4. Menghindar

13K 1.3K 55
                                    

Kuhempaskan pantatku ke kursi kafe. Mood-ku perlu diperbaiki sejak semalam memburuk gara-gara Om Rafa. Nyaris saja Papa mempercepat pernikahan kami gara-gara Mas Mara memergoki Om Rafa tengah menciumku dengan ganas di kamarku, sementara aku megap-megap seperti ikan kekurangan air dalam pelukannya.

Sebenarnya hari ini Om Rafa akan menjemputku untuk memilih gaun yang akan kukenakan di acara pertunangan kami yang akan diadakan minggu depan. Padahal rencananya pertunangan akan diadakan bulan depan. Tapi gara-gara Om Rafa, jadilah pertunangan kami dimajukan menjadi minggu depan. Dan aku terpaksa menyetujui dari pada pernikahan kami yang dipercepat.

"Seperti biasa ya, Mas Daru," aku sedikit berteriak pada Mas Daru yang berada di belakang kasir. Aku memang sering ke kafe Mas Daru kalau sedang mengerjakan tugas kuliah.

"Oke," Mas Daru mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar. Ia sudah hafal dengan menu favoritku.

Sambil menunggu pesananku datang, aku mulai membuka laptop dan menyumpalkan earphone ke telingaku. Tugas dari dosenku memerlukan konsentrasi. Dan aku lebih suka berkonsentrasi mengerjakan tugas daripada memilih gaun untuk acara pertunangan.

Mas Daru meletakkan satu buah muffin coklat dan segelas mix juice di meja.

"Kok gak barengan Dinda?" tanya Mas Daru. Dia itu naksir Dinda, tapi sayang, Dinda lebih suka si Jay yang nama dan orangnya sama sekali tidak relevan itu.

"Dinda lagi ada kelas, Mas. Kenapa? Kangen ya?" ledekku terkekeh melihat Mas Daru merona. Eh, ternyata laki-laki bisa merona juga lho.

"Hehehe..." Mas Daru mengusap tengkuknya. Lucu juga melihatnya malu-malu.

"Eh, ada Aira."

Aku dan Mas Daru menoleh bersamaan. Tampak Randi, sepupu Mas Daru mendekat. Aku cukup akrab dengannya. Kata Mas Daru, sepupunya itu naksir aku. Memang selama ini dia selalu bersikap ramah dan manis padaku. Tapi aku masih meragukan kata-kata Mas Daru. Aku bisa malu kalau ternyata ke-ge er-an. Bisa saja Randi itu ramah dan manis pada semua orang, bukan?

"Halo Randi," aku membalas sapaannya. 

"Ehem... aku balik ke kasir saja. takut mengganggu," goda Mas Daru lalu bersiul meledek sambil berjalan menuju singgasananya, yaitu di belakang meja kasir.

Aku mencibir sementara Randi terkekeh melihat tingkahku.

"Kok lama gak kemari, Ra?" tanya Randi membuka percakapan.

"Halah, baru juga seminggu," sahutku memandangnya sebentar lalu kembali fokus pada layar laptop-ku.

"Masa sih? Kok rasanya lama banget ya?" 

"Ish... bisa saja. Kenapa? Kangen sama aku?" aku menanggapi sekenanya.

"Memang boleh aku kangen kamu?"

Aku menghentikan jemariku yang tengah bergerak di atas keyboard, lalu memandang Randi.

"Setauku itu termasuk hak asasi manusia kan ya?"

Randi terkekeh. 

Eh? Kok kedengaran empuk ya tawanya? Tapi mana ada tawa empuk? Memangnya donat?

"Kamu suka film drama komedi kan, Ra?"

Aku mengangguk. 

"Kebetulan aku punya dua tiket gratis nih. Mau nonton bareng aku gak?" tanya Randi. Ia menatapku berharap.

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Boleh. Kapan?"

"Besok sore. Gimana? Mau kan?"

Om RafandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang