa bunga harum pada dua pusara di depannya. Melihat itu, yang lainnya tidak berani mengusik. Dan mereka hanya mendiamkan saja, sampai gadis itu berdiri dan mengajak berlalu dari pekuburan.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Nimas?" tanya Wiryaraja, salah seorang murid utama Ki Sanjaya.
"Aku akan balas kematian mereka!" dengus Nimas Pandini.
"Tapi bagaimana caranya? Kita tidak tahu siapa dia. Juga seandainya tahu, bagaimana mungkin kita bisa membalaskan kematian Guru dan Baladewa? Orang itu berkepandaian tinggi. Seluruh murid dikerahkan, tidak akan mampu meringkusnya," ujar Wiryaraja lagi, bernada putus asa.
"Aku tahu itu, Kakang Wiryaraja."
"Lalu, apa rencana kita?"
"Kita harus pakai akal."
"Maksud Nimas?"
"Aku akan minta bantuan Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Nimas Pandini mantap.
"Apakah dia bersedia? Bukankah kita sama-sama mendengar dari Baladewa, bahwa beliau tidak akan ikut campur dalam urusan ini?"
"Benar! Tapi sekarang persoalannya berbeda. Baladewa terbunuh. Dan sedikit banyak, adikku pernah mendapat pelajaran darinya. Sehingga boleh dikatakan, Pendekar Rajawali Sakti itu gurunya. Apakah seorang guru akan mendiamkan saja muridnya tewas tanpa sebab-sebab yang jelas?" kilah Nimas Pandini, meyakinkan.
"Tapi apa dia mau menerima alasan seperti itu?"
"Aku akan memaksanya!"
"Nimas...," kata Wiryaraja, terdengar ragu-ragu.
"Tidak ada cara lain, Kakang. Aku harus meminta pertolongannya. Kalau dia menolak, aku akan terus memaksa!" tegas gadis itu.
Wiryaraja terdiam. Langkah yang akan di ambil putri mendiang gurunya itu mungkin tidak berkenan di hatinya. Tapi seperti yang dikatakan Nimas Pandini, mereka memang tidak punya cara lain.
"Baladewa telah berusaha menghubungi kawan-kawan Ayah. Namun tak seorang pun yang bersedia membantu. Mereka telah termakan fitnah yang dilontarkan pihak Ki Mugeni. Kita tidak punya jalan lain, Kakang..." lanjut gadis itu, menekankan kembali keputusannya.
"Kalau sudah begitu keputusanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kita memang menyadari tidak mampu melawan mereka dengan kekuatan seperti sekarang," sahut Wiryaraja lesu.
"Terima kasih, Kakang. Kuharap yang lain pun bisa mengerti."
"Aku yakin mereka mengerti. Kapan rencananya kau akan berangkat menemui Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hari ini juga!"
"Pendekar Rajawali Sakti sulit ditemui. Bagaimana caranya kau menemuinya?"
"Baladewa menceritakan padaku, bahwa Pendekar Rajawali Sakti pernah mengundang ke tempatnya...."
"Di mana?"
"Istana Karang Setra."
"Istana Karang Setra? Apa maksudnya? Apakah dia panglima di kerajaan itu? Atau, barangkali rajanya?"
"Entahlah. Aku sendiri tak tahu banyak. Siapa pun dia, dan apa pun jabatannya, tidak akan membuat surut tekadku!"
"Aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti mau membantu kita."
"Terima kasih. Kalau begitu aku bergegas saja. Karang Setra cukup jauh dari sini. Dan sebelum malam, aku harus tiba di sebuah desa untuk menginap," ujar gadis itu, seraya bergegas ke perguruan mereka untuk berkemas.

163. Pendekar Rajawali Sakti : Cakar MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang