TIGA PULUH

18 3 1
                                    

Sassy tidak ingat, tapi bunda bercerita kalau saat kecil Sassy pernah menangis keras saat ayah hendak ke kantor.

Pagi itu tidak ada sarapan bersama di meja makan. Ayah yang enggan makan sendirian memilih untuk membawa mangkuk sarapannya ke ruang tengah, tempat dimana Sassy tengah sibuk mencoret-coret buku milik Yudha. Sassy di hari itu masihlah sosok anak kecil polos, tubuhnya masih sedemikian mungil hingga membuat ayah tidak tahan untuk menarik Sassy di pangkuannya.

"Adek lagi apa?" Tanya laki-laki itu seraya mencium pipi gembil Sassy.

"Yayah ni ingki momo!" Dengan bangga Sassy memamerkan coretan abstrak kepada Ayah, seolah-olah ia berhasil menggambar animasi kesukannya itu.

"Mingki Momo?" Ayah mengerutkan dahi, berusaha mencari letak kemiripan gambar Sassy dengan wujud aslinya yang tengah tayang di TV. Jelas, jauh beda, tapi Ayah dengan lapang hati mengangguk. "Iya, mirip. Adek belajar lagi ya."

Sassy tersenyum lebar hingga deretan gigi susunya nampak. Begitu manis hingga Ayah di hari ini ingin meraup wajah lucu itu sekali lagi, lantas mengecupnya puluhan kali.

Pagi itu berjalan menyenangkan buat Sassy. Yudha yang bangun kesiangan tidak sadar kalau bukunya habis dicoreti Sassy. Bunda yang baru saja menyuapi Sassy dengan telur mata sapi kesukaannya. Dan sekarang ayah ada memangku Sassy, menemani Sassy menonton Mingki Momo. "Ayah! Adek au jadi Ingki!" Tiba-tiba anak itu berseru, tepat saat Mingki Momo mulai mengeluarkan sihirnya di layar teleivisi.

"Kenapa adek mau jadi Mingki?"

"Bial jadi gede!"

"Adek mau jadi gede?"

Sassy mengangguk mantap.

"Jangan..."

Mata Sassy kontan membulat. "Kok ndak oleh?"

"Kalau adek gede, ayah nggak bisa mangku adek."

"Tapi kalo adek ndak gede, adek ndak bica peyuk ayah."

"Lho? Kenapa?"

Sassy melangsek turun dari pangkuan Ayah. Bayi tiga tahun itu merentangkan tangan, lantas kembali mendekat dengan maksud memeluk Ayah. "Tangan adek ndak uat." Tangan mungil itu, berusaha meraih dua buah sisi lengan ayahnya, namun tak sanggup.

Ayah tertawa kecil, perbincangan ringan bersama anaknya itu membuat Ayah lupa kalau sarapannya belum habis. Tapi tak apa lah, kenangan manis itu, akan selalu menjadi bagian kehidupan yang patut Ayah syukuri. "Kalau gitu biar ayah aja yang peluk adek..." Dengan hangat, lengan kokoh itu mendekap hangat tubuh Sassy, mengalirkan sebentuk rasa sayang pada anak itu.

"Mas... udah mau jam tujuh."
Baik Sassy maupun ayah langsung menoleh ketika mendengar suara bunda. Masih dengan celemek di pinggang, perempuan itu menjadi pihak ketiga yang merusak kehangatan antara Sassy dan Ayah.

"Oh, iya, aku siap-siap dulu." Ayah menurunkan Sassy dari pangkuannya. Ia hendak langsung berangkat ke kantor kalau saja tangan mungil Sassy tidak menghalangi langkahnya.

"Ayah... au nana?" Mata bulatnya mulai berair, bibir bawahnya tertekuk, Sassy siap menangis.

"Ayah kerja dulu ya, nak..."

"Ndak!" Dengan keras Sassy menolak, alih-alih melepaskan tangannya dari kaki ayah, ia justru semakin memeluk kaki ayah. "Ayah temenin adek nton Ingki!"

"Iya sayang... nanti malam kita nonton lagi ya?"

"Ndak!"

Jika terus dibiarkan, maka akhirnya adalah ayah telat datang ke kantor. Alhasil, Bunda pun mulai turun tangan untuk membujuk anak itu. "Adek nonton Mingki sama Bunda ya?" Dengan hangat Bunda berusaha menggendong Sassy, tapi anak itu tetap teguh pendirian.

alkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang