BAGIAN 6

89 8 0
                                    

Ki Wayan Seta sebenarnya adalah seorang pedagang besar yang memiliki sekitar dua puluh orang anak buah. Tak heran bila di rumahnya yang besar berhalaman luas, terdapat barak-barak kecil untuk para anak buahnya. Penampilannya yang selalu sederhana, membuat orang yang baru mengenalnya tidak akan menyangka Ki Wayan Seta orang terkaya di kadipaten ini!
Begitu pula yang ada dalam benak Rangga. Dia sempat termangu saat orang tua itu mengajak ke rumahnya. Dan kini mereka tengah berbincang-bincang di ruang utama yang besar dan tertata apik.
Namun bincang-bincang mereka mendadak terputus ketika dari pintu yang terbuka masuk seorang pemuda. Wajahnya tampak cemas dan langkahnya tergopoh-gopoh.
"Celaka, Ki!" seru pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Ki Wayan Seta.
"Seseorang mengamuk di desa. Dan banyak yang terbunuh karena ulahnya. Orang-orang desa lari ketakutan. Dan sebagian meminta perlindungan kepada kita," sahut pemuda anak buah Ki Wayan Seta ini.
Ki Wayan Seta tidak perlu penjelasan lebih lanjut, dari ruang utama ini terlihat kalau di luar pagar halamannya lebih dari dua puluh penduduk desa telah terkumpul. Wajah mereka tampak cemas penuh ketakutan. Orang-orang itu pun hanya sempat membawa pakaian yang melekat di tubuh saja.
"Rumah mereka dihancurkan. Dan mereka tidak ada tempat untuk berteduh, Ki...," lanjut pemuda itu.
"Kau urus mereka. Buatkan tenda-tenda di halaman samping. Kemudian beri mereka makan," ujar Ki Wayan Seta, memberi perintah.
"Baik, Ki!"
Pemuda itu segera berlalu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika teringat sesuatu. Lalu dia berbalik, dan kembali lagi pada majikannya.
"Tapi, apakah Ki Wayan tidak bermaksud melihat orang itu dan membereskannya?" tanya pemuda ini.
Ki Wayan Seta terdiam. Pertanyaan anak buahnya wajar saja. Sebab selama ini dia sering turun tangan membantu kesulitan orang-orang desa dari segi apa pun. Dan di samping itu, bukan hanya anak buahnya saja yang tahu kalau Ki Wayan Seta dulunya adalah seorang pendekar hebat.
Tapi penduduk Desa Gambus ini pun hampir semua mengetahuinya. Tidak jarang Ki Wayan Seta turun tangan sendiri menangkap perampok yang selalu meresahkan penduduk desa. Sehingga tidak mengherankan kalau desa ini aman dari tangan-tangan jahil serta orang-orang yang hendak berbuat kekacauan.
"Apakah dia masih ada di sana?" tanya Rangga.
"Eh, mungkin sekarang telah pergi."
"Bagaimana bentuk orang itu?"
"Aneh dan menyeramkan. Tubuhnya ditutupi lumpur coklat kemerahan yang telah mengering dan seperti melekat kuat ke tubuhnya. Seolah-olah seperti kulitnya saja. Permukaannya kasar seperti batu kali," jelas pemuda ini.
"Hmmm...," gumam Rangga tak jelas.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti berpandangan dengan Ki Wayan Seta. Sepertinya mereka sama-sama mengerti, siapa yang barusan diceritakan.
"Ki Wayan Seta tengah sakit. Aku yang terpaksa membawanya kesini. Dia tidak boleh banyak bergerak," jelas Rangga, untuk mencairkan ketegangan yang dialami orang tua itu.
Pemuda ini memperhatikan sesaat lamanya, dan mengangguk pelan. Beberapa bagian di tubuh Ki Wayan Seta memang mengalami luka-luka kecil. Dan dari mulutnya masih terlihat bekas darah yang telah mengering. Hal itu membuat pemuda itu percaya.
"Maaf, Ki. Aku betul-betul tak tahu. Akan kuberitahukan pada Ki Sumekti untuk menyiapkan ramuan obat untukmu!" sahut pemuda itu seraya beranjak ke dalam dengan terburu-buru. Melihat itu Ki Wayan Seta hanya tersenyum-senyum.
"Istri Ki Wayan tentu cemas melihat keadaan seperti ini...?" tanya Rangga, mengusik senyum laki-laki tua ini.
Ki Wayan Seta terkekeh.
"Dari mana kau berpikir begitu? Istriku telah lama meninggal. Di sini hanya ada aku, putriku, dan seorang tabib setia serta anak buahku," papar Ki Wayan Seta.
"Oh, maaf! Mungkin pertanyaan tadi membuatmu teringat pada istri," ucap Rangga buru-buru.
"Aku memang teramat mencintainya. Tapi..., ah! Sudahlah! Aku sudah ikhlas akan kepergiannya. Yang mati tentu tidak akan bisa kembali. Yang kumiliki saat ini hanya satu. Putriku. Kini dia terbaring sakit. Oh, maaf! Aku jadi melantur. Mari, kuajak kau menjenguk putriku terlebih dulu!" seru Ki Wayan Seta.
Rangga benar-benar trenyuh melihat keadaan Ki Wayan Seta. Laki-laki tua ini tidak mempedulikan luka dalam yang dideritanya, tapi lebih mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang saat ini tengah berbaring lesu. Sesekali Lestari merintih kesakitan. Suhu badannya tinggi. Dan terkadang memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Ramuan obat yang diberikan Ki Sumekti sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kemanjuran.
"Biar kucoba mengobatinya...!" kata Rangga, begitu tiba disamping pembaringan Lestari.
"Ah.... Aku amat berhutang budi kalau kau bisa menyembuhkan putriku!" desah Ki Wayan Seta.
Rangga tersenyum.
"Berdoalah agar putrimu segera sembuh," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Rangga bicara sebentar pada Ki Sumekti yang sejak tadi ada di kamar ini, untuk menyiapkan ramuan obat atas petunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan segera kukerjakan...!" sahut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya bergegas ke belakang.
"Apakah tumbuh-tumbuhan yang kusebutkan dapat dimengertinya?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti agak heran, sebab laki-laki itu sama sekali tidak bertanya apa pun saat tumbuh-tumbuhan yang harus diramu disebutkan.
"Ki Sumekti biasa membuat ramuan obat. Dan sedikit banyak, dia mengerti apa yang tadi kau sebutkan. Tumbuh-tumbuhan itu tidak sulit dicari. Di halaman belakang, kami memiliki banyak jenis tumbuhan yang bisa dijadikan ramuan obat," jelas Ki Wayan Seta.
Rangga mengangguk mengerti. Dan perhatiannya dialihkan pada gadis itu. Lalu diperiksa denyut nadi Lestari. "Dia semakin lemah...," desah Rangga pelan.
"Tolonglah, Rangga! Hanya dia yang paling berharga di dunia ini. Apa pun yang kau minta akan kukabulkan. Asalkan kau bisa menolongnya!" pinta orang tua itu penuh harap.
"Tenanglah, Ki. Aku akan berusaha semampuku," ujar Rangga.
Ki Wayan Seta menarik napas dalam-dalam. Dan sesekali mukanya berkerut cemas. Dia tidak mau duduk jauh-jauh dari putrinya.
Sementara itu Rangga meletakkan telapak tangan kirinya ke perut gadis itu.
"Maaf...!" ucap Rangga pendek, ketika meletakkan telapak tangannya ke dada gadis itu.
Wajah Lestari tampak jengah. Sebab meski telapak tangan itu tidak bergerak ke mana-mana, tapi baginya, pemuda ini amat asing. Apalagi dia tidak biasa disentuh seorang laki-laki seperti itu.
Tapi wajah pucat Lestari tidak bisa lama-lama merasakan gejolak hatinya. Beberapa saat kemudian, terasa olehnya hawa hangat yang berputar-putar di bawah perut. Lalu dengan cepat naik ke atas. Dan....
"Hoaaakh...!" Dari mulut gadis itu menyembur darah kental kehitam-hitaman.
Ki Wayan Seta bergerak cepat menghapus cairan darah itu dengan selembar kain. Beberapa kali Lestari muntah darah kental kehitaman, sampai akhirnya darah itu berubah menjadi merah segar.
Wajah gadis itu yang telah pucat, kini kelihatan lebih pucat lagi. Tubuhnya bergetar dan menggigil seperti terserang demam hebat. Saat itu juga, Rangga menghentikan penyaluran tenaga murni ke tubuhnya. Ditariknya napas panjang. Lalu diambilnya mangkuk ramuan yang disodorkan Ki Sumekti, yang baru saja muncul.
"Tolong tegakkan tubuhnya, agar ramuan ini tidak keluar sia-sia," ujar Rangga.
"Biar kukerjakan!" sahut Ki Wayan Seta cepat.
Wajah Lestari semakin berkerut ketika menenggak ramuan obat itu. Dia memerlukan beberapa kali tegukan, sebelum isi mangkuk tandas ke dalam perutnya.
Kembali Lestari merebahkan diri setelah menenggak ramuan yang diberikan Rangga. Matanya memandang sayu kepada Ki Wayan Seta, lalu kepada Ki Sumekti, serta terakhir kepada Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
Sementara Ki Wayan Seta mengelus-elus riak rambut gadis itu perlahan-lahan. Dan tidak berapa lama kemudian terlihat gadis itu mulai memejamkan mata, terkantuk-kantuk.
"Biarkan dia tertidur," ujar pemuda itu dengan suara perlahan ketika gadis itu mulai pulas.
"Apakah dia akan sembuh?" tanya Ki Wayan Seta.
"Mudah-mudahan," desah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau pun terluka, Ki Wayan. Ada baiknya meminum ramuan yang tadi dibuat Ki Sumekti...!"
"Akan kukerjakan segera!" sahut Ki Sumekti tanpa menunggu perintah majikannya, dia langsung kembali ke belakang.
"Beberapa tulang rusuknya patah. Dia tidak boleh banyak bergerak, Ki. Pengobatannya pun harus berangsur-angsur dan tidak bisa sekaligus. Aku hanya mengeluarkan darah yang mulai membeku dalam tubuhnya. Dan ramuan obat tadi berguna untuk melancarkan peredaran darah serta menyembuhkan luka," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga.... Sudikah kau tinggal sementara di tempatku ini sampai putriku benar-benar sembuh?" pinta laki-laki ini.
"Ki Wayan Seta.... Bukan aku tidak mau memenuhi permintaanmu. Tapi aku tengah memikirkan cara bagaimana membinasakan makhluk itu. Kalau terus dibiarkan, maka akan semakin banyak korban yang jatuh. Lagi pula dalam keadaan sekarang, aku belum bisa berbuat banyak."
"Paling tidak, sambil memikirkan cara membunuh makhluk itu, tinggallah di sini. Kau pun bisa beristirahat di samping bisa mengawasi Lestari. Aku mohon, tinggallah di sini!" desak orang tua itu seraya membungkuk.
"Ki Wayan, jangan keterlaluan. Kenapa begini? Ayo, bangkitlah kembali!" seru pemuda itu seraya tersenyum lebar.
"Aku tak akan bangkit sebelum kau mengabulkan keinginanku!"
Rangga menarik napas panjang.
"Baiklah...," desah Rangga.
"Ah, terima kasih Rangga. Aku berharap banyak padamu atas kesembuhan putriku!" ucap Ki Wayan Seta dengan wajah berseri-seri.
Saat itu Ki Sumekti kembali ke ruangan ini, seraya membawa mangkuk lain yang berisi ramuan obat. Tanpa ragu-ragu, Ki Wayan Seta menenggak ramuan itu sampai tuntas.
"Kau harus latih pernapasan untuk melancarkan peredaran darahmu. Apakah ada ruangan khusus sebagai tempatmu berlatih ilmu olah kanuragan?" tanya Rangga.
"Ada! Kita kebelakang sekarang!" sahut Ki Wayan Seta seraya bangkit. Dia langsung memberi perintah pada Ki Sumekti agar menunggui putrinya.
Sementara itu Rangga pun mengikuti orang tua ini dari belakang.

***

Telah dua hari Pendekar Rajawali Sakti berada di kediaman Ki Wayan Seta di Desa Gambus ini. Dan selama itu, kesehatan Lestari berangsur-angsur pulih. Namun gadis itu menjadi sosok pendiam dan tidak banyak bicara. Malah dia suka melamun sendiri di kamarnya.
Ki Wayan Seta bukannya tidak mengerti hal itu. Bagi Lestari, berita kematian calon suaminya adalah pukulan terhebat. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja tidak memikirkan kasih sayang Ki Wayan Seta padanya, mungkin rasanya lebih baik mati.
"Apakah dengan mati maka segalanya akan selesai?" tanya Rangga, ketika berada di kamar Lestari dan tengah membujuknya.
Gadis itu terdiam, tak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda itu sekilas. Di tempat ini masih ada ayahnya, serta Ki Sumekti. Namun selama dua hari ini, sudah cukup membuatnya tidak canggung lagi untuk bercakap-cakap dengan Rangga.
"Pernahkah kau merasa bahwa oleh karena sesuatu, maka kau menjadi seorang yang tak berguna?" tanya Lestari.
Pertanyaan itu berkesan sinis, dan dikeluarkan oleh hati yang tengah luka. Rangga bisa memakluminya. Sehingga dia hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan.
"Pernah...," sahut Rangga pelan.
"Soal apa?" kejar Lestari.
Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas agak dalam.
"Kalau ada bakti yang lebih mulia didunia ini adalah bakti kepada kedua orangtua. Dan hal itu yang tak bisa kulakukan. Kedua orangtuaku telah meninggal ketika aku masih kecil. Pada saat orang lain bisa bermain dan tertawa bersama orangtua, maka aku hanya bisa memperhatikan mereka sambil menangis dalam hati. Pada saat mereka mengadukan persoalannya kepada orangtua, maka aku hanya bisa mengadu pada diri sendiri. Adakah kesedihan yang melebihi kesedihan kehilangan orangtua...?" papar Rangga.
Lestari tidak bisa menjawab. Apa yang dikatakan pemuda ini dibenarkan hatinya, meski tidak bisa terhibur. Kecintaan kepada Pratama seperti segalanya bagi gadis ini.
"Cinta kepada orangtua adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak akan pernah ada orang yang mengatakan bahwa itu bekas orangtuanya. Tapi banyak sekali orang yang mengatakan, itu bekas kekasihnya. Atau itu bekas kawannya. Dan sebagainya. Ini yang membuktikan bahwa orangtua harus segalanya bagi kita. Dalam pengertian, kepada orangtualah tempat kita berbakti," lanjut Rangga lagi.
"Ya, memang benar," sahut Lestari pelan.
"Lalu, kenapa bersedih?" tanya Rangga.
"Semua tidak akan tahu, apa yang kurasakan saat ini...!"
"Mungkin saja karena kau tidak mau membagi kesedihanmu kepada orang lain. Padahal sudah jelas, apabila suatu beban diangkat bersama-sama, maka akan terasa ringan," kata Rangga, menyudutkan.
"Tapi ini bebanku sendiri," lirih terdengar suara gadis itu.
"Meski kepada ayahmu yang teramat mencintaimu dan amat takut kehilanganmu?"
Lestari tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya orangtua itu beberapa saat lamanya.
"Ayah...," sebut Lestari.
"Anakku...." Ki Wayan Seta mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengusap-usap dahi putri satu-satunya. Terlihat bola mata gadis itu berkaca-kaca dan mulai basah.
"Aku mengecewakan perasaan Ayah...?" tanya Lestari, lirih.
"Tidak, Anakku. Kau sama sekali tidak mengecewakanku...," desah Ki Wayan Seta, menggeleng lemah.
"Tapi kenyataannya aku amat bersedih karena kehilangan Kakang Pratama. Itu berarti aku menganggap Kakang Pratama segalanya bagiku. Bahkan aku seperti tidak peduli terhadap kasih sayang Ayah...," tukas Lestari.
"Lestari, sudahlah. Jangan berkata begitu. Apa pun perasaanmu, dan apa pun yang kau pikirkan, kau tetap putriku yang teramat kukasihi...."
"Ayah...!" seru gadis itu lirih. Lestari mengangsurkan kedua tangan untuk memeluk ayahnya. Dia tak kuasa menumpahkan keharuan yang menyesak di dadanya. Untuk sesaat ayah dan anak itu saling berpelukan menumpahkan perasaan harunya masing-masing.
"Ki Wayan Seta, kurasa aku harus pergi. Kesehatan Lestari perlahan-lahan mulai membaik," kata Pendekar Rajawali Sakti setelah ayah dan anak tersenyum lega melepaskan pelukan masing-masing.
"Oh, secepat itukah?! Tidak bisakah kau tinggal barang sehari atau dua hari lagi?!" sentak Lestari.
Rangga tersenyum.
"Kewajibanku harus terpenuhi. Aku harus membinasakan makhluk itu. Sebab kalau tidak, maka akan banyak korban yang berjatuhan," tegas Rangga.
"Ah, aku memang mengerti apa yang kau rasakan. Kau pendekar sejati, Rangga! Nah, katakan apa yang bisa kubantu untukmu?"
"Tidak perlu. Terima kasih atas sikap bersahabat yang kau tunjukkan selama dua hari ini," sahut pemuda itu tersenyum.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling pada gadis yang tengah tergolek di tempat tidur, dan melemparkan senyum.
"Aku pergi dulu, Lestari. Cepat sembuh, ya?!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Kakang Rangga."
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga melangkah lebar keluar diikuti Ki Wayan Seta. Persis di luar, mereka berpapasan dengan suatu rombongan yang merupakan kawan berdagang Ki Wayan Seta. Mendadak saja, rombongan itu berlutut memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hormat kami untuk Kanjeng Gusti Prabu Rangga...!"
"Bangunlah.... Dan selesaikan urusan kalian. Urusanku dengan Ki Wayan Seta telah selesai. Oleh sebab itu, aku harus berangkat sekarang juga," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah Gusti Prabu memerlukan sesuatu? Hamba akan menyediakannya" ujar pemimpin rombongan ini.
"Tidak, terima kasih. Nah, aku pergi dulu," sahut Rangga seraya berkelebat cepat.

***

175. Pendekar Rajawali Sakti : Manusia LumpurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang