Prolog

18 1 0
                                    

Mata perempuan mengerjap-ngerjap, begitu silau dengan kerumunan cahaya. Telinganya mendengar jelas, tiap perkataan orang-orang yang berbisik tentangnya. Sesekali orang-orang itu melanturkan rasa empati dengan bahasa yang tidak begitu ia mengerti. Di hadapan namsan tower tampak indah, lebih indah dari biasanya yang ia datangi.

Semua kilas balik berputar di kepala, suara orang-orang semakin jelas di pendengarannya. Tubuh perempuan itu terasa dingin sekali, meski ia menggunakan mantel tebal lengkap dengan baju berlapis-lapis. Salju pertama turun, tepat di hari ulang tahun yang setelah sekian lama ia nantikan. Dalam sejarah sepanjang kehidupannya yang dilewati, harusnya hari ini menjadi hari yang harus ia rayakan dengan tenang, sembari memeluk diri sendiri.

Rupanya, hari ini ketika semua jadi kenyataan, dia tidak tau, kenapa rasanya lebih menyakitkan dari hari-hari sebelumnya.

Harusnya hari ini, dia tersenyum bahagia. Sambil menikmati segala hal untuk dirinya sendiri karna sudah pergi sejauh ini.

Bayangan kehangatan masa kecilnya terputar di kepala. Di tengah-tengah musim hujan, menyesap teh hangat sambil berebut pisang goreng. Sesekali melempar tawa, sesekali mengejek. Lalu tertawa kembali.

Matanya semakin terasa berat, tubuhnya semakin tak bertenaga, suara kerumunan orang-orang ini masih terdengar namun lama kelamaan melemah.

Rupanya begini rasanya, hidup sendiri dari yang ia idam-idamkan. Jauh semua keramaian yang melelahkan. Lelah akan perasaan-perasaan orang lain. Namun nyatanya,

Kesendirian yang ia idam-idamkan juga, tak menyenangkan sama sekali.

Kerumunan itu semakin ramai, bau anyir darah menyapa indra penghidunya, udara dingin terasa menusuk tulang. Perempuan itu memejamkan matanya pelan. Semua terasa makin samar

Jika boleh ia diberikan satu hari lagi setelah ini, dia hanya ingin mati dalam dekapan keluarganya.

Dan semua menjadi gelap, sunyi.

Inikah akhir hidupnya yang menyedihkan?

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang