Sassy turun dari taksi yang ia tumpangi. Bajunya habis diguyur hujan. Sementara tubuhnya dirajam oleh rasa gigil. Matanya yang sembap setelah menangis sepanjang perjalanan, menatap ke arah atap apartemen.
Ada seorang perempuan tua duduk santai dengan kaki menggelantung di udara. Sosok itu juga menatap balik pada Sassy. Senyuman terukir di bibirnya, seakan sedang menertawakan kekacauan perasaan Sassy saat ini.
Dengan lekas, Sassy berlari masuk ke dalam apartemen. Tanpa pedulikan rasa dingin yang mengekangnya, Sassy menekan tombol lift pada pilihan atap apartemen. Dan sesampainya di sana, Sassy langsung disambut oleh keberadaan Madam Mira.
Hujan berderai deras, bahkan sesekali ditemani gelegar petir. Namun itu tak menggentarkan niat Sassy. Jika Madam Mira saja mampu duduk dengan santai di atap gedung saat hujan, maka Sassy juga tak gentar untuk menghujani perempuan tua itu dengan banyak pertanyaan.
Madam Mira menyambut Sassy dengan senyuman. "Duduk sini." Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya.
Sassy hanya diam, menatap Madam Mira dengan penuh kebencian.
"Kamu marah?" Tentu, tanpa perlu Sassy iyakan, Madam Mira bisa menebak apa yang sedang gadis itu rasakan. Bahkan jauh sebelum Sassy berlari keluar dari kafe itu, Madam Mira sudah menunggu Sassy di atap ini bersama dengan payungnya. "Harusnya kamu senang. Saya bawa hadiah buat kamu." Madam Mira menjentikan jemari keriputnya, tak lama kemudian tangannya yang semula kosong mendadak diiisi oleh sebuah buku bersampul indah. "Selamat, cerita buatan kamu sudah jadi buku."
Sassy merampas buku itu dengan tidak sabaran. Ia membuka lembar demi lembar novel yang ia tulis sendiri, memastikan bahwa nama Ran dan segala hal tentang laki-laki itu masih tercetak rapi di dalamnya. Namun nihil, bahkan setelah Sassy membuka halaman akhir, ia tidak menemukan nama Keeran Banyu tersemat sedikitpun.
"Ran... Ran kemana?" Dengan bibir bergetar, Sassy mencurahkan tanya yang terasa begitu menyakitkan saat terucapkan.
"Ran? Siapa itu Ran?—"
"Ran kemana?!" Sassy mendadak histeris. Air matanya meluncur dengan tidak sabaran. Seakan sedang berlomba dengan derasnya hujan yang mengguyur badan gadis itu. "Ran... kenapa.... kenapa Ran gak ada?"
"Kamu yang hapus dia. Harusnya kamu nggak kaget."
Petir menggelegar bersamaan dengan tuntasnya ucapan Madam Mira. Menambah kesan kehancuran yang Sassy alami siang ini. Gadis itu kehilangan celah untuk bernapas. Dadanya sesak, rasanya Sassy ingin menjatuhkan diri ke dasar gedung.
Air mata itu terus mengalir, rasa sakit itu kian menjadi, dan penyesalan itu... terus meneriaki sorakan penyalahan yang membuat Sassy kian kehabisan akal. Ran... Ran ia akan kehilangan kebahagiaannya—ah tidak, Sassy lupa bahwa ada kemungkinan terburuk yang harus siap ia terima. Kenyataan bahwa Ran bisa saja menghilang. Tak hanya dalam buku... tapi juga dalam ingatan Sassy... juga orang-orang yang membaca kisah karangan Sassy itu.
Dan itu karena Sassy.
Kaki Sassy yang sudah melemas sedari tadi, pada akhirnya mengibarkan bendera putih.
Ia bersimpuh di hadapan Madam Mira. "Saya mohon..." Kepayahan Sassy bersuara. Matanya yang hambis dirajam oleh kesedihan menatap Madam Mira yang menatap Sassy tanpa ekspreksi. "...jangan hapus Ran..." Sassy menangis sejadi-jadinya, bibirnya bergetar, pundaknya berguncang akibat isakan yang terus mengalir dari mulut Sassy. "...saya gak keberatan nulis ulang cerita ini... tapi saya mohon... kasih saya kesempatan balikin Ran ke cerita ini..."
"Manusia itu aneh." Madam Mira tersenyum geli. "Beberapa bulan lalu, kamu datang dengan pongah, bersikukuh ingin Ran terhapus dari cerita. Tapi hari ini? Kamu mendadak payah, bahkan menangis supaya Ran kembali ada dalam cerita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
alkisah
أدب المراهقينRan tidak tahu siapa yang menulis jalan hidupnya sampai sebegitu ngenes. Tidak ada yang benar-benar berakhir bahagia dalam hidupnya, membuat Ran kelewat pusing. Pertama mami dan papinya bercerai sejak anak itu kecil, maminya menikah lagi dan sibuk...