Bab 2 |I'm the Captain|

13 3 0
                                    

"Jangan ditelan." Titahnya, berdiri membelakangiku. Meletakkan tas punggung yang sedari tadi tersampir di bahunya.

Glek

"Ups...." Kataku, sudah lebih dulu menelan permen yang dia berikan padaku setibanya kami sampai di rumah kumuh ini. Rumahnya sempit, bukan berarti minimalis. Banyak jaring laba-laba di sudut-sudut ruangannya. Juga lumut yang mewarnai sebagian dinding ruangan. Rumah ini hanya ada tiga petak, tempat yang kami singgahi, satu petak ditutup pintu kayu yang mulai mengeropos, kurasa itu kamarnya, dan petak lainnya jelas kamar mandi.

"Hei. Ke arah mana matamu melihat?" Tanyanya ketus, masih membelakangiku. Berkutat dengan meja persegi panjang di depannya, dan mulai merogoh isi tasnya. Tampaknya dia terlalu baik untuk membiarkanku memiliki alasan guna mencemoohnya.

Tapi, bajak laut tidak melakukan hal rendahan macam itu. Sebab, kita tidak banyak bicara. Cukup menunjukkannya secara langsung saja.

"Oh. Hanya melihat-lihat isi rumahmu." Jawabku jujur. Memperhatikan bahunya yang meluruh, dia berdiri empat langkah di depanku. Mempersilahkanku duduk di sofa hijau tuanya yang berdebu, dan dibeberapa tempatnya terdapat kapas yang mengintip keluar dari sarung sofa.

Aku menoleh padanya, saat dirinya berdiri menyamping. Melirikku singkat. Sebelum suara dengusan kasarnya terdengar jelas. Lantas, dia berujar, "ini bukan rumahku."

Aku mengernyit bingung. Apa maksudnya? Ini bukan rumahnya?

"Aku mencurinya." Terangnya enteng, sembari mengedikkan bahu singkat. Memasang wajah acuh. Tak perduli dengan semua prasangka buruk yang mulai bersabut-sahutan di kepalaku.

"O-oh. A-aku tidak terkejut akan hal itu." Ucapku terbata-bata, mengikuti gayanya yang acuh. Yah, atau mungkin harus kukatakan jika aku cukup terusik dengan fakta itu.

Oh, boy. Kau juga seorang pencuri. Bajak laut jelas mencuri berbagai harta karun. Tapi, kupikir caranya mencuri tidak elegan ataupun berkelas seperti cara kami mencuri. Memang bagaimana cara kami mencuri?

Aku mengusap-usap bagian paha celana jeans abu gelapku. Tanganku terasa gatal. Sudah cukup lama tanganku tidak memutar kemudi kapal. Ah, aku juga seorang ahli navigator. Yeah, semua awak kapalku juga paham tentang materi itu. Tapi kupikir tidak ada yang sehebat diriku dalam hal mencari arah yang tepat, di atas kapal layar yang diterjang gelombang dahsyat, ataupun badai.

Aku mengedikkan bahu, lantas bergumam pelan, "oh, aku memang seorang kapten idaman." Seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. Lagi-lagi tak cukup puas dengan ruangan yang mengukung tubuhku. Tidak seluas hamparan laut yang biasa kupandang. Yah, kau tahu. Tidak ada batas pandang bagi kami. Jadi, daratan tidak begitu cocok untukku.

Aku melengos tak percaya dengan pemandangan di depanku. Shit. Dia melepas jubahnya di depanku. Spontan aku membuang muka seraya meneguk salivaku. Tanganku terkepal erat. Hei. Aku seorang pria normal. Camkan itu.

Kakiku bergerak gelisah. Lantas kuputuskan untuk menatap lantai yang menjadi alasku berpijak. Lantai ruangannya kotor, dipenuhi tanah yang entah darimana asalnya. Padahal rumah ini tidak memiliki pekarangan. Juga, sepanjang jalan Kerajaan ThreeRan pun memiliki jalan yang rata dan halus. Yah, jelas bukan berfondasi tanah.

Manik mata merahku menatap jari-jemari kakiku yang telanjang. Oh, sama telanjangnya seperti gadis di depanku? Gosh, Ian. Apa yang kau pikirkan?! Aku menggeleng cepat. Mencoba menyingkirkan pikiran kotorku. Biarkan dia berganti pakaian dengan tenang.

I'm the CaptainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang