DUA PULUH LIMA

11 3 0
                                    

Tadi pagi, Sassy nyaris saja menabrak anak kucing. Mungkin itu adalah sebait isyarat bahwa hari ini Sassy akan tertimpa kesialan. Mood gadis itu yang semula baik-baik saja, berubah seratus delapan puluh derajat saat guru kesenian mengumumkan pembagian kelompok ujian praktek. Untung tidak dapat dipetik, malang tak dapat ditolak, Sassy harus rela berada dalam kelompok yang sama dengan Ran dan Anya. Dan yang lebih bikin Sassy cengo adalah Ran dipilih sebagai ketua kelompok hanya karena lelaki itu mampu memainkan gitar.

"Deal, puisi yang kita pake puisinya Amir Hamzah."

Sassy tersadar dari lamunan, tatapan matanya langsung tertuju pada Ran yang baru saja mengambil keputusan. Sial memang, sudah satu kelompok dengan Ran, Sassy harus rela menjadi objek sikap sok superior Ran selaku ketua kelompok.

"Yang bagian nyanyi siapa?" Ran bertanya.

"Gue aja!" Anya langsung mengacungkan tangan antusias. "Suara gue emang gak sebagus Raisa, tapi masih enak didenger kok."

"Oke, kalau gitu tinggal tentuin yang baca puisi. Lo aja gimana, Han? Daripada main pianika, mending baca puisi." Ran melemparkan tawaran pada Jihan—teman sekelompoknya.

"Ih gak mau! Gue gak ada bakat baca puisi." Gadis bergigi kelinci itu dengan tegas menolak. "Sassy aja noh, pas SMP dia pernah juara lomba baca puisi."

Tahu apa reaksi pertama Ran saat mendengar ucapan terakhir Jihan?

Cowok itu langsung tertawa terbahak-bahak hingga setitik air nyaris keluar dari matanya. Sepuluh orang di ruangan ini langsung menatap Ran heran, bingung sebab merasa tidak ada sisi humor yang mampu mengocok perut. Ran ngakak cukup lama, sampai akhirnya tawanya lenyap dan tergantikan dengan raut muka datar seakan tidak ada hal lucu yang terjadi sebelumnya. "Yang lain aja. Nang! Lo yang baca puisi!"

Nanang yang sedari tadi anteng dengan gitar terpangku di pahanya kontan mengangkat kepala. "Ngaco lo!" Ia menatap Ran tajam. "Sassy noh! Udah bener saran Jihan. Lagian Sassy public speakingnya bagus."

Ran masih tidak percaya dengan pendapat yang dikemukakan dua temannya itu. Menurut Ran, mulut Sassy itu terlalu tajam untuk dipakai merapalkan sajak-sajak indah penuh makna. Bukannya apa-apa, Ran takut saat tampil nanti, puisi yang semula terasa indah justru terdengar seperti kutukan jika dibacakan oleh Sassy.

"Ya udah." Dengan berat hati Ran merelakan posisi penting dalam kelompok musikalisasi puisi ini dipegang oleh Sassy. "Udah fiks nih ya? Gue sama Nanang main gitar. Diyo sama Haru main cajon. Jihan sama Yuna main pianika. Ningsih sama Lia main suling. Anya nanyi, Sassy baca puisi." Setelah membacakan pembagian tugas, Ran menatap mata Sassy yang sedari tadi diam saja. "Dan lo... baca puisi yang bener."

Sassy membalas ucapan ketus Ran dengan raut wajah mengejek.

Selanjutnya selama seminggu penuh, hari-hari Sassy nyaris selalu berkutat disekitaran puisi dan aula sekolah. Pulang sekolah, Sassy dan yang lainnya selalu menyempatkan diri untuk berlatih. Bahkan ketika pulang ke rumah, ia masih harus mendengarkan genjrengan gitar Ran yang agak membuat kepalanya pusing. Rutinitas yang cukup melelahkan khas siswa-siswa lainnya saat menginjak tahun akhir masa sekolah.

Tak ada waktu senggang untuk dihabiskan berselancar di sosial media seperti tahun-tahun sebelumnya. Terlebih Sassy tengah berjuang untuk meraih mimpinya berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri. Selain berhadapan dengan ujian praktek yang menggunung, Sassy juga harus berperang dengan buku latihan UTBK yang tebalnya bisa buat ganjalan pintu. Bahkan sejak satu bulan terakhir, Sassy sering ketiduran di meja belajar saking sibuknya.

Jujur... Sassy lelah.

Sassy ingin seperti anak lainnya. Ia ingin orang tuanya menghampiri anak itu saat sedang belajar, membawakan camilan atau sekadar menepuk bahu Sassy guna memberi semangat. Sassy ingin punya sosok yang cerewet mengingatkan anak itu untuk rehat sejenak dari aktivitas belajarnya. Dan sepertinya, semesta sedang berbaik hati mengaminkan harapan anak itu.

alkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang