Chapter 6

692 115 44
                                    


"Selamat siang, Pak Juna."

Pria itu tengah mencatat sesuatu di buku kecil saat seorang bapak-bapak yang merupakan kepala desa datang menghampirinya ke dermaga.

"Siang, Pak Burhan." Juna menyimpan pena ke saku baju, lalu tersenyum hangat. "Ada kabar gembira apa, Pak? Saya lihat wajahnya bahagia sekali."

"Ah, Pak Juna bisa saja. Hanya sedang ingin senyum, Pak, biar awet muda," kata paruh baya itu, dibalas tawa kecil Juna.

Beliau kini meletakkan tangan di belakang punggung, sambil berdiri menghadap hamparan laut biru, melayangkan pandangan pada ombak-ombak kecil yang bergulung tenang. Lautan seolah menyatu dengan langit cerah, di kejauhan tampak nelayan menjala ikan, benar-benar suasana menyenangkan yang tak mungkin ditemui di kota besar.

"Pak Juna,"

"Iya, Pak?"

"Kami, warga pulau, benar-benar nggak bisa berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Juna dan rekan-rekan. Berkat Pak Juna dan rekan-rekan yang sudah datang ke mari beberapa bulan terakhir, makin banyak ikan yang berdatangan ke sekitar pulau. Nelayan di sini penghasilan sehari-harinya makin meningkat sejak terumbu karang direstorasi beberapa bulan lalu."

"Syukurlah. Turut senang jika metode restorasi yang kami pakai berhasil diimplementasikan dengan baik, dengan hasil yang didapat baik pula."

"Memang sangat baik hasilnya, Pak. Biasanya kami kalau mau mencapai target penangkapan ikan, harus berlayar jauh dari pulau, tapi sekarang cukup di sekitar pantai saja dengan modal jaring, pendapatannya sudah lumayan."

"Ada lebih 200 ekor dalam satu hari, Pak?"

"Adaaa!" Pak Burhan semangat memberi respon. "Kemarin saya dapat ikan Barakuda 300 ekor, dijual ke kota, pedagang sana berani membeli dengan harga 80 ribu per kilogram. Ditambah lagi dengan budidaya kuda laut, kamu bayangkan sendiri, Pak, satu ekor kuda laut dihargai 30 ribu. Kalau ratusan ekor terjual, sudah untung banyak."

Juna berdecak takjub seraya manggut-manggut.

Pak Burhan kemudian menoleh ke arah speedboat yang ada di samping dermaga, itu milik Juna. Alisnya naik, mulai bertanya-tanya apakah pria muda ini akan segera keluar dari pulau dalam waktu dekat atau tidak. Sebab, kalau benar akan pergi, orang-orang di sini seharusnya membuat acara perpisahan untuknya yang telah meninggalkan banyak jasa. Sebenarnya, Juna datang ke sini beramai-ramai dengan rekannya, tapi rekan-rekan itu kini berada di pulau lain, dan akan selalu datang kembali ke Pulau Badi untuk monitoring kondisi perairan di sini.

"Pak Juna, apa sudah mau pulang ke kota?"

Sang pria mengulum senyum, sejujurnya pekerjaannya sudah rampung di pulau ini, data yang diambil saat survei kondisi biologis terumbu karang di perairan sekitar telah selesai diolah dan dianalisis, laporannya pun sudah jadi. Hari ini sebenarnya ia merencanakan melapor ke Pak Burhan yang merupakan kepala desa mengenai kepulangannya besok pagi. Namun, mengingat ada seseorang yang tengah bersamanya -katakanlah wanita yang mengaku-ngaku aktris itu, Juna jadi berpikir untuk tinggal sesaat lagi.

"Belum... masih ada yang diurus. Mungkin seminggu lagi, atau bisa lebih dari itu. Apa bapak keberatan?"

"Ah, tidak, tidak. Tidak keberatan sama sekali. Justru senang kalau ada Pak Juna di sini," ungkap Pak Burhan dengan raut wajah berseri. Dia menepuk-nepuk pundak lebar sang pria lalu melanjutkan, "Cuma, tadinya saya pikir karena istri bapak sudah datang, bapak diajak pulang. Tapi saya nggak mempermasalahkan kalian tinggal lebih lama, hanya khawatir kalau-kalau istri Pak Juna kurang betah di pulau yang masih tertinggal ini."

Juna mengembangkan senyum. Entah kenapa, sandiwara mengenai pasangan suami-istri yang dilakoninya secara mendadak ini cukup menghibur. Apalagi sudah sejak lama ia tidak berbohong demi kebaikan orang lain, rasa-rasanya ini menantang adrenalin sekaligus bisa menciptakan kenangan seru di pulau ini selepas ia pergi nanti.

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang