06

243 27 3
                                    

Angin menerbangkan dedaunan, ikut menerpa rambutnya dengan lembut. Wajahnya sendu, menatap lurus ke depan. Lelaki bersurai kuning itu sama sekali tidak terusik dengan suara anak-anak yang bermain di taman apartemen. Seolah penghalang kedap suara terpasang disekitarnya.

Bibirnya menarik senyum tipis. Dalam diam dia mempertanyakan kisah cinta yang ada dalam hidupnya. Apa mungkin dia tidak beruntung atau memang dia tidak pantas untuk menerima cinta? Pertama, Sasuke pergi begitu saja dari hidup Naruto, sekarang saat Naruto sudah menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan hatinya, orang itu malah memutuskan hubungan dengannya.

"Hahaha..." Naruto tertawa getir.

"Sai... apa yang kamu katakan? Kau pasti bercanda, kan?"

Sai tidak menjawab. Hanya tatapan yang menujukkan keseriusan yang dia katakan.

"Jangan seperti ini. Kalau kamu ingin membalas apa yang kulakukan, marahi saja aku! Pukul aku, atau apapun selain itu. Jangan malah mengakhiri hubungan kita!" Naruto menahan marah.

"Kenapa? Lagian dari awal hubungan ini gak dilandasi dengan cinta," ucap Sai tenang.

"Apanya yang nggak ada? Aku memilihmu karna aku menyukaimu!"

"Tapi aku tidak."

Waktu susah berlalu cukup lama. Naruto yang masih di taman menengadah, menatap langit yang kini terlukis senja. Dia beranjak dari sana dan kembali ke apartemen.

"Ugh!"

Naruto menyentuh kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Sesaat pandangannya ikut menghitam, sebelum berakhir dengan rasa pusing yang menghantam kepalanya. Naruto langsung mengabaikannya, seolah itu bukan sesuatu yang patut dia khawatirkan. Ada bagian tubuhnya yang lain yang lebih menyakitkan daripada rasa pusing tersebut.

"Naruto!"

Naruto melihat ke arah suara.

"Sa–"

Kalimat Naruto menggantung. Dunianya berputar kemudian menjadi gelap. Dia hanya merasakan seseorang menangkapnya sebelum benar-benar terjatuh dan menyebut namanya dengan panik.

÷÷÷÷÷

Seminggu berlalu.

Sekelompok mahasiswa keluar dari kelas setelah kelas usai. Penuh gelak seperti biasa, yang begitu berisik sampai yang punya pembawa tenang seperti lelaki berambut nanas. Tidak ada yang berubah. Walaupun mereka tahu hati salah satu sahabatnya menangis pilu.

Yah! Karena mereka punya prinsip dalam persahabatan tertawa bersama menangis sendiri membuat mereka tidak bersedih dengan masalah yang terjadi. Bukan jahat, tapi menurut mereka atau tepatnya menurut Ino dan Sakura, kalau semuanya menangis siapa yang akan menghilangkan kesedihan itu dan tertawa.

"Ke mana? perpus?" tanya Shikamaru.

"Kantin dulu, aku lapar," sahut Kiba memasang wajah menyedihkan.

"Aku pengen makan banyak!" seru Ino.

"Bukannya kau diet, Ino?" usik Sakura.

"Hari ini dietnya lagi libur."

"Oh ya Sai? Rancangan bangunan kita gimana?" tanya Shikamaru tiba-tiba teringat tugas kelompok.

"Aku sudah menggambar beberapa, tinggal pilih aja yang mana mau dilanjut," jelas Sai, menunju tabung lukis di tangannya.

"Beberapa? Apa kamu gak ada kerjaan lain selain membuat rancangan? Satu aja udah bikin aku puyeng." Ino ikut menanggapi.

"Aku pasti bisa kelaparan kalau gak melakukan hal lain. Mungkin karena aku suka jadinya gak bikin puyeng."

"So... gimana rumah impianmu kali ini?" tanya Sakura.

Sebelum Sai menjawab, di waktu hampir bersamaan dia berpapasan dengan Naruto, melewati begitu saja lelaki yang sudah seminggu tidak dia lihat. Tanpa ada sapaan apalagi untuk satu lirikan.

Sai benar-benar mengambil jalan masing-masing.

Naruto yang dilewati begitu saja membatu di tempat. Jantungnya bergemuruh hebat. Dibandingkan saat Sasuke meninggalkannya, diabaikan oleh Sai lebih menyakitkan. Orang yang Naruto cintai berada di depannya, tapi sama sekali tidak bisa dia rengkuh.

"Naruto?" panggil mahasiswa yang bersamanya. Mengembalikan kesadaran Naruto.

"Ah ya, Tenten?"

"Aku mengajakmu ke kantin, mau ikut? Apa kalian lapar?" tanya Tenten pada temannya yang lain.

"Tentu saja, ini kan jam makan siang," sahut perempuan bersurai merah.

"Aku punya bento," kata Shino.

"Hah! Berhenti jadi anak mami, sesekali kau bisa memesan makan di kantin kampus!" komentar Temari.

"Te-temari, jangan katakan seperti itu. Bawa bento juga salah satu cara menjaga kesehatan." Hinata menimpali.

"Ok ok. Kalian ingin berdebat apa mau makan?" lerai Tenten, "Naruto ayo kita pergi." Dan malah menarik Neji bersamanya.

"Kau menarik orang yang salah."

Dua meja saling berdampingan. Membuat kedua penghuni bisa saling bertukar dengar tiap obrolan yang ada.

Sakura yang menjadi penghuni salah satu meja melirik Naruto, lalu beralih pada Sai. Dia hanya mampu diam tanpa ingin mengusik luka yang berusaha sahabatnya itu sembunyikan. Ino juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi selain Sai dan Naruto tidak berhubungan lagi.

"Sai, coba lihat rancangan tadi?" pinta Shikamaru.

"Ck, sialan kau Naruto! Bagaimana kali ini kau bisa membuat model sedetail ini?" Sai tidak tahu siapa yang berbicara karena posisi duduknya membelakangi kelompok Naruto.

"Aku menempatkan perasaanku di sana. Membayangkan orang yang kucinta akan tinggal di rumah impian yang aku rancang, makanya hasilnya sebagus itu." Terdengar gelak pelan dari Naruto.

Sai terdiam. Mengepalkan kuat tangannya tanpa dia sadari. Hatinya berrdenyut nyeri, seperti bulatan duri yang lempar paksa ke arahnya. Bahkan mengabaikan Shikamaru, membuat lelaki itu meraih sendiri apa yang dia minta.

"...."

Tanpa Sai tau, Naruto melirik Sai. Menatap punggung Sai yang terlihat sama sekali tidak peduli.

"Sai."

÷÷÷÷÷

Tangga asrama menuju kamarnya terasa begitu jauh. Langkah Sai pelan, menekuk wajahnya. Terlihat ingin menangis, tapi air matanya sama sekali tidak keluar.

Beberapa meter akan sampai di kamar asramanya, langkah Sai terhenti untuk sesaat. Kemudian kembali bergerak, mendekati seseorang yang berdiri di depan pintunya.

"Uchiha? Sekarang apa lagi?"

÷÷÷÷÷

PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang