Chapter 3

871 127 36
                                    

"Sekali lagi aku mau memastikan, kamu beneran nggak butuh uang atau pekerjaan baru?"

"Ryn Camellia, saya perlu ingatkan kamu bahwa saat ini berada di pulau asing. Kamu akan sangat mudah saya buang ke laut jika masih bertanya hal yang sama untuk ke sekian kali, dan pastinya… akan sulit mendapatkan pertolongan."

Sang puan mengangkat sudut bibir, berdecak sebal. Padahal, ia sekadar bertanya, mengapa pria yang mengaku bernama Junaedi ini sulit sekali diajak bicara. Wajahnya tampan, badan bugar, sayangnya gampang emosian. Untung ia hanya istri pura-pura, Ryn tak dapat membayangkan jika itu terjadi betulan.

Ngomong-ngomong soal menjadi istri, sekarang sang puan baru merasa heran : mengapa Juna sampai perlu membuat kebohongan seperti itu padahal dia bisa saja jujur pada tetua desa bahwa Ryn wanita yang tersesat atau korban penculikan. Toh, kalau dia berkata jujur, Ryn yakin orang-orang di pulau ini akan membantunya pulang —setidaknya mengantarnya ke kota Makassar.

"Pak Juna—"

"Panggil nama saja," potong sang pria, sudah mulai muak dengan panggilan 'Pak'.

"Oke, Juna, kenapa nggak jujur kepada tetua desa bahwa aku bukan istrimu?"

Remang dari lampu yang bersinar kemerahan membuat suasana terasa intens. Apalagi di sini hanya ada mereka berdua. Ryn menatap penuh tanya tatkala Juna memilih bangkit menuju sudut ruangan, mengambil lilin dan korek api. Langkah pria itu kemudian kembali ke kursi tempatnya duduk tadi.

Wanita ini fokus melihat gerak-geriknya. Dia menghidupkan lampu petromaks. Lantas, bukannya menjawab pertanyaan tadi, Juna mengalihkan topik.

"Bawa ini ke kamarmu, sebentar lagi listrik akan padam."

"Hah?" Ryn tak bisa mengerti situasi. Mengapa tiba-tiba membahas listrik di saat pertanyaannya tidak ada hubungannya dengan itu?

"Penerangan di sini mengandalkan listrik yang belum bisa beroperasi 24 jam, waktu operasi hingga pukul sepuluh malam. Sekarang sudah jam sembilan, lebih lima-puluh. Jadi, sudah waktunya untuk tidur, karena rumah ini akan segera gelap sebab saya nggak punya mesin genset," tutur Juna, menyerahkan lampu yang telah dinyalakan.

Ryn memandangi itu dan wajah sang pria bolak-balik, apa maksudnya pria itu menyuruhnya untuk tidur di saat dirinya bahkan belum sempat mandi? Hei! Ryn Camellia selalu mengedepankan penampilan, mana mau dia tidur sebelum bersih-bersih.

"Nggak bisa, aku harus mandi terlebih dahulu."

"Mandi? Kamu yang benar saja. Air bersih di pulau ini terbatas, penduduk lebih sering menampung air hujan untuk dimasak menjadi air minum, dibanding memakainya untuk mandi."

Mata sang puan lekas melotot. "Dengan kata lain, kamu mengatakan bahwa hampir semua penduduk di sini jarang mandi dan tidur dalam keadaan kotor?"

"Siapa yang bilang kami tidur dalam keadaan kotor, kami melaut dan sering kena air—"

"Tapi air laut bukan untuk mandi!"

"Dan kami membeli air ke kota lalu membawanya ke sini dengan menggunakan jerigen. Jadi, Nona Ryn Camellia Soebagio, meski tinggal di pulau yang terpencil, kami menjaga kebersihan."

"Kalau begitu, biarkan aku mandi."

"Silakan loncat ke laut."

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang