3. Dilamar

14.7K 1.3K 111
                                    

Haaaaiiii....
Ada yang kangen gak?

Aku baca komen-komen kalian meski gak sempat balas...
Itu yang buat aku niat update lagi.
Semoga kalian gak bosen nungguin yaa...
Vote dan komen kalian adalah semangatku.... cieeee....

Oke...
Cuzz baca yuukk...

.

.

.

.

.

"Ra, Mama sudah belikan gaun untuk acara besok. Setelah ini, ikut Mama ke salon. Kamu harus dilulur biar kulitmu tidak kusam. Seharusnya kamu itu sering perawatan. Perempuan kok lebih suka nonton balapan dari pada ke salon!"

Aku memutar bola mataku dengan jengah. Omelan Mama yang mendadak sibuk menyambut lamaran Om Rafandra besok membuatku makin tidak berkutik.

"Mama sudah menghubungi Mbak sama Mas-mu. Mereka bilang akan sampai besok pagi. Biar Pak Har saja yang jemput di bandara. Selisih pesawatnya cuma satu jam kok. Tapi suami dan istri mereka gak bisa datang. Habisnya lamaranmu mendadak sekali. Gak apa-apa kan? Nanti pas nikah, mereka janji pada mau datang semua kok."

Aku mencebik. Siapa juga yang mengharap mereka hadir? Siapa yang mau dilamar coba?

"Eeehh.... kenapa kamu masih di sini? Sana ganti baju! Setelah makan kita langsung berangkat ke salon. Mama sudah telepon Mbak Lince buat pesan tempat."

"Ma... Aira gak mau dilamar-"

"Maksudmu mau langsung nikah? Mana bisa? Dimana-mana itu ya lamaran dulu," hardik Mama galak.

"Bukan... ish.... Ma, Aira gak mau dilamar Om Rafa! Kami gak ada hubungan apa-apa," rengekku, berharap Mama mau mendengarkanku.

"Gak ada hubungan kok kamu sudah sering ke apartemen dan kantornya Rafa? Tadi Papa barusan telepon, Rafa bilang kamu yang datang ke kantornya dan merayu-nya. Kamu itu bikin malu Papa dan Mama saja, Ra! Kalau suka itu ya pendekatan pelan-pelan. Bukannya langsung tubruk. Apalagi Rafa itu duda. Kok selera kamu duda sih? Ya meskipun kata Papa si Rafa itu ganteng dan sudah mapan. Mama belum lihat orangnya sih."

"Ma! Ceritanya tidak seperti itu!" aku menghentakkan kaki dengan kesal.

"Sekarang Mama tanya sama kamu. Kamu datang ke kantor Rafa atau tidak?"

Aku mengangguk.

"Nah! Kamu merayunya atau tidak?"

Dengan berat hati aku mengangguk lagi.

"Kamu pernah ke apartemen Rafa kan? Juga ke rumah orang tua Rafa? Bener kan?"

"Tapi-"

"Tuh, kamunya saja sudah ngebet begitu! Jadi perempuan itu yang anggun, jual mahal sedikit. Kalau suka, ya pendekatan dulu pelan-pelan. Kamu ini gak pernah pacaran, begitu suka sama cowok, main gas aja. Kamu kan bisa tanya Mama caranya gimana. Biar gak malu-maluin begini! Haduuuh.... kenapa kamu ini gak bisa seperti Mbak-mu? Lihat saja Mbak-mu. Bukan dia yang ngejar-ngejar Revan. Tapi Revan yang kalang kabut ngejar Mbak-mu. Lha kamu? Kok malah kamu yang ngejar-ngejar Rafa sampai nyosor-nyosor begitu."

Tuh, Mama malah ngoceh tidak jelas kan? Lagipula, Mama sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk memberi penjelasan. Lalu nasibku selanjutnya bagaimana?

.

=====

.

"Senyum yang manis dong. Biasanya kalau perempuan mau dilamar itu deg-degan. Senyum-senyum, wajahnya merona. Kok kamu malah manyun begini? Lagi marahan sama mas-nya ya? Ganteng gak sih? Lince boleh ngintip kan? Duuuh.... Eike jadi kepingin dilamar juga... eh eh eh Mbak Aira, kalau Mas-nya punya temen yang butuh belaian dan kasih sayang, boleh dong kenalin ke Lince," telingaku serasa pengang mendengar ocehan Mbak Lince. Nama aslinya Harlin Prasojo, tapi dia selalu sewot kalau dipanggil nama aslinya. Mana dari tadi ngoceh terus dia.

Om RafandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang