5. Membuat Ulah

12.7K 1.2K 58
                                    

Hari sudah sore ketika aku dan Om Rafa dalam perjalanan pulang. Setelah dari butik tante cantik yang ternyata adalah teman SMA Om Rafa yang bernama Merianda itu, aku terpaksa menurut ketika si Om mengajakku ke toko perhiasan untuk memilih cincin perhiasan. Meskipun enggan, akhirnya aku memilih cincin yang menurutku harganya cukup fantastis, dengan harapan Om Rafa akan menolak dan berpikir bahwa aku bukanlah perempuan yang ia mau. Mengingat perceraiannya dengan istrinya dulu yang berselingkuh karena ada pria lain yang bisa memberinya hidup yang lebih baik menurutnya, kupikir Om Rafa pasti akan menghindari perempuan-perempuan seperti itu. Tapi sialnya, Om Rafa justru mengangguk dan tersenyum senang ketika aku menunjukkan cincin itu padanya. Om Rafa langsung membayar lunas sepasang cincin yang jika kutaksir harganya bisa seharga satu unit mobil itu.

"Kita makan dulu ya Ai," Om Rafa langsung membelokkan mobil ke sebuah rumah makan chinnesse food.

Aku hanya mengiyakan karena dua hal. Pertama, karena ditolak pun, Om Rafa pasti akan tetap keras kepala. Yang kedua, memang aku sudah kelaparan setelah bekerja keras memutar otak dan membanting tulang, berjibaku mencoba begitu banyak gaun-gaun di butik tadi.

Aku tengah menikmati pangsit kuah setelah makan sepiring 'cuimie' ketika ponsel-ku berbunyi nyaring dengan suara khas milik Adam Levine. Kurogoh ponsel dari dalam tas-ku. Randi? Kugeser icon gagang telepon warna hijau dan menempelkan ke telingaku.

"Halo," sapaku tersenyum membayangkan wajah Randi yang ganteng.

"Halo Ra, aku sudah siap. Aku jemput ke rumah kamu ya. Rumah kamu dimana?"

Kutepak jidatku. Ya ampuuun... aku lupa kalau ada janji dengan Randi nonton bareng! Aduh, bagaimana ini?

"Eh... emmmm.... a-aku lagi gak di rumah," jawabku gugup melirik Om Rafandra yang kini tengah meletakkan sendoknya dan mulai fokus padaku.

"Kamu lagi dimana, Ra?"

"Uhmm.... aku....a-aku lagi.... keluar sebentar. Ya cuma sebentar," jawabku gugup.

'Jadi gimana?"

"Eh.... nanti kita ketemuan aja di sana," aku memutar otak, bagaimana caranya agar aku bisa secepatnya pulang dan nonton bareng Randi. Kapan lagi kesempatan ini datang?

"Oke, see you."

Kumatikan sambungan ponselku dan memasukkannya ke dalam tas. Dan.... astaga! Kulihat wajah Om Rafa nampak sangat penasaran. Ia memandangku dengan tatapan menelisik curiga.

"Telepon dari siapa?" tanyanya menyelidik. Matanya tajam, seolah bersiap mengorek informasi yang ingin didapatnya hingga tuntas.

"Oh, ini teman aku. Kami janjian mau kerja kelompok. Dan aku lupa kalau kumpulnya satu jam lagi," bohongku.

"Kerja kelompok? Sama siapa? Berapa orang? Laki-laki apa perempuan? Dimana kerja kelompoknya?"

Aku melongo mendengarnya membombardirku dengan pertanyaan -pertanyaan kepo penuh kecurigaan seperti itu.

Aku menarik nafas, menyiapkan jawaban masuk akal yang sekiranya tidak membuat si Om makin curiga.

"Aduuuh... kalo nanya itu satu-satu, Om. Aku harus jawab yang mana dulu?" kuulur waktu untuk menyiapkan jawaban yang bisa diterima Om Rafa.

"Jawab saja selengkapnya."

Aku mengangguk sambil lagi-lagi menarik nafas.

"Kerja kelompoknya di rumah temen, Om. Cewek. Ya pasti ada cowoknya juga. Anggota kelompoknya kan dipilih acak oleh dosen," akhirnya jawaban itu yang keluar dari mulutku. Jantungku berdegup kencang, berdoa dalam hati, semoga Om Rafa tidak curiga.

Om RafandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang