07

371 30 5
                                    

Seperti bukan dirinya saja. Sai berlari ke sana-kemari, mengambil satu persatu barang yang dia butuhkan sambil mengenakan pakaian. Kamarnya yang rapi masih saja dia umpati saat tidak menemukan yang dia cari. Dan, dari banyaknya kekesalan yang Sai tumpahkan melalui mulutnya, jam weker yang malang lebih sering dia sebutkan karena tidak berbunyi pagi ini.

"Kenapa pagi ini aku begitu sial? Ouh." Saat terburu-buru keluar kakinya malah menyandung rak sepatu.

Dia bersyukur memilih asrama yang tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai. Sai hanya perlu berlari sedikit lebih cepat dan sesekali dia melirik arloji di tangannya. Waktu benar-benar mengejarnya.

"Ya!"

Waktu seperti diperlambat. Seseorang muncul di depan Sai dengan tiba-tiba. Sai yang berada dalam kecepatan penuh tidak bisa menggunakan rem dengan sempurna, berusaha berbelok juga tidak berhasil. Orang itu tertabrak olehnya.

Brak... crak...

Suara jatuh dan patah terdengar setelahnya. Bukan lagi lambat, waktu di sekitar Sai benar-benar terhenti saat matanya menangkap suara apa yang baru saja jatuh.

"Aaaaa... rumah impianku!" ratap orang itu berjongkok di depan miniatur yang sudah patah berantakan.

 rumah impianku!" ratap orang itu berjongkok di depan miniatur yang sudah patah berantakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku minta maaf," sesal Sai.

"Maaf gak akan mengembalikan semuanya. Dan, kenapa selalu kamu? Apa kau punya dendam denganku?" Sekilas menatap Sai dan langsung kembali melihat hasil karyanya yang hancur dengan sedih.

"Setidaknya aku mengaku salah. Kalau gak bisa kembali seperti semula, aku akan merancang dari pertama untukmu dan gak akan merusaknya lagi."

"Ngomong aja mudah."

"Lagian itu udah rusak, kenapa gak dibuang aja?" kata Sai. Dia seolah sudah lupa dengan alasan dia terburu-buru.

"Apa kau iblis?"

"Bagaimana aku mencintai orang yang menyebutku iblis? Hah! Lupakan," gumam Sai.

"Jadi, Uzumaki Naruto, aku harus apa?" Sai tersenyum seperti pertama kali bertemu dengan Naruto.

"Aku-"

"Sialan." Ucapan Naruto terpotong, Sai lari meninggalkan Naruto tanpa menunggu apa yang ingin Naruto katakan. "Aku harus pergi. Nanti aku akan bertanggung jawab," teriak Sai.

Tatapan Naruto perlahan berubah sendu. Menatap kepergian Sai yang semakin menjauh dan kemudian menghilang. Sai terlihat seperti biasa, sekalipun bertemu dengannya. Mungkin rasa untuknya sudah hilang atau perasaan itu sama sekali tidak ada seperti yang Sai katakan.

Tetap saja, Naruto belum terbiasa. Menyembunyikan perasaannya dan tanpa Sai dia tidak baik-baik saja. Naruto merindukan lelaki putih pucat itu.

÷÷÷÷÷

PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang